usyratin GPAI

Saya adalah guru Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Dasar di desa yang terletak 35 km dari kota Gresik. Menjadi orang yang bermanfaat merupakan visi yang harus...

Selengkapnya
Navigasi Web
SEDEKAH SATE KUL GONDANG

SEDEKAH SATE KUL GONDANG

Tiga hari menjelang Ramadhan keluarga kami memanen ikan di tambak air tawar. "Buk, aku ikut bapak ke tambak, mau pesan apa?", tanya anak bungsuku yang masih kelas VI. "Kul saja", jawabku sekenanya, karena aku yakin anak sulung ini hanya main-main di tambak. jadi, kuberi kerjaan untuk mencari kol gondang.

Pukul 23.00, bapak dan anak berangkat, "ojo lali kol", aku mengingatkan sekali lagi. "Okey", jawab keduanya serentak. mereka juga tahu bahwa keong sawah, yang juga disebut tutut ini kesukaanku. memang, dari kecil keluarga kami suka makan hewan yang mengandung protein ini. Mungkin karena kami petani, sekalian ke sawah, pulangnya membawa kol gondang ini untuk lauk.

Menjelang shubuh, "Ibuuuk...ini lho...nggak kuat!", suara anak bungsuku dibalik pintu. "Astaghfirullah!", spontan terucap istighfar ketika kubuka pintu. Kol gondang setengah karung bekas gabah, ukuran satu kuintal tepat di depan pintu. Nafasnya terengah-engah, tubuh bontotnya basah, bau lumpur, menandakan perjuangan hebat mendapatkan kol ini. "Alhamdulillah...", seakan kuralat istighfarku untuk membuatnya bahagia karena ibunya sangat puas dengan hasil kerjanya.

"Mandi, terus lekas sholat shubuh!", sambil kusiapkan pakaian ganti di dekatnya. "Buk, aku tidur ya!", pamit si bontot yang tak biasa tidur setelah shubuh. Tapi, karena semalaman belum tidur membuatnya tak kuat menahan kantuk walau mentari mulai naik.

Kol gondang kucuci dengan air, dua bak cucian. Aku bingung mengolahnya, selain akan memakan waktu lama, panci ukuran besar pun tak kumiliki. Tapi, yaaa...entahlah, biar kuakal nanti. Selesai kucuci sampai tiga kali, kumasukkan panci, dua panci ukuran sedang. Kurebus dua panci gelombang pertama. Setelah mendidih, kuangkat, kutiriskan. Kol gelombang kedua dengan ukuran yang sama telah menghangatkan diri di atas kompor. Sambil menunggu gelombang kedua mendidih, kukeluarkan isi kol gelombang pertama dari cangkangkanya, satu per satu dengan tusuk sate. Sementara kol gelombang ketiga masih asyik menari-nari di ember...

bersambung...

Desaku, Padangbandung, 14/06/2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerpen yg bagus Bunda, semoga semakin sukses. Salam kenal, salam literasi dari kota Sukoharjo Jawa Tengah.

14 Jun
Balas

terima kasih, bunda...ini baru belajar nulis...pertama kali buat cerpen. Salam kenal dari kota Gresik

14 Jun

Wow, kirim ke aku Bund. Aku suka Tutut, hehehe. Sukses selalu dan barakallahu fiik

15 Jun
Balas

he he...betulkah? makanan kampung. terima kasih...Wa iyyaki

15 Jun

Mantap...

14 Jun
Balas

terima kasih

14 Jun

mantul buk, segera dong sambungannya. apa kelanjutan dari kol gelombang ketiga setelah menari-nari di ember, senasipkah dengan kol yang ember 1 dan 2? hehehe. ditunggu

14 Jun
Balas

Terima kasih telah membaca sampai di baris akhir...semoga nasib kolnya lebih baik he he he

14 Jun



search

New Post