umi hasanah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Kematian yang Dirindukan
Cepat atau lambat, sakit atau sehat, jika sudah tiba saatnya, dia pasti datang.

Kematian yang Dirindukan

Ahad di pekan pertama, seperti biasanya ibu meminta adik mengantar beliau ke rumah simbah (ibunya ibuk). Beliau secara rutin mengunjungi simbah yang tinggal seorang diri. Simbah tidak mau tinggal di rumah salah satu anak-anaknya. Beliau merasa nyaman tinggal di rumahnya sendiri meskipun tidak ada yang bisa menemani. Namun, kami, cucu-cucu dan orang tua kami sering menjenguk beliau. sesekali, pas liburan sekolah, beberapa dari kami menginap di rumah simbah.

sekitar sepuluh menit perjalanan, kami sudah sampai di rumah simbah yang jaraknya sekitar lima kilometer dari rumah ibuk. Sesampai di sana, simbah tampak senang menyambut anak, cucu dan cicitnya datang. Kami pun makan bersama dan mengobrol apa saja yang menarik.  Hingga tak terasa waktu duhur tiba. 

"Nanti pulang jam berapa?" Tanya simbah tiba-tiba.  Kami yang mendengar merasa heran, tak biasanya beliau bertanya begitu. Kami saling pandang dan terdiam. "Kenapa?" Tanya simbah menunggu jawaban kami. "Ya, Mbah. Habis salat duhur, insyaallah" jawab adik. "Aku mau ikut" kata simbah menambah kaget kami.

Tumben simbah berkenan ikut kami dengan sukarela. Biasanya kami minta pun, belum tentu simbah mau. Alhamdulillah, batinku senang. Aku dan ibu baru menyadari maksud simbah ketika melihat tas berisi baju ganti dan barang-barang lainnya sudah disiapkannya. Ternyata simbah merasa kurang enak badan dan minta diperiksakan ke dokter. Dulu, beliau pernah bilang kalau sakit baru mau tinggal di rumah ibuk (anak perempuan satu-satunya). Beliau takut kalau ketika meninggal di rumah sendiri, tidak ada yang tahu.

Keesokan harinya, ibuk dan abah segera membawa beliau ke dokter spesialis. Syukurlah, setelah minum obat, beliau merasa baikan. "Alhamdulillah, ternyata masih bisa diobati penyakitnya mbah, kata beliau kepada kami saat duduk di ruang keluarga. "Ya, Mbah. Kata pak dokter, Mbah harus tertib minum obat, biar segera sembuh. Senin kontrol lagi.

***

Sore itu, tepatnya malam Jumat, di rumah adik ada acara jamiyah selawat barzanji. Aku ke sana sembari menjenguk simbah yang sudah seminggu di rumah ibuk. Aku ikut membantu persiapan acara, setelah selesai, aku hendak pamit. Namun, melihat simbah duduk di ruang tamu mendengarkan selawat, aku mengurungkan niatku untuk pulang. Aku duduk dekat beliau.

"Nduk, spikernya menghadap ke mana, ya? Kok suaranya kurang jelas." Kata simbah begitu aku duduk. "Menghadap ke timur, Mbah, " jawabku. "Makanya suaranya dak begitu jelas." Kebetulan rumah ibuk menghadap ke timur. Jadi, suara spiker kurang jelas.  "Apa perlu spikernya diputar arah, Mbah?" Tanyaku kemudian. "Tidak perlu," jawab simbah.

Aku masih duduk menemani simbah ngobrol dan menanyakan kondisi kesehatannya. Simbah malah cerita ayamnya banyak yang mati semenjak ditingal beliau ke rumah ibuk. Kata beliau, kakak sepupuku kurang telaten merawat. "Dak pa-pa, Mbah. Yang penting simbah sehat, nanti bisa beli lagi." Aku mencoba menghibur. Sehari sebelumnya kakak sepupuku yang tinggal sedesa dengan simbah datang berkunjung. Dia membawa telur-telur ayamnya simbah dan beberapa ekor ayam yang masih tersisa.

Setelah melihat jam setengah delapan malam, aku pamit simbah untuk pulang sebentar, izin mau ke tetangga yang hajatan. Nanti berencana kembali lagi. Simbah sempat memintaku tinggal, tetapi aku tetap pamit dan berjanji kembali lagi. Akhirnya beliau pun mengizinkan. Tak berapa lama setelah aku pamitan, simbah beranjak dari tempat duduknya. Beliau hendak menunaikan salat isya dulu. 

***

Aku baru saja sampai di rumah dan melepas jilbab. Terdengar dering telepon dari ponselku. "Mbak, simbah..." Suara adikku parau. Segera aku izin suami ke rumah ibuk duluan. Sementara dia masih akan melaksanakan salat isya. Setiba di rumah ibuk, semua saudaraku sudah berkumpul membaca yasin. Air mataku tidak bisa ditahan, tangisku pecah seketika melihat simbah tak sadarkan diri. mukena simbah masih belum dirapikan. Simbah baru saja selesai salat isya sebelum tak sadarkan diri. Ibuk di dekat simbah menuntun beliau membaca kalimah toyibah. Beliau memintaku mendekat ditelinga kanan simbah.

Dengat menguatkan hati aku mengikuti perintah ibuk. Sembari merangkul simbah, aku lafalkan kalimat Allah... Allah... Allah... dan kalimat toyibah. Tubuhnya terasa dingin. Tak berapa lama, tak terdengar lagi nafas berat simbah. Aku segera bangun, bertanya pada abah."Bah, apa simbah tidak bernafas lagi?" tanyaku terisak. Abah memeriksa dada dan ujung hidung simbah. "Iya, Nduk." Kata abah pelan. Simbah.... Begitu cepat dan tenangnya engkau pergi.

Bidan desa yang tinggal di sebelah rumah ibuk datang memeriksa kondisi simbah dan memastikan bahwa beliau memang benar-benar meninggal dunia. Kami segera memandikan jenazah simbah, mengkafani dan menyolatkan berjamaah. Ya Allah, semoga Engkau anugerahkan kematian yang khusnul khotimah kepada simbah. Aamiin.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerita yang menarik

03 Mar
Balas

Terima kasih Bunda, sudah berkenan mampir.

04 Mar



search

New Post