Umi Satiti

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Mengurai Rindu  (Mengintip catatan Guru SM-3T Kabupaten Gayo Lues)
Ketulusan membawamu pada sebuah senyuman untuk dibagikan

Mengurai Rindu (Mengintip catatan Guru SM-3T Kabupaten Gayo Lues)

Sebagian orang mempunyai mimpi “besar” seperti sekolah tinggi, memiliki gelar akademik, bekerja di perusahaan internasional, berkunjung ke luar negeri serta mimpi-mimpi “besar” lainnya. Sebagian mempunyai mimpi yang relatif “kecil”, bisa mengajar anak-anak di desa terpencil, merawat orang-orang miskin yang terlantar, melihat tetangganya merasa terbantu karena kehadiran kita, atau sekedar melihat senyuman dari orang-orang yang dicintainya. Sebesar apapun dan sekecil apapun mimpi kita, kejar dan pastikan semua itu tercapai karena kerasnya usaha kita.”

-Hahan Udin (Komentar di Facebook pada status tanggal 29 November 2014)-

Malam ini aku ingin mengobati rindu untuk gurusiana. Seperti rinduku yang mengucur bersama gerimis malam ini tentang kampung rantau yang jauh. Aku telah dilanda rindu yang teramat hebat. Seperti rindunya aksaraku untuk berjajar rapi di layar gurusiana. Seperti rindu aksaraku untuk sampai terpahami oleh teman-teman gurusiana.

Bersama sisa gerimis aku ingin mengurai gumpalan rindu untuk Gayo Lues. Kabupaten diantara jajaran bukit barisan yang berada di Provinsi Aceh. Disana pernah aku habiskan satu tahun menjalani masa tugas sebagai guru SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal).

Catatan ini tentang sebuah kejadian yang terjadi empat tahun lalu. Bukan aku ingin mengeluh. Hanya saja ada sebuah kenyataan yang membuatku benar-benar bersyukur hari itu, tepatnya pada hari Sabtu tanggal 29 November 2014.

Satu minggu lebih aku demam tidak menentu. Kadang naik dan kadang turun. Aku pikir hanya demam biasa sebab udara pagi disana selalu dingin. Namun beberapa kali aku merasa lemas dan tampak begitu pucat. Ditambah lagi dengan bagian putih mata yang mulai tampak menguning. Aku bisa mengatasi demam dengan minum obat penurun panas. Ketika lemas aku sebentar beristirahat. Namun mata yang menguning tidak juga hilang.

Karena sudah tidak tahan aku ke puskesmas pada suatu sore, beruntungnya ada layanan 24 jam. Dokter bilang aku terlalu capek dan butuh istirahat. Maka diberilah obat penurun panas, vitamin dan entah apa lagi setahku juga ada obat anti mual sebab kadang-kadang aku merasa mual. Aku menunggu satu dan bertahan hanya dua hari lantas aku kembali ke puskesmas dengan dokter berbeda. Dengan melihat riwayat kesehatanku harusnya aku tidak bermasalah dengan obat-obatan yang diberikan. Namun hari itu rasanya nafas terasa begitu sesak hingga aku merasa tidak tahan. Kunjungan kedua ini aku tidak mendapat obat. Beliau hanya memintaku untuk menghentikan obat-obat yang kemarin aku konsumsi. Dan meminta datang lagi esok pagi untuk mengambil surat rujukan ke RSUD jika kondisi belum banyak berubah.

Aku ceritakan pada seorang rekan sekamar yang mengantarku ke puskesmas. Kami mengobrol di kursi tunggu dekat UGD. Dokter bercerita mungkin saja aku terkena hepatitis dan aku harus melakukan tes di RSUD Gayo Lues. Karena tidak hanya mata yang tampak menguning, wajah dan telapak tangan juga mulai tampak menguning. Namun dokter sudah mengingatkanku untuk tidak panik.

Sebelum aku dan temanku pulang sang dokter menghampiri kami yang masih bercerita di kursi tunggu. Kami bertiga hanya melakukan obrolan ringan, beliau hanya mengingatkanku agar berhati-hati dengan makanan dan benar-benar menjaga kesehatan. Sedikit rasa lega saat beliau berkata, “Ketika niat kita tulus, tidak aka nada ujian yang berat.” Beliau kembali mengingatkanku tentang tujuan awalku menjadi guru, menjalani hari untuk berbakti pada negeri. Lantas beliau sedikit membagi kisahnya. Aku tahu beliau ingin membesarkan hatiku yang jelas terbaca kepanikannya. Hepatitis. Mungkinkah?

Esok paginya diantar seorang teman mengajar yang tunarungu. Temanku ini unik, dia masih dapat mendengar suara yang sangat keras namun tidak mendengar suara dengan nada biasa. Percakapan kami sehari-hari menggunakan bahasa isyarat. Bersama dia aku kembali ke puskesmas kali ini bukan ke UGD tapi ke ruang poli umum.

Aku bertemu dengan dokter yang pertama kali memeriksaku. Rupanya beliau sudah mendapat cerita tentang aku. Mungkin dari dokter yang kemarin memeriksaku. Pemeriksaan seakan begitu lengkap mulai dari berat badan, tinggi badan dan tekanan darah. Juga mengecek lagi kondisi mata yang masih menguning. Tak lama aku mendapat surat rujukan ke RSUD. Aku membacanya, saat aku tanya diagnosanya beliau juga menjawab hepatitis. Rasanya remuk sudah hari itu. “Tetapi hasil tes kesehatan yang membuktikan. Jika tidak puas dengan hasilnya nanti mintalah rujukan agar dibawa ke Medan.” Ujar beliau. Aku tidak tahu harus berkata apa, namun beliau kembali berkata, “Ini hanya diagnosa, hanya sebuauh perkiraan. Temui ibu dokter disana, beliau spesialis penyakit dalalm.” Sang dokter menyebutkkan sebuah nama untuk menjadi rekomendasi dokter yang memeriksaku nanti.

Haruskah berakhir di sini? Padahal baru genap tiga bulan kurang sehari aku menjalankan tugas. “Guru SDLB Mutiara Louser selalu punya nasib baik, aku tidak tahu mengapa selalu begitu. Kau hanya perlu berdoa semoga kau sehat.” Begitu kata beliau untuk membesarkan hati pasiennya yang kembali dilanda kepanikan. Sakit saat jauh dari keluarga bahkan aku tidak berani mengabarkannya pada orang di rumah.

“Ikhlas. Bukankah itu pilihan terbaik. Seperti saat kau memutuskan untuk menerima tugas di sini. Mengikhlaskan semua yang kau punya, keluarga, teman bahkan jiwamu. Seperti kami yang pada akhirnya harus ikhlas dimanapun kami para dokter dikirim.” Ikrar itu yang pernah terucap saat aku harus meninggalkan rumah. Ikhlas. “Dokter juga manusia, kami hanya dapat mendiagnosa. Lakukan tes dan temukan kesehatanmu.” Begitu kata dokter sambil menunjuk surat rujukan yang sudah aku terima.

Melaju diatas motor dengan seorang teman yang tunarungu. Andaikan aku berteriak pasti dia tetap tidak akan mendengarku. Aku ingin bercerita tapi dia tidak mendengar. Hanya saja sepanjang perjalanan dia banyak memceritakan tempat-tempat yang kami lewati dengan isyarat menggunakan tangan kirinya.

Sampai di RSUD temanku yang menunjukkan tempat mana saja yang harus kami lewati. Dia hafal betul tempat ini dan tahu betul alur yang harus kami lalui. Aku mendapat pelayanan yang begitu ramah sampai dengan bertemu dokter yang direkomendasikan oleh dokter di puskesmas.

Pemeriksaan dilakukan tidak jauh berbeda dengan di puskesmas, hanya saja lebih mendetail. Aku mengeluhkan semua yang aku rasakan seperti yang aku ceritakan dengan dokter di puskesmas. Lantas kami terlibat dalam percakapan yang lebih ringan. Beliau menanyakan asalku, bagaimana aku bisa sampai ke sini. Maka aku ceritakan bahwa diri ini guru SM-3T dan seakan beliau tertarik. Beliau menanyakan keluargaku, teman-temanku di Jawa dan beberapa hal ringan sampai motivasi mengapa aku memilih menjadi guru SM-3T.

Beliau memberikan beberapa lembar kertas yang sudah diberi tanda, memintaku untuk menjalani serangkaian tes di laboratorium. Beliau meminta setelah aku mendapatkan hasil tes agar kembali membawanya pada beliau. Singkat cerita ada beberapa tes yang harus dilakukan diambil dari urin dan darah. Masih bersama temanku yang tunarungu. Saat kami menunggu hasil tes, dia bercerita banyak tentang rumah sakit ini. Dia juga menjanjikan akan menunjukkan beberapa tempat strategis disekitar sini, salah satunya SLB Negeri yang ada di Gayo Lues.

Aku membawa hasil tes kepada dokter. Belum juga aku mengetuk pintu ruangan, beliau sudah menunggu di depan pintu lantas meminta hasil laboratorium. Beliau terdiam beberapa saat. Dan aku sudah siap ketika beliau akan mengatakan hepatitis. Aku sudah menata hatiku untuk kemungkinan kata itu terucap. Mungkin inilah rasa sakitku yang pertama disini. Haruskah aku hidup dengan obat-obatan yang menemaniku?

“Hasilnya tipus, Kak.” Aku berharap itu bukan suara hatiku. “Kakak boleh sedikit lega karena ini bukan hepatitis. Kita USG saja biar pasti.” Aku mengikuti langkah beliau menuju suatu ruangan yang ada diujung lorong. Dari hasil pemeriksaan semua hasil baik, kecuali pada lambung yang sedikit bermasalah. Memang sudah lama aku mengalami asam lambung yang tidak stabil. Tipus yang aku alami juga sudah melewati masa kritis sehingga tidak perlu rawat inap. Cukup rawat jalan, dan menjaga pola makan.

“Tapi nafas yang sesak itu kenapa?” Aku beranikan bertanya karena penasaran.

“Karena perasaan. Mungkin banyak yang kau pikirkan. Apa kau mulai rindu dengan keluarga, teman-teman dan kegiatan di Jawa? Ini wajar. Kau hanya tidak perlu terlalu memikirkan yang tidak perlu dipikirkan. Jangan membuat dirimu lelah.” Aku mengikuti beliau keluar dari ruangan USG dan menuju ruangan beliau. Beliau memberi resep obat untuk diambil di apotek rumah sakit. “Sumber segala penyakit itu dari hati, jadi hati harus tetap sehat, Kak.” Begitu pesan beliau.

Bersama teman yang tadi mengantar. Setelah mengambil obat dia memenuhi janjinya untuk menunjukkan beberapa tempat yang diceritakan. Disinilah hati menemukan ketenangan. Allah tidak akan menguji hambanya diluar kesanggupannya.

***

“Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Bersyukur jadi anak negara yang mendapat jamiman makan, pendidikan dan kesehatan. Kini aku baktikan hidupku untukmu, Indonesia. Betapa indah nikmat sehat itu.”

Gayo Kues, 29 November 2014.

(Status Facebook Umi Satiti)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Pengalaman luar biasa bijak dapat bergabung menjadi bagian SM-3T, tak mudah menjalaninya. Terpisah dari yang tercinta dan tinggal jauh di tempat yang tak pernah kita sangka sebelumnya. Segala sumber penyakit adalah dari hati, jika ketulusan mengiringi maka tak ada yang berat. Terimakasih Ibu Umi Satiti atas cerita sarat makna yang indah, membayangkan betapa sulitnya para sarjana muda, bergelut dalam segala keterbatasan untuk mengabdi pada di ujung pulau Indonesia. Ada banyak cerita duka, bahkan tak jarang harus bertaruh nyawa saat jalankan tugas. Angkat topi atas dedikasi guru SM-3T, kami turut bangga.

03 Dec
Balas

Terimakasih ibunda guru...

03 Dec

Wowwww cerita yang sarat makna dibalut tulisan apik. Ketika ikhlas bersemayam di hatis, segalanya menjadi nikmat krn rasa syukur yg mincul. Ditunggu tulisan hebst lainnya. Sukses selalu dan barakallah

03 Dec
Balas

Terimakasih ibu.. Makasih sering diingatkan untuk nulis

03 Dec



search

New Post