Ummi Habibah Nor Apriliyanti

Ummi Habibah Nor Apriliyanti Lahir di Ngawi, 12 April 1976. Setelah menamatkan SD - SMA di Ngawi, kemudian melanjutkan kuliah di Universitas Gadjah Mada jurusa...

Selengkapnya
Navigasi Web

Seberkas Sinar Di Akhir Senja

Seberkas Sinar di Akhir Senja

Tidak ada kata terlambat dalam berbuat kebajikan.

Tidak ada taubat kalau tak pernah berbuat kesalahan

- Habie –

Allohu Akbar …Allohu Akbar…

Laa Ilaaha Illalloh..

Sayup lirih terdengar suara azan Maghrib dari surau yang ada di perempatan jalan sebuah kampung . Kampung ini bernama Kedungharjo. Seperti biasa, puji-pujian dilantunkan oleh Mbah Bejo yang sudah mulai menua. Kira-kira selama lima menit, Mbah Bejo melantunkan sholawat dengan suara paraunya.

Satu persatu jamaah surau ini mulai berdatangan. Namun tak lebih dari sembilan orang yang datang. Mbok Paenah, Mas Beki, Mbakyu Marni adalah jamaah yang rutin datang setiap maghrib dan Isya. Sementara jamaah lainnya berganti-ganti. Diluar surau anak-anak berkeliaran sambil teriak-teriak bermain petak umpet. Tak ada yang mengarahkan. Tampak Mbah Bejo kembali mengumandangkan iqomat tanda dimulainya sholat berjamaah. Disudut mimbar Mbah Bejo meletakkan mikrofon yang baru saja dipakainya. Kali ini Mas Beki yang ditunjuk jadi imamnya.

“ Monggo Mas Beki, Penjenengan imam nggih?” Kata Mbah Bejo

“ Nggih Mbah,” Sahut Mas Beki

Segera Mas Beki maju ke depan dan memimpin sholat maghrib hari ini dengan khusyuk. Bacaannya belum terlalu fasih, terkesan agak dipaksakan. Tapi apa boleh buat, Mas Beki dianggap layak oleh jamaah lainnya.

Memang sudah sepuluh tahun ini surau ini jarang disinggahi lagi oleh warga kampung ini untuk beribadah. Sejak kepergian kang Dullah ke Sidoarjo mengikuti anak istrinya, surau ini tak ada yang memakmurkannya. Pemuda-pemuda yang ada di kampung ini lebih memilih pergi ke kota untuk mengundi nasib mencari peruntungan. Mereka menganggap kota lebih menjanjikan. Dengan bekerja di pabrik atau di toko-toko di kota besar, serasa harga diri mereka lebih meningkat daripada harus bekerja ke sawah, memanggul padi saat panen tiba atau menggelar terpal menjemur gabah-gabah hasil panennya. Peluh keringat yang keluar dirasakan tak berharga dan terasa berat pekerjaan itu bagi mereka.

Kang Dullah, selama ini adalah sosok pemuda matang yang berjuang membangun surau di Kampong Kedungharjo ini. Dengan hanya berbekal uang sedikit, kang Dullah menyisihkan jerih payahnya yang kecil dari hasil kerjanya di sebuah selepan padi. Setiap pagi dia bekerja sampai dhuhur. Begitu waktu dhuhur tiba, ia meminta ijin kepada Kang Pardi, pemilik selepan satu-satunya yang ada di kampung ini untuk istirahat makan dan melaksanakan sholat di surau itu. Kurang lebih jam dua siang dia kembali ke selepan untuk menunggu warga yang akan menggiling padi. Sore menjelang maghrib dia kembali ke surau untuk mengajak anak-anak mengaji disana. Sekirar enam sampai delapan anak yang suka datang mengaji. Walau tak terlalu banyak, hal itu cukup membahagiakannya. Itulah keseharian Kang Dullah.

Entah mengapa, setelah menikah Kang Dullah mulai berubah. Istri yang dicintainya merengek minta pindah ke kampung halamannya di Sidoarjo. Dia merasa tidak betah tinggal di Kedungharjo. Segala yang diinginkannya susah didapat, berbeda dengan Kota Sidoarjo. Kemana-mana gampang, angkutan kota banyak, sehingga tak perlu repot kalau mau bepergian. Tampaknya, rengekan istrinya setiap hari membuat Kang Dullah tak berkutik. Kang Dullah mengalah. Dengan berat hati, dia dan keluarganya harus meninggalkan kampung ini.

Kini kondisi surau kampung Kedungharjo terasa hampa tanpa kehadiran Kang Dullah. Anak-anak tak lagi mengaji seperti biasanya.

Sore ini, rumah mbah Minah , salah satu warga Kedungharjo kehadiran seorang tamu. Seorang wanita muda, berjilbab warna abu-abu, mengenakan baju resmi dengan warna senada selayaknya seorang pegawai kantoran.

“ Assalamualaikum?” Sapa wanita berjilbab itu.

“Waalaikumsalam?” Jawab mbah Minah. “ Monggo, silakan masuk,” Lanjut mbah Pinah sambil mempersilakan wanita itu masuk ke rumahnya yang sederhana.

Sejenak wanita itu melihat sekeliling ruang tamu rumah Mbah Minah. Tampak lukisan gambar Presiden Soekarno terpajang di atas televisi. Ukurannya cukup besar. Mungkin enampuluh kali seratus centimeter. Di kanan kirinya ada lukisan pemadangan yang biasa dijual di pinggir jalan Malioboro.

“Siapa nggih, ada perlu apa ya bu?”

“ Saya Yuli mbah. Kebetulan saya ditugaskan mengajar di SD di kampung ini. Rumah saya cukup jauh. Saya dari Madiun Mbah. Makanya saya kesini mau cari kontrakan. Kalau tiap hari berangkat dari rumah pasti kesiangan. Mudah-mudahan mbah punya tempat untuk saya.” Kata bu Yuli menjelaskan kedatangannya.

“ Oalah….. rumah saya kan kayak begini bu, masak ibu mau tinggal disini? Sahut mbah Minah.

“ Nggak apa-apa Mbah. Yang penting saya bisa tidur. Nggak telat kalau ngajar ke sekolah .” Kata Bu Yuli.

Sejak saat itu, bu Yuli guru muda itu tinggal di rumah Mbah Minah. Hari-harinya disibukkan dengan kegiatan mengajar. Namun di sela-sela kesibukannya, dia menyempatkan waktu untuk mengajak anak-anak kampung itu untuk belajar mengaji menjelang sholah ashar di surau.

Tampaknya anak-anak kampung Kedungharjo merasa bahagia dengan kedatangan bu Yuli di kampung ini. Berkat bu Yuli, surau kembali ramai dengan anak-anak. Bukan untuk bermain saja, tapi belajar mengaji sambil sesekali diselingi dengan permainan yang dipandu oleh bu Yuli.

Kecintaannya pada anak-anak membuat bu Yuli disukai oleh anak-anak. Mereka tidak ragu-ragu bertanya tentang berbagai hal. Dari pelajaran sekolah, pelajaran mengaji, pengetahuan umum, sampai dengan berita-berita yang marak di televisi. Rasa penasaran anak-anak tentang berbagai hal menambah semangat bu Yuli untuk mengajak anak-anak belajar lebih giat. Bila waktu libur, sesekali bu Yuli mengajak lari pagi bersama sambil menikmati pemandangan di kampong Kedungharjo. Hal ini menambah kedekatan anak-anak kampung ini pada bu Yuli, sosok guru muda yang berbudi luhur, semangat , kreatif dan menarik.

Setiap sehabis subuh dan maghrib, bu Yuli mengajak mbah Minah dan keluarga untuk sholat berjamaan ke surau. Awalnya mereka ragu-ragu, malu dengan tetangga karena memang sebelumnya tidak pernah melaksanakan salat lima waktu. Namun bu Yuli dapat membesarkan hati mereka. Pernah satu kali mbah Minah bercerita tentang dirinya.

“ Bu Guru Yuli, mbah ini malu. Sudah tua belum bisa bacaan salat. Mau belajar sama siapa, mbah nggak tahu.” Kata Mbah Minah dengan nada rendah.

“ Kenapa harus malu Mbah, Belajar itu tidak ada batasnya. Belajar itu ari buaian sampai liang lahat. Tidak boleh berhenti. Lebih baik terlambat Mbah, daripada tidak mau memulai belajar. Mbah bisa belajar sama saya.” Jelas bu Yuli dengan suara yang begitu tenang.

“ Mbah itu pingin bisa mengaji, pingin juga tahu bacaan yang dibaca saat salat.” Pinta Mbah Minah

“ Ya Mbah, nanti saja bombing setiap selesai salat maghrib ya Mbah.” Tegas bu Yuli.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Mbah Minah istiqomah dengan niatnya. Semakin ia dikuatkan oleh bu Yuli untuk tidak perlu malu belajar di usia senja, ia semakin bersemangat dalam belajar. Hal ini pula yang menguatkan hati bu Yuli untuk tidak pernah letih mengajar.

Seberkas sinar hikmah telah merasuk ke jiwa mbah Minah. Masa mudanya yang dilewatinya menjadi masa kelam yang memang sulit untuk dilupakan. Dunianya yang hitam dulu, menjadi cermin bagi dirinya untuk menjadi manusia yang lebih baik. Istighfar yang setiap saat dia lantunkan diharapkan mampu menghapus dosa-dosanya di masa lalu saat memenuhi nafsu-nafsu lelaki hidung belang yang datang kepadanya.

Saat bu Yuli mendengarkan cerita ini langsung dari mulut mbah Minah, air matanya tak berhenti mengalir. Bu Yuli bersyukur, ia dilahirkan dari keluarga yang agamis dan terhormat. Orangtuanya tak pernah berhenti mengingatkannya untuk melaksanakan salat dan mengaji. Bahkan, saat kecil bu Yuli merasa dipaksa melaksanakan sholat, tapi akhirnya sadar setelah usianya menginjak aqil baligh. Kesadarannya dalam menjalankan ibadah mengalir seiring dengan bertambahnya umur.

Kini Mbah Minah mulai lancar membaca huruf-huruf hijaiyah kata demi kata, sampai dia dapat menyelesaikan buku iqro jilid enam. Sungguh pencapaian yang luar biasa saat usianya sudah menua. Usahanya yang gigih telah membuahkan hasil. Walau belum begitu lancar, mbah Minah tidak kenal lelah untuk melanjutkan belajarnya kepada bu Yuli yang dengan sabar membimbingnya.

.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tidak ada taubat kalau tak pernah berbuat kesalahan. Setuju sekali bu.

19 Aug
Balas

Terima kasih pak Yudha. Masih belajar. Mohon koreksinya

20 Aug

Super!

23 Aug
Balas

Terima kasih bu Eneng... Kangen nih sama bu Eneng

23 Aug

Terima kasih ibu Umul Muarofah.Salam kenal dari saya

20 Aug
Balas

Subhanallah...

19 Aug
Balas



search

New Post