ulik susanti

Nama saya Ulik Susanti, lahir di Magelang pada tanggal 04 Februari 1971. Riwayat Pendidikan: MI Ma'arif Bulurejo lulus th. 1983, MTs Negeri Kota Magelang lulus ...

Selengkapnya
Navigasi Web
ITU BUKAN SUAMIKU

ITU BUKAN SUAMIKU

Pagi baru buat Della hidup di rumah mertua. Langit masih sangat gelap dan dingin, buru-buru ia bangun saat ibu mertuanya berangkat ke masjid. Segera ia menjalankan dua rakaatnya sebagai wujud penghambaan diri kepada Sang Khaliq pemilik jagat semesta. Ia pasrahkan seluruh jiwa raganya kepada Sang Khaliq. Setelah selesai dengan dua rakaatnya Della segera menghambur ke dapur.

Dipilihnya beberapa kayu bakar yang mudah menyala, ditata sedemikian rupa sesuai petunjuk dari Emaknya ‘harus ada rongga untuk angin.’ Sebuah ceret hitam legam penuh jelaga sudah bertengger dibibir tungku depan, berisi air untuk membuat minum. Dan di bibir tungku belakang sudah duduk dengan manisnya si Kleting Kuning yang dibedakin jelaga oleh ibu tirinya, sebuah panci tinggi dari kuningan yang sama keadaanya dengan ceret, berbedak hitam legam berisi air untuk mandi mertua. Segera ia nyalakan api di tungku. Dengan mata pedih karena asap yang masih asing bagi dirinya, ia berusaha untuk bisa membuat tungku itu menyala. Pekan ini adalah pekan perjuangan adaptasi Della dengan kehidupan barunya. Yang biasanya Della masak tinggal ‘klik’ saja, sekarang harus berjibaku dengan asap dan kayu bakar. Memang di rumah baru ini kompor ada, baik kompor minyak maupun kompor gas. Tetapi kedua kompor itu hanya dipakai saat-saat tertentu saja. Dan Della tidak berani memakainya karena tidak disuruh.

Terdengar langkah kaki dan disusul derit pintu, ibu sudah pulang dari masjid. Di belakangnya Bangun suami Della yang langsung menuju tungku, membantu Della dalam menghadapi kepulan asap. Selagi ibunya masih didalam rumah induk.

“Dah jadi apinya Del?” tanya Bangun, senang dengan kemajuan istrinya.

“Sudah Mas, moga nggak sangit ya,” jawab Della berdebar dengan hasil usahanya yang sering dikatakan minumnya “sangit.”

“Aamiin. Pasti berhasil, kan asapnya sudah nggak banyak Del,” kata Bangun menepis ke khawatiran Della.

“Mas. Masaknya kog nggak pake kompor saja, nggak susah gini,” bisik Della protes.

“Sayang kayu bakarnya kalo pake kompor. Di desa itu kayu bakar gratis Del, sedang gas bagi masyarakat desa masih mahal. Barang langka,” jelas Bangun.

Della berdiri dari dingklik, kursi kayu pendek tanpa sandaran yang menjadi pelengkap tungku selain senthir lampu minyak dan corong bambu bulat agak panjang yang fungsinya untuk meniup api di dalam tungku. Segera ia menyiapkan teh di ceret kecil dan beberapa gelas. Ditaruhnya benda-benda itu di atas meja.

“Sudah pinter Wok (panggilan untuk anak perempuan) nyalain apinya sekarang, moga nggak sangit lagi ya,” kata Ibu yang langsung duduk di dingklik di sebelah Mas bangun. “Kamu sudah berangkat kerja po masih cuti?” tanya Ibu kepada Mas Bangun.

“Masih cuti, tinggal sehari ini Bu. Della juga,” jawab Mas Bangun.

“Kalo masih cuti, nanti bersih-bersih rumah samping. Nanti bisa kalian tempati berdua. Untuk masaknya bareng Ibu saja,” saran Ibu kepada Bangun dan Della.

“Iya Bu. Mau Del tidur di rumah samping?” tanya Mas Bangun dengan riang.

“Ya, Della mah manut bagaimana Mas Bangun saja,” kata Della dengan menyembunyikan rasa riang teramat sangat. “Tapi nanti Della habis nyuci ya Mas?”

“Oke, siap.” ***

Pagi menjelang siang, suasana di kali sudah sepi. Hanya gemercik suara pancuran dari bambu. Airnya sangat dingin dan jernih, mengalir ke sungai melewati kaki putih Della yang tampak bergoyang-goyang karena riak air. Della sengaja mencuci baju di kali saat suasana sepi. Maklum anak kota yang belum pernah mencuci baju dan mandi di kali dengan menggunakan baju basahan. Dia malu dan masih canggung dengan suasana barunya. Orang-orang desa biasa dengan basahan dan kadang ada yang mandi begitu saja, sambil tertawa ramai ngobrol ngalor ngidul masalah berbagai kejadian yang dialami para tetangga.

Untuk yang ke dua kali hidung Della mencium bau yang membuat bulu kuduk meremang. Bau orang merokok klembak menyan, bau dari rokok orang tempo dulu yang sangat menusuk hidung. Menurut cerita masyarakat, bila tercium bau rokok seperti itu berarti ada gendruwo disekitar. Sambil menoleh kekanan dan kekiri mencari sumber bau itu, Della membaca doa dan meminta ijin kepada gendruwo penunggu kali.

“Salam mbah, Della numpang mencuci baju suamiku, jangan ganggu Della,” bisik Della masih dengan rasa takut. “Kenapa juga siang ini nggak ada orang ke sawah ato mancing ya?” bisik Della. Dengan segera diselesaikan pekerjaannya. Tak berani Della untuk mandi, dengan baju basah ia segera kembali ke rumah.

“Kog pake baju basah kenapa?” tanya Mas Bangun melihat Della yang ketakutan.

“Nggak papa Mas, cuma takut saja tadi di kali nggak ada orang. Aku juga nggak jadi mandi,” jawab Della sambil menjemur baju cuciannya di halaman samping.

“Dah mandi dulu sana, nanti kedinginan. Biar bajunya tak jemurkan,” Mas Bangun mengambil alih tugas menjemur baju. Della masuk rumah dan segera saja ia mandi, karena sudah sangat kedinginan.

Siang itu berjalan sangat lambat seakan matahari enggan beranjak keperaduannya, sedang hati ini sudah sangat rindu dengan sang dewi malam. Maklumlah mereka berdua masih merayakan bulan madu, walau sudah jalan hampir dua bulan. Dan saat ini Della sudah tidak mendapatkan menstruasi. Namun masih ia rahasiakan untuk suaminya, rencana Della nanti kabar kehamilannya sebagai hadiah ulang tahun Bangun, suaminya yang tinggal beberapa hari lagi.

Jam masih di angka delapan. Della ditinggal sendiri di kamarnya, sedang Bangun sudah melarikan diri ke rumah ibu mengejar “Angling Darmo” film kesayangannya. Sudah beberapa pekan Della dan Bangun tinggal terpisah dengan rumah orang tuanya, meskipun hanya berjarak sejengkal saja. Jadi bila acara iklan mulai Bangun akan lari ke rumah samping untuk menemani Della, apabila dirasa iklan sudah selesai Bangun akan lari ke Anling Darmonya. Ya mungkin polah Bangun mirip-mirip setrikaan gitu.

Kali ke tiga Bangun kembali ke kamar Della, kali ini hanya sebentar dia keluar, sudah balik lagi ke kamar.

“La kog sebentar Mas, emang iklannya belum selesai?” kata Della heran. Mas Bangun hanya menatap diam, sambil merebahkan badannya di samping Della yang sedang membaca novel Agatha. Ditarik tangan Della untuk tidur di sisinya. Della manut saja, dengan gerakan yang susah karena dipan yang sempit akhirnya berhasil ia merebahkan badan di sisi Bangun.

“Mas nggak di selesaiin Anling Darmonya? Nanti nyesel lho?” goda Della. Bangun hanya diam, namun tangan Banun sudah mulai gerilya.

“Mas mbok ya jangan aneh-aneh, kita belum isya’ Mas,” sembari tangan Della menepis tangan Bangun dan berusaha untuk bangkit. Namun ditariknya kembali tangan Della hingga jatuh kembali di sisi tubuh Bangun. Semakin gencar serangan Bangun kepada Della.

“Mas mbok ya eling kita belum salat!” teriak Della dengan kesal. “Kenapa Mas Bangun dari tadi diam saja? Tidak bersuara dan mengapa aneh begini?” batin Della.

“Mas nyebut, istighfar..., Ya Allah...” teriak Della selanjutnya. Dalam diamnya Mas Bangun, tindakannya semakin brutal. Dalam keheranan Della akan sikap diam suaminya, sentuhan tangannya, serta bau aroma badannya, Della berusaha untuk menyadarkan Bangun.

“Laa haulaa walaa quwwata illa billah...!” teriak Della dalam himpitan badan Bangun dengan tembok. Seketika tubuh Bangun mental jatuh dilantai bersandarkan difet.

“Ha ha ha ha...” suara tawa yang menggelegar disertai perubahan wujud Bangun menjadi sesosok hitam kecil dan tinggi, dengan rambut ikal mengembang teramat besar tidak seimbang dengan wajahnya. Duduk berselonjor di lantai kamar. Kakinya nyaris memenuhi lantai kamar yang hanya terisi dua perabot kecil, dipan muat satu orang disamping pintu dan difet di sudut kamar, dekat jendela. Di sudut sisa dipan ada lemari plastik kecil.

“Ha ha ha... Aku harus dapat kamu. Akan aku bawa kamu ke istanaku. Ha ha ha...” dengan suara keras tanpa bisa melihat wajah sosok tadi, kembali sosok hitam itu berwujud seperti Bangun. Cliiing....!!! dan sudah sampai di atas dipan sempit Della.

Dengan ketakutan yang teramat sangat Della berteriak minta tolong. Tapi tidak tahu kenapa suara Della seakan tertahan tidak bisa keluar dari kamar, padahal rumahnya saling berdekatan. Orang-orang diluar masih terdengar canda tawanya.

Kembali sosok tadi menyerang Della hingga nafas Della sesak oleh bau sosok hitam itu, bau yang sangat langu. Belum pernah Della mencium bau seperti ini. Setiap kali Della mengucapkan hauqallah, sosok tadi mental dan berubah wujud seperti aslinya. Della benar-benar sudah dipuncak putus asa karena ketakutan. Mau lari keluar kamar kaki ini sudah tidak kuasa lagi untuk digerakkan, apalagi kaki dan tangan sosok itu memanjang hampir sampai ke pintu.

Della hanya bisa berdiri di atas dipan, diambilnya Al-Quran di atas lemari plastik diujung dipan. “Ya Allah... lindungi hamba. Tolong hamba,” bisik Della dalam ketakutan. Dipejamkan matanya saat sosok tadi memandang Della dengan mata merahnya, menatap Della dengan tawanya yang sangat keras.

“Ha ha ha... akan aku bawa kamu. Cepat taruh benda itu! Cepat!” dengan suara yang menakutkan sosok tadi memerintah Della untuk melepas Al-Quran. Didekapnya dengan erat Al-Quran itu sambil tetap memejamkan ke dua matanya yang telah berurai air mata. Masih terdengar suara tawanya yang menggelegar. Della hanya bisa mengeluarkan untaian hauqallah dari bibirnya yang pucat.

“Assalamu’alaikum... ada apa Del?” suara Bangun dengan sangat terkejut melihat Della berdiri di atas dipan dengan tubuh yang bergetar karena ketakutan. Bangun segera menghampiri tubuh Della.

“Kamu siapa!?” bentak Della sambil mengacungkan jari telunjuk ke arah Bangun.

“Aku Bangun suamimu!!” jawab Bangun meyakinkan sambil berjalan ke arah Della. Bangun sangat cemas melihat kondisi Della yang pucat pasi.

“Bukan, jangan mendekat! Kau bukan Mas Bangun, bukan suamiku. Pergi!!” Della berteriak dengan suara bergetar. “Pergi!! Pergi!!” jari tangan Della menunjuk ke arah pintu.

“Del... lihat ini aku. Aku nyentuh tanah. Lihat Del!” teriak Mas Bangun sambil menjejak-jejakkan kakinya ke tanah. Della memperhatikan dengan seksama suaminya. Dan Della tetap masih belum percaya.

“Kalo memang suamiku, lekas ambil Quran itu,” sambil menunjuk Kitab Al-Quran yang masih ada di atas lemari plastik. “Buka! Baca Surat Al Baqarah!” perintahnya masih dengan nada bergetar.

“Boleh aku wudhu dulu?” pinta Bangun.

“Baca lekas!!!” bentak Della lagi. Didekapnya Al-Quran dengan kencang, semakin basah Al-Quran itu oleh keringat dan air mata Della. Della masih tetap berdiri di atas dipan. Diamatinya Bangun dengan seksama, sesekali ia kedipkan matanya. Dan tetap masih berwujud Bangun suaminya.

Bangun berjalan mundur ke dekat pintu, ia duduk di depan pintu. Sambil membuka Al-Quran, mulutnya mulai melafalkan bacaan ta’awudz dan dilanjut dengan bacaan Fatihah. Dengan tartil dan penuh harap agar Della bisa sadar, dan percaya kalo dirinya adalah Bangun, suaminya.

Mendengar lantunan ayat suci Al-Quran yang keluar dari bibir suaminya, Della berangsur melorot dan duduk di atas dipan dengan tetap bersandar ke dinding. Masih ditatap wajah suaminya dengan derai air mata. Suaranya sudah mulai mengendur hingga akhirnya keluar suara dari bibir pucat Della.

“Mas... aku takut. Takut. Aku mau pulang Mas,” rintih Della disela tangisnya.

Ditutupnya bacaan Al-Qur’an. Sambil tetap memegang Al-Quran Bangun mendekati Della. Menyentuh siku Della perlahan dan menariknya ke dalam pelukan. Tangis Della pecah dengan Al Quran masih dalam pelukannya. Bangun mengusap kepala Della dengan rasa haru. Dia tunggu hingga Della tenang.

“Mas... antar aku pulang. Takut disini.”

“Apa yang terjadi Del?”

“Aku tadi didatangi gendruwo wujudnya seperti sampeyan Mas, Aku nggak bisa mbedainnya.” Della kemudian menceritakan apa yang di alaminya dari awal hingga akhir. Bangun mendengar cerita Della agak heran, “memang ada gendruwo di rumah ini?” batin Bangun.

“Kita salat isya dulu baru pulang ya Del?” sambil melepaskan pelukan Della, Bangun mengambilkan minum di atas difet. Diulurkan gelas itu sampai ke bibir Della. Ini minum dulu biar tenang. Glek... glek... glek...

Mereka berdua kemudian mengambil air wudlu, dilanjutkan melaksanakan salat empat rakaat, bersyukur karena masih dilindungi oleh Allah dari godaan setan. Mereka berkemas untuk pulang ke rumah Della malam itu juga. Yang ternyata didukung oleh keluarga suaminya, ketika pamit dan menceritakan kejadian yang dialami Della. Bahkan Bapak mengatakan “Itu gendruwo di kali, biasanya bila ada orang baru mau tinggal di desa sini akan diganggu. Tapi tidak semua orang. Nggak tahu pilihannya yang bagaimana.” Bapak menjelaskan dan memperkuat alasan Della untuk segera pulang.

Akhirnya malam itu juga dengan motor bututnya mereka berdua membelah dinginnya malam di lereng Merapi. Dengan bibir masih melantunkan tahlil, tahmid, dan hauqalah mengiringi perjalanan mereka berdua. “terima kasih Allah Kau telah menyelamatkanku. Tanpa pertolonganMu aku tak bisa membedakan sentuhan Mas Bangun dan gendruwo itu,” syukur Della disela-sela dzikirnya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap nian ceritaya, Bund! enin syukaaa... Jempol yang banyak buat Njenengan.

14 Mar
Balas

ada unsur horonya, menegangkan. Salam ibu, semoga sehat selalu.

15 Mar
Balas

Waw, seru... tegang tapi... belum ada solusinya

12 Mar
Balas

Ya bu makasih. Solusi bgm ya bu

13 Mar

Ya bu makasih. Solusi bgm ya bu

13 Mar

Maaf Pak

13 Mar

Ya bu makasih. Solusi bgm ya bu

13 Mar

Serem bacanya Bunda. He he

13 Mar
Balas

Sedikit horor tapi asyik.

12 Mar
Balas

Matur nuwun bu

13 Mar



search

New Post