Umi Zahroh

Lahir di Magelang pada tanggal 15 Desember 1975. Pernah mengajar sebagai guru wiyata bakti di sebuah MTs swasta. Sekarang dia bekerja di MTs Negeri 3 Magelang....

Selengkapnya
Navigasi Web

SEDEKAH (3)

Apu menggoreng bumbu yang telah dihaluskan. Tono memasukkan potongan ayam dan semua bumbu ke dalam panci tekan. Pekerjaan di dapur mereka selesaikan ketika azan magrib berkumandang. Pak Farid sekeluarga salat di musala terdekat, sementara para pemuda itu hanya duduk-duduk saja di teras sambil merokok.

“Pak, kenapa mereka tidak diajak salat tadi?” tanya Bu Alia, istri Pak Farid. Mereka telah pulang dari musala.

“Urusan salat kan pribadi, Bu. Kalau mereka sadar sebagai muslim harusnya tidak usah diajak atau disuruh. Aku tak enak hati, mereka kan sudah dewasa.” Pak Farid memberikan alasan.

“Setidaknya kalau Bapak mengajak mereka salat berjamaah kan sudah satu kebaikan.”

“Kenapa bukan Ibu saja yang ngajak mereka salat di musala?” Pertanyaan Pak Farid membuat Bu Alia agak tersinggung.

“Bapak kan sesama laki-laki.” Bu Alia berkata sambil berlalu. Ia masuk kamar dan menutup pintunya. Ia duduk di atas sajadah dan membaca Alquran. Lana, anak lelaki mereka hanya mendengarkan percakapan itu lalu menuju ruang tengah dan menonton televisi.

Pak Diding, Pak Farid, Hilman, dan yang lainnya berkumpul di teras. Pak Diding bertanya pada Tono apakah ayamnya telah matang. Tono melihat jam di handphonenya. Ia segera beranjak dan mengajak teman-temannya ke dapur. Tiga puluh menit setelah lubang uap bersiul, dagingnya telah empuk dan matang. Tono mematikan api kemudian membuka tutup panci tekan yang masih berdesis. Aroma masakannya membuat perut siapa pun semakin bertambah lapar.

Pincuk mengambil setumpuk piring dan membawanya ke teras. Tono membawa rica-rica ayam yang masih di dalam panci tekan. Teteh mengambil nasi di dalam magic com dan Rama membawa baki yang dipenuhi beberapa gelas kosong. Apu membawa air putih dan lap.

“Ayo kita makan,” ajak Pak Farid begitu mereka sampai di teras.

“Wah, nasi dan ayamnya masih panas semua. Tunggu dulu beberapa menit agar lidah kita tidak kecanthang,” ujar Pak Diding.

Pak Farid menyuruh Pincuk mengambilkan nasi di piring untuk semua orang. Ia sendiri malah menuju musala karena mendengar azan isya. Yang sudah mendapatkan nasi langsung mengambil lauknya. Tono dan Teteh langsung menyantap hidangan itu meskipun masih panas. Mungkin mereka benar-benar lapar. Yang lainnya menunggu lauk agak dingin, melihat dan mengomentari cara makan Tono dan Teteh sambil tertawa. Setelah dirasa cukup berkurang panasnya, mereka pun melahap bagian masing-masing. Pak Farid sudah kembali dari musala lalu makan bersama mereka. Tono malah menambah nasi dan lauknya.

Beberapa menit kemudian, nasi dan rica-rica ayam kampung telah ludes. Hanya menyisakan sedikit kuah di panci serta setumpuk piring dan gelas kotor. Usai makan mereka tidak beranjak. Mereka mengobrol sambil merokok. Asap rokok memenuhi teras seperti ada kabut menyelimuti. Pincuk, Rama, dan Teteh membawa barang-barang yang kotor ke dapur lalu kembali duduk di teras.

Catatan:

Kecanthang = sakit karena terkena benda panas

Bersambung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Jadi cerita yang menarik, mantap . Banyak yang bisa dijadikan ide untuk tulisan, semangat terus ibu, dan terimakasih telah berkunjung ke gurusianaku.

03 Jan
Balas

Benar Pak. Terima kasih

03 Jan

wah, seru ya, Bu...

02 Jan
Balas

Iya Bu. Ada keseruan dan kebahagiaan menikmati rizki berupa makanan enak bersama-sama.

02 Jan



search

New Post