Umi Zahroh

Lahir di Magelang pada tanggal 15 Desember 1975. Pernah mengajar sebagai guru wiyata bakti di sebuah MTs swasta. Sekarang dia bekerja di MTs Negeri 3 Magelang....

Selengkapnya
Navigasi Web

SEDEKAH

Pak Diding adalah seorang sopir truk, orangnya ramah dan supel. Tubuhnya tak terlalu tinggi tetapi cukup kekar. Ia sering membawa barang ke Sumatera terutama Padang, Pekanbaru, dan Palembang dengan truk miliknya itu. Perjalanan jauh dari Magelang sampai kembali ditempuhnya dalam beberapa hari. Ia biasanya ditemani Karjo atau Firman. Mereka berdua dapat menggantikannya menyetir jika sedang lelah atau mengantuk.

Ketika pulang ke desanya, Pak Diding sering menitipkan truknya di halaman rumah Pak Farid. Halaman yang cukup luas untuk parkir sepuluh hingga dua belas mobil pribadi. Rumah Pak Diding yang terletak di pinggir jalan raya tidak memiliki garasi dan di halamannya yang sempit selalu didirikan tenda angkringan dan gerobak fried chicken milik tetangganya. Ia memperoleh uang sewa yang cukup lumayan setiap bulan dari usaha tersebut.

Hari Minggu sore ini Pak Diding pulang dan langsung memarkir truknya di halaman rumah pak Farid setelah mengantar Karjo ke rumahnya. Pak Farid sedang duduk di teras dan minum kopi. Begitu melihat Pak Diding datang, ia segera membuatkannya segelas kopi.

“Halo Bro,” sapa Pak Diding.

“Sini ngopi dulu. Bawa apa kemarin, Ding?” tanya Pak Farid.

“Salak,” jawab Pak Diding, ”mana yang lain?” Ia ganti bertanya.

“Paling sebentar lagi mereka datang,” jawab Pak Farid. Ia menyeruput kopinya yang hampir habis.

Orang lain yang ditanyakan Pak Diding adalah para pemuda yang biasa datang, duduk, dan mengobrol tentang segala hal, kabar up to date terutama tentang tanaman hias yang sedang naik daun. Pak Farid dan para pemuda itu sering berburu tanaman di hutan, sepanjang sisi sungai, atau bahkan di rumah warga desa lain. Mereka berharap tanaman yang sedang dicari pangsa pasar itu dapat menambah penghasilan.

Benar kata Pak Farid. Belum habis kopi Pak Diding, Tono dan Apu datang. Mereka membuat kopi sendiri karena memang Pak Farid selalu menyediakan gelas, sendok, kopi, gula, dan air panas dalam termos. Lima menit kemudian, Hilman datang membawa bonsai asam. Jadilah mereka mengapresiasi tanaman bonsai tersebut. Andi, Teteh, Pincuk, Ipan, dan Rama datang belakangan. Pak Diding menyerahkan uang delapan puluh ribu rupiah kepada Tono untuk membeli ayam kampung dan bumbunya. Pak Farid cepat tanggap dengan acara makan-makan yang tak direncanakan tersebut. Ia masuk rumah dan menyuruh istrinya menanak nasi yang banyak. Pak Diding pulang untuk mandi dan berganti pakaian.

Bersambung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bapak-bapak ki sama aja. Kalau menjamu tamu dadakan begitu bikin Ibu-ibu darah tingginya kumat, hahaha...

01 Jan
Balas

Hehehe, kumat kamit juga alias ngomel Bu.

02 Jan



search

New Post