Umi Zahroh

Lahir di Magelang pada tanggal 15 Desember 1975. Pernah mengajar sebagai guru wiyata bakti di sebuah MTs swasta. Sekarang dia bekerja di MTs Negeri 3 Magelang....

Selengkapnya
Navigasi Web

BERITA BAIK

Siang itu Nisa pulang dari sekolah dengan wajah berseri, tampak senyum tersungging dari bibirnya. Setelah mengucap salam, ia masuk dan langsung mencari Amar, suaminya. Amar sedang minum kopi sambil merokok di teras belakang. Tampaknya ia baru saja mengganti pot dua bonsai kelapanya. Kedua tanaman itu dijejerkan di atas meja khusus. Amar memandangi hasil kerjanya dengan puas. Nisa duduk di samping Amar, menyalami dan mencium tangannya.

“Tanaman bonsai kalau ditempatkan di pot yang bagus jadi tambah menarik ya Mas. Pasti nilai jualnya juga lebih tinggi.” Nisa memberikan komentarnya.

“Tentu saja,” jawab Amar singkat. Ia menebak istrinya akan membicarakan hal lain, yang pasti bukan bonsai. Ia mengisap rokok dan dari mulutnya muncul asap melingkar-lingkar yang akhirnya pecah karena menabrak langit-langit.

“Mas, tadi Pak Hardi bilang ada lowongan pekerjaan di pabrik.” Nisa memulai percakapannya tentang topik yang lain dengan hati-hati.

“Hmm.” Amar hanya menggumam sambil terus menghisap dan mengepulkan asap melalui mulut dan hidungnya. Benar saja. Tebakannya tepat. Ia membiarkan Nisa melanjutkan kalimat-kalimatnya.

“Pabrik membutuhkan seorang satpam lagi karena sekarang ada shift kerja malam. Tentu saja pabrik juga butuh tenaga kerja tambahan. Mas daftar saja jadi satpam. Mas kan sering melek malam, kadang sampai pagi.” Nisa diam beberapa saat. Karena Amar belum menanggapinya, ia melanjutkan ”syaratnya, umur tidak lebih dari tiga puluh lima tahun dan minimal lulus SMA/sederajat.”

Amar seorang pencinta bonsai. Lelaki berusia tiga puluh dua itu sering pergi mencari bahan bonsai di pinggir sungai, atau di lereng bukit. Ia merawat bonsai, memotong daun-daunnya (melakukan pruning), atau sekadar memandanginya sambil merokok dan minum kopi sampai larut malam. Beberapa malam ini ia sering pergi dengan sepeda motornya. Mungkin mencari bahan bonsai di tempat baru yang jauh.

Nisa memandang dan menunggu reaksi suaminya. Amar masih diam seolah-olah tidak tertarik dengan topik obrolan itu. “Mas? Kok diam saja?”

“Kamu sudah selesai?” tanya Amar. Ia selalu membiarkan Nisa menyelesaikan bicaranya, baru menanggapi. Kalau sedang bicara diselingi tanggapan, Nisa selalu protes. Bahkan kadang jadi lupa kelanjutan kalimatnya sendiri.

“Sudah.” Nisa menjawab singkat. Ia penasaran dengan tanggapan suaminya.

“Aku sebenarnya sudah tahu lowongan itu. Tapi pekerjaan seorang satpam sangat terikat waktunya. Dari pagi jam enam sampai sore, sudah petang pula. Tidak bisa disambi jalan-jalan mencari bahan bonsai. Kalau malam bertugas, pagi sampai siang bahkan sore pasti tidur. Tidak sempat cari inspirasi karena sudah lelah.” Kata Amar panjang lebar. Ia menunjukkan ketidaktertarikannya bekerja sebagai satpam.

“Sebetulnya Nisa berharap mas bisa kerja yang penghasilannya pasti. Jadi Nisa terbantu. Membiayai sekolah anak, membayar air, membeli pulsa listrik, dan yang paling pokok untuk membeli beras. Ya sudah kalau mas nggak mau ambil kesempatan ini. Nisa memang harus selalu bersabar.” Dalam hati ia mengatakan, ”dan banyak berutang.”

Selesai berkata demikian, Nisa langsung masuk rumah dengan mulut mengerucut. Ia duduk di tepi tempat tidur denga raut muka sangat kecewa. Harapannya sudah pupus. Amar tidak pernah mau bekerja sebagai buruh atau pegawai yang terikat jam kerja. Nisa tidak mengerti dengan jalan pikiran Amar. Bekerja semau sendiri, harus sesuai keinginan dan hatinya. Kebutuhan dan pengeluaran semakin banyak tetapi Amar jarang memberikan uang. Apa yang didapatnya hanya dengan merawat bonsai tanpa menjualnya? Berapa banyak uang yang diterima jika semua bonsai dijual? Barapa lama akan mendapatkannya lagi?

Nisa hanyalah guru tidak tetap di SD Persatuan. Penghasilannya masih di bawah UMR yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Ia mencari tambahan dengan menjadi reseller dagangan temannya. Juga memberikan pelajaran tambahan beberapa siswa yang orang tuanya mampu. Ia selalu berharap suaminya mendapatkan pekerjaan tetap dan penghasilan tinggi. Sayangnya, harapan Nisa tak pernah terwujud.

Anak mereka dua orang. Si sulung duduk di kelas empat SD, sementara adiknya masih di TK besar. Makin hari kebutuhan hidup bertambah. Tahun depan Reza masuk SD. Pasti butuh seragam dan peralatan sekolah lainnya. Dua tahun lagi Reva ujian sekolah dan masuk SMP. Nisa lelah memikirkan semua itu, karenanya ia tertidur.

-_-_-_-_-

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kisah menggugah. Hidup adalah perjuangan, kepo daku dengan kisah perjuangan Nisa ...

01 Oct
Balas

Perjuangan mereka Bu. Terima kasih

01 Oct

Pasti butuh seragam dan peralatan sekolah lainnya. Dua tahun lagi Reva ujian sekolah dan masuk SMP. Nisa lelah memikirkan semua itu, karenanya ia tertidur.Cerita indah sekali Bun. Keren Bun

02 Oct
Balas

Terima kasih Bu

02 Oct

Kisah heroikyang penuh perjuangan.keren bund. salam.

02 Oct
Balas

Wah, kok heroik. Hanya kisah hidup manusia yang diuji dengan kesenangan duniawi. Terima kasih Pak. Saya tambah termotivasi oleh Pak Irwanto yang novelnya keren menewen.

02 Oct

Duh, masih harus berjuang lagi ini...

01 Oct
Balas

Betul Bu. Hidup adalah perjuangan, tak hanya sekadar panggung sandiwara. Hehe

01 Oct

Bersambung...

01 Oct
Balas

Sabar Nisa, keren Bu cerpen nya

01 Oct
Balas

Terima kasih Bu

01 Oct

Semoga ada kabar baik lanjut Bun

01 Oct
Balas

Iya. Ada kabar baik lainnya.

01 Oct



search

New Post