Pakguru Untung

Di media sosial saya dikenalnya Untung Madurarasa, sebagai guru seni budaya di Surabaya...

Selengkapnya
Navigasi Web
Guru Mengajar Tidak Sama dengan Siswa Belajar
foto: Untung Madurarasa

Guru Mengajar Tidak Sama dengan Siswa Belajar

Menjadi guru tidak semudah apa yang kita bayangkan. Mulanya saya membayangkan, guru itu hanya datang masuk kelas, datangnya pun terlambat, absen siswa, menerangkan atau memberi tugas, setelah itu selesai, kalau perlu baru memberikan PR. Sungguh gampang, dan begitu mulia, karena guru menjadi pahlawan tanpa jasa.

Apalagi kelas yang saya ajar, sangat kondusif. Jumlahnya tidak lebih 20 (dua puluh) siswa, saya mengatur mereka tak menemukan masalah apa pun. Dan mereka semua sudah paham apa yang akan dilakukan. Serta mereka seragam, jika saya mengatakan “biru” semua melakukan “biru”, saya mengatakan “putih” semuanya tanpa salah.

Itulah semua kenyataan dalam bayangan saya, bukan dalam realita. Karena relitanya sangat berbeda. Bahkan berbeda seratus delapan puluh derajat (1800). Jika masih ada guru semacam itu pasti sudah ditinggalkan oleh muridnya.

Guru Bukan Pengajar

Ditengah riuh Covid-19 atau Corona yang sedang melanda Indonesi dan negara-negara lainnya di dunia. Ada surat edaran dari Dinas Pendidikan Surabaya perihal pemberitahuan untuk mengarahkan peserta didik belajar di rumah masing-masing, dan guru tetap masuk seperti biasa. Guru-guru SMP Negeri 18 Surabaya tetap semangat melaksanakan salah satu tugas dan tanggungjawabnya sebagai guru, yaitu Pembinaan untuk meningkatkan kualitas akademis mau pun non akademis. Pembinaan terhadap guru-guru dilakukan oleh Drs. Ahmad Syuhadak, M.Pd. yang panggil Pak Hadak (Pengawas Pembina sekolah.)

Hari ini, sejatinya guru lah yang harus selalu belajar setiap saat. Karena guru bukan sekadar pengajar seperti tutor-tutor di Bimbel (Bimbingan belajar). Tutor hanya menyampaikan dan memberikan cara yang simple dalam mengerjakan soal-soal. Sedangkan guru adalah pendidik, ada proses dan contoh yang harus dilakukan. Pendidikan kaitannya dengan moral atau karakter peserta didik.

Pada saat orang tua mempercayai sekolah, dan guru sebagai pengganti orang tua untuk mendidik anaknya. Tugas guru bukan hanya menyampaikan pelajaran, apalagi hanya memberi tugas-tugas yang belum tentu mendidik anak tersebut.

Dari sini kita sudah paham, betapa berat dan kompleksnya serta tidak mudah tugas guru. Disamping guru dituntut mengembangkan karakter baik peserta didik, ada target nilai yang tinggi dan harus diraih ketuntasan belajar yang cukup tinggi.

Dalam pembinaan yang disampaikan Pak Hadak, dijelaskan bagaimana menjadi guru yang hebat, artinya menghasilkan siswa yang terdidik dan berkarakter baik. Pertama, guru harus paham apa yang akan “dilakukan”. Dalam penyampaian Pak Hadak di kemas dalam sebuah permainan. Setiap guru mendapatkan selembar kertas, dan perintahnya “Silakan, kertas tersebut mau dijadikan apa saja terserah bapak/ibu.”. hasilnya berbagai macam bentuk, baik yang rapi atau yang tak beraturan seperti gambar di atas. Gambar tersebut adalah karya saya.

Dari permainan tersebut, saya tarik kesimpulan bahwa jangan sampai guru tidak melakukan apa-apa, apalagi guru tidak tahu apa yang akan dilakukan menghadapi berbagai macam karakter siswa.

Prinsip dalam pendidikan karakter salah satunya adalah mengidentifikasi karakter siswa secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan dan perilaku yang baik. Untuk memaksimalkan apa yang harus dilakukan guru dalam mendidik karakter siswa harus dilakukan identifikasi mendalam. Guru harus tahu setiap memiliki perangai baik yang bermacam-macam. Karena secara fitrah manusia adalah makhluk yang unik, memiliki kemampuan yang berbeda-beda.

Kedua, guru harus paham apa yang akan diberikan kepada siswa. Pak Hadak, membagikan selembar kertas lagi. Perintahnya, “tuliskan apa saja dalam kertas tersebut dan dibubui nama.” Dari permainan tersebut, dijelaskan guru datang dan masuk kelas jangan sampai tidak tahu dan tidak paham apa yang akan diberikan. Pada akhirnya guru hanya memberikan tugas, atau sekadar ceramah di depan kelas. Hal yang semacam ini bukan siswa belajar, tapi guru mengajar. Saya teringat kalimat Munif, dalam bukunya “orangtuanya manusia”, guru mengajar tidak sama dengan siswa belajar.

Menuif menjelaskan lebih lanjut, jika kelas-kelas banyak dihiasi guru mengajar, bukan siswa belajar. Apalagi diujung jenjang terakhir, ada ujian nasional yang memiliki dampak multisetres. Jangan heran, ketika setres bersemayam dalam diri anak yang sudah remaja, dan karakter anak belum terarah dan terbentuk dengan baik. Ini bagaikan pintu terbuka lebar untuk pengaruh lingkungan yang buruk; tawuran, kenakalan remaja, pergaulan bebas, dan nakoba –­ semuanya, sangat mudah melahap remaja kita dalam kondisi setres.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post