ulik susanti

Nama saya Ulik Susanti, lahir di Magelang pada tanggal 04 Februari 1971. Riwayat Pendidikan: MI Ma'arif Bulurejo lulus th. 1983, MTs Negeri Kota Magelang lulus ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Keping Lara dari Bapak

Tugas 2

Keping Lara Dari Bapak oleh Ulik S.

MTs Negeri 2 Kota Magelang

Sinopsis

“Ras Bapak pingin gembus.” Pinta Bapak takut-takut memandang Saras.

“La jam segini tukang sayurnya sudah lewat pak, besok ya Saras belikan? Mau di goreng tepung atau di bacem?” Jawab Saras sambil tetap menyelesaikan pekerjaannya tanpa ada rasa curiga sedikit pun kepada Bapaknya. Dalam bayangan Saras, gembus yang dimaksud adalah sejenis tempe yang terbuat dari ampas tahu, rasanya lembut dan enak bila dimasak bumbu bacem.

Gembus wedok Ras, Bapak sudah lama nggak di kasih emakmu.” Jawab Bapak lirih sambil menundukkan kepala.

DDAAARRRRR!!!!! Serasa ada halilintar menyambar kepala Saras.

“Pak kog tega lakukan itu, tanah emak belum kering, baru tadi malam nujuh hari emak. Kenapa Bapak lakukan ini?” Bergetar suara Saras menahan emosi, membayangkan raut emak, tergugu Saras sambil ndeprok dilantai dapur. Sakit dada Saras menahan tangis, takut bila suara tangisnya terdengar sampai luar.

Jarum jam semakin mendekati angka 10.00, tidak ada waktu lagi untuk debat dengan Bapak. Kalau aku melarang Bapak menemui orang itu, nanti Bapak akan berbuat nekat. Mengingat dua anak gadisnya yang masih kecil-kecil itu, merinding badan Saras, takut sesuatu akan menimpa mereka, seperti berita yang sering di lihat Saras di media masa.

Akankah Saras memenuhi kemauan Bapaknya? Bagaimana dengan dua gadis kecil Saras, jadi korban kakeknyakah? Bagaimana dengan sikap suami Saras?

Ingin tahu cerita selanjutnya? Simak ceritanya hingga tuntas di novel Keping Lara Dari Bapak.

Gembus

Jum’at pagi jelang siang, terlihat Saras masih sibuk di dapurnya yang tidak terlalu luas, hanya beberapa perabot menjadi pengisi ruangan itu, meja kompor disamping jendela menghadap ke kebun, kulkas dan almari disamping depan pintu kamar mandi dan sebuah kursi kayu tak bercat yang sudah sangat kusam warnanya, disanding meja kecil yang sama kondisinya dengan kursi terletak di samping pintu kamar tidur orang tua Saras. Dengan penataan yang tepat membuat dapur Saras terlihat sangat luas. Apalagi saat ini Saras sendiri di rumah. Anak-anak dan suami sudah pergi ketetangga depan rumah yang akan menikahkan anak lelakinya. Saras sibuk memberesi gelas-gelas bekas digunakan pengajian tujuh harinya emak tadi malam.

Mak Jum belum datang, dia sudah pamit untuk datang agak siang karena tadi malam pulang sampai larut. Sisa kesedihan Saras setelah ditinggal emaknya masih nyata kelihatan dalam gerakannya yang sangat lamban, tak bersemangat, duka masih menggelayut di mata Saras.

Tiba-tiba Saras dikejutkan oleh suara Bapaknya, tidak tahu dari mana dia datang. “Ada apa to Ras kog kaget?” tanya Bapak melihat anaknya yang terperanjat. Bapak kemudian duduk di kursi dekat pintu kamar.

“Ah enggak kog, ini masih ke inget emak, apalagi bila lihat kursi itu Pak” sambil nunjuk ke arah kursi yang di duduki Bapak.

“Ya sudah, besok kursi dan mejanya di pindah saja, biarkan disini kosong biar dapur kelihatan luas.” Kata Bapak sambil menyeret kursi itu ke dekat jendela.

“Ya Pak.” Sambung Saras. “Mungkin Bapak juga merasakan seperti aku bila lihat kursi itu” Batin Saras.

“Ras Bapak pingin gembus.” Pinta Bapak tiba-tiba dengan memandang Saras lekat.

“Lah jam segini minta gembus, tukang sayurnya sudah lewat Pak. Besok ya Saras belikan? Mau di goreng tepung atau di bacem?” Jawab Saras sambil tetap menyelesaikan pekerjaannya tanpa ada rasa curiga sedikit pun kepada Bapaknya. Dalam bayangan Saras, gembus yang dimaksud adalah sejenis tempe yang terbuat dari ampas tahu, rasanya lembut dan pulen, pokoknya enak, apalagi bila dimasak bumbu bacem. “Makan gembus bacem dengan sambel jlantah bisa menghabiskan nasi beberapa piring.” Terbit selera makan Saras yang beberapa hari ini kacau.

“Lagian sekarang Saras mau ke Mak Yuli, malu sudah siang belum muncul.” Sambung Saras sambil mengankat kotak gelas untuk di masukkan ke dalam almari.

“Bukan gembus itu kog Ras.” Jawab Bapak pelan. Saras menghentikan pekerjaannya dan sambil berkacak pinggang Saras menengok ke arah Bapaknya dengan bingung.

“Emang ada gembus lain Pak?” Dimana belinya?” Saras masih belum paham dengan jalan pikiran Bapaknya..

Gembus wedok Ras, Bapak sudah lama nggak di kasih emakmu.” Jawab Bapak lirih sambil menundukkan kepala.

DDDAAARRRR bagai di sambar gledek di siang bolong. Lemas dan ngilu seluruh persendian, gemetar, panas dingin badan Saras menahan amarah. Mata Saras mulai basah, dengan pelan Saras bicara: “Pak kog tega melakukan itu, tanah emak belum kering, baru tadi malam nujuh hari emak, kenapa Bapak lakukan ini?” Bergetar suara Saras menahan emosi, membayangkan raut emak, tergugu Saras sambil ndeprok dilantai dapur. Sakit dada Saras menahan tangis, takut bila suara tangisnya terdengar sampai luar.

“Tapi Ras, Bapak sudah pesan orang untuk datang ke rumah hari ini jam 10.00.” Mohon Bapak kepada Saras tanpa ada rasa berdosa.

“JEDAARRRR” kepala Saras bagai di hantam gada dengan kerasnya. Limbung badan Saras, lemas seluruh persendian. Sedih ditinggal emak belum juga hilang, sekarang dihadapkan dengan permintaan Bapak yang di luar pikiran Saras. Tak sanggup untuk marah, mengingat emak sakit agak lama, dan emak baru mau pulih, sehingga wajar bila tidak bisa melayani Bapak. Tapi mengapa Bapak bisa setega itu dengan emak?. Saras kalut dan bingung mau berbuat apa. Untuk marah jelas tak sanggup, Saras takut jadi anak durhaka. Tanpa sengaja Saras melihat jam di dinding. “Hah jam 10.00? Sekarang sudah jam 09.45, berarti sebentar lagi.” Sadar Saras dengan keadaanya.

“Pak. Mohon jangan lakukan itu demi emak. Kasihan emak kalau rumah ini untuk maksiat. Kasihan cucu Bapak bila rumah ini kotor, penuh setan.” Sambil terisak Saras memohon Bapak untuk tidak melakukan hal kotor itu.

“Tapi Ras, Bapak sudah tidak kuat, sudah lama sebelum emak sakit Bapak nggak dikasih.” Tangis Bapak menghiba sambil memegangi kaki Saras. Saras semakin terpojok dengan sikap Bapak. Kasihan juga dengan Bapaknya.

Jarum jam semakin mendekati angka 10.00, tidak ada waktu lagi untuk debat dengan Bapak. Kalau aku melarang Bapak menemui orang itu, nanti Bapak akan berbuat nekat. Mengingat dua anak gadisnya yang masih kecil-kecil, jadi merinding badan Saras, takut sesuatu menimpa mereka, seperti berita yang sering tersebar di media masa. “Pak, batalkan saja ya, nanti sebulan atau dua bulan lagi Bapak nikah. Nanti Saras carikan.” Saras masih berusaha membujuk Bapak.

“Bapak sudah nggak kuat Ras, tolong Bapak ya?” ratap Bapak sambil tetap memegangi kaki Saras.

Nggih Pak, tapi tolong sekali ini saja. Setelah itu jangan lagi, kasihani emak dan Saras.” Luluh hati Saras melihat tangis Bapak. Dengan air mata yang semakin tak terbendung dan tangan bergetar, ia ulurkan uang Rp 50.000 kepada Bapaknya. “Tolong sekali ini saja ya Pak? Dan jam 12.00 sudah selesai.” Tangis Saras meledak sambil bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Dengan agak tergesa Saras ke rumah Mak Yuli melalui pintu belakang, tanpa menghiraukan Bapaknya lagi. “Jangan sampai aku tahu perempuan itu.” Gumam Saras.

“Ada apa Ras?” Tanya Radit mengagetkan Saras. Saras langsung menubruk Radit dan menangis di dada suaminya. Hampir aku menceritakan kelakuan Bapak. Tapi syukur akal sehatku masih jalan. Bagaimana pun dia Bapakku, tidak mungkin aibnya aku bongkar, walau dengan suamiku sendiri. Semakin kencang pegangan Saras di pinggang Radit.

“Nggak ada apa-apa mas. Saras cuma ingat emak, tadi duduk dikursi yang diduduki emak kemarin.” Jawabku berbohong. “Maafkan aku ya mas, terpaksa aku bohong demi Bapak.” Rintih Saras lirih agar tidak terdengar Radit..

“Ya sudah, banyakin istighfar dan fatihah untuk emak. Dah sana ke Mak Yuli biar terhibur.” Saran Radit tanpa curiga kepada Saras.

Sambil mengusap air mata dan cairan bening yang keluar dari hidung dengan kedua tangannya, Saras bertanya penuh selidik kepada suaminya; “Mas sudah selesai ke Mak Yulinya?” Takut kalau suaminya pulang dan tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumah.

“Enggak, ini mau cari bambu di belakang Balai Desa. Dah ya, sudah di tunggu tu.” Sambil menunjuk ke arah para lelaki yang akan memotong bambu. Saras mengangguk meninggalkan Radit, dan mengedarkan pandangan mencari ketiga buah hatinya. Saras menoleh kebelakang memastikan Radit ke kebun bambu atau tidak. Lega hati Saras melihat Radit sudah bergabung dengan para lelaki itu.

Saras celingukan mencari anak-anaknya setelah sampai di rumah Mak Yuli, sambil bersalaman dengan orang yang ada di dapur.

“Maaf ya saya telat, beberes rumah dulu.”

“Nggak papa mbak, tuh anak-anak didepan rumah.” Kata Mak Yuli sambil nunjuk ke arah anak-anakku. Rupanya dia tahu kalau aku mencari mereka.

“Mbak ini emak disini.” Teriak Mak Yuli kepada Midah anak sulung Saras, karena dari tadi mencari emaknya terus. Midah pun menghampiri Saras: “Mak kog lama, ada apa to?” Tanya Midah sambil bergelayut di pangkuan Saras.

“Emak beresi rumah dulu, karena Mak Jum siang datangnya. Kalian disini saja ya, jangan main jauh-jauh, kalau mau pulang bilangke emak dulu.” Pesan Saras kepada Midah untuk memastikan agar anaknya tidak pulang.

“Midah ke rumah Mak Jum ya. Bilang kalau mau kerumah nanti habis dzuhur saja.” Perintah Saras kepada Midah.

“Ya mak.” Sambil berlari Midah mengambil kue lapis yang ada di amben bercampur dengan segala sayuran dan bumbu dapur.

Saras duduk berempat di amben mengiris kacang buncis dengan mBah Nem, mak Ito, mak Bejo dan mbok Yah. Di dekat jendela besar ada beberapa tungku yang digunakan untuk menggoreng kerupuk disebelahnya menggoreng kentang dan memasak air. Sesekali terdengar gelak tawa ala emak-emak desa yang polos. Saras hanya tersenyum mendengar candaan mereka. Dia masih tidak percaya dengan kejadian yang baru saja di alaminya. Saras teringat pesan emak sebelum meninggal: “Yang sabar ya nak ngemong Bapakmu.” Juga kata peziarah lelaki saat itu, yang Saras tidak kenal siapa dia: “Sabar ya mbak seperti emakmu nanti le momong Bapak, Bapakmu itu orang bejat.” Saat itu Saras cuma bilang terima kasih Om. Mau marah malu karena masih banyak tamu. Lagian siapa juga orang itu pikir Sarah, nggak kenal dan nggak mungkin Bapakku bejat. Kembali ada aliran sungai di pipi Saras.

“Sudah mbak Saras, istighfar, jangan nangis terus kasihan emak.” Hibur mbah Nem yang melihat Saras menangis. Mbah Nem tahunya Saras nangis karena di tinggal emak.

“Iya mbah.” Sambil mengusap air mata, Saras merubah posisi duduknya.

“Sedihmu itu hilangnya nanti masih lama, paling tidak empat puluh hari.” Lanjut mbah Nem yang kemudian di sambung dengan cerita mbah Nem saat ditinggal mati suaminya.

Di kejauhan sayup-sayup terdengar suara adzan. Lunglai seluruh persendian, mengingat sebentar lagi akan pulang. Bagaimana bila belum selesai? Apa yang harus aku katakan kepada suamiku dan anak-anak? Kembali air mata Saras berderai.

“Mak ayo pulang, itu sudah adzan.” Teriak anak-anak sambil lari berebut ke pangkuan Saras.

“Iya sebentar, mushola sini belum adzan nak, nanti emak panggil kalau mau pulang ya?” Bujuk Saras kepada anak-anaknya.

“Mak tadi di rumah ada tamu lho, tapi ada akung di rumah.” Berdesir hati Saras mendengar aduan Mita anak kedua Saras.

“Kog Mita tahu dari mana?” Selidik Saras yang semakin berdebar dan khawatir.

“ Tadi Mita lihat waktu main kejar-kejaran.”

“Memang tamunya siapa? Mita kenal?” Semakin berdegup hati Saras menunggu jawaban Mita. Saras meletakkan pisaunya dan beralih ke pandangan Mita. Sambil memegang ke dua bahu Mita Saras bicara pelan, takut kalau jawaban Saras didengar oleh tetangganya.

“Nggak tahu, Mita nggak kenal dengan ibu tadi.” Sambil berlari ke teman-temannya Mita menjawab pertanyaan Saras. Meninggalkan Saras yang masih mematung, penuh ke khawatiran. Ia bergegas mencari anak-anaknya untuk di ajak pulang, takut bila Mita cerita keteman-temannya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah... Pertama baca sinopsis langsung ketawa ngakak.. Tokoh bapak yang lugu tanpa tedeng aleng -aleng minta tempe gembus... Lanjut...

03 Feb
Balas

Wah... Pertama baca sinopsis langsung ketawa ngakak.. Tokoh bapak yang lugu tanpa tedeng aleng -aleng minta tempe gembus... Lanjut...

03 Feb
Balas

Terima kasih bund. Mohon massukan lgi nggih. Tdk apa2 bund spt itu? Ato diganti

04 Feb
Balas



search

New Post