vesembadra

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Masih Ada Pelangi di Matamu

Pagi itu sang surya sudah mulai memancarkan cahaya dengan penuh rasa bangga. Cahaya hangatnya memberi semangat di kehidupan alam semesta. Belaian angin yang menghembuskan sisa embun membuat udara menjadi semakin segar. Sesekali nyanyian burung-burung bersahutan menambah indah suasana hari yang ditunggu-tunggu Erik untuk menerima raport. Wajahnya tampak begitu cerah, bahagia. Dan pagi ini tak seperti biasanya, dia sudah siap untuk pergi ke sekolah

“Tumben kamu, masih pukul enam pagi sudah siap-siap berangkat ke sekolah.” Vivian, kakaknya keheranan, karena tak seperti hari-hari biasanya Erik melakukan kebiasaan ini. Kebiasaan bangun siang karena tidur terlalu malam menonton acara di televisi. Sore hari sukanya main game, tak pernah membuka buku. Sehingga ketika ada tugas pekerjaan rumah selalu tidak dikerjakan. “Kan hari ini penerimaan raport, kak. Jangan lupa ya, nanti kakak yang mengambilkan raportku!”, jawabnya dengan penuh semangat.

Setelah minta ijin kepada ibu dan kakaknya, si rambut keriting itu langsung mengambil sepedanya dan kabur menuju ke sekolah. Erik memang biasa di panggil teman-temanya si keriting karena rambutnya memang pas untuk disebut itu, namun tidak terlalu lebat atau kribo. Hanya ikal saja, namun karena dalam satu kelasnya hanya dia yang memiliki rambut berbeda maka teman-temannya lebih akrab menyebutnya dengan panggilan si keriting. Panggilan ini yang membuat dirinya kadang kurang percaya diri. Badanya agak kecil, namun tidak terlalu kurus. Kecil tetap berisi. Cukup lincah dan gesit. Matanya yang agak sipit kadang kakak kelasnya ada yang memanggil si mata ngantuk. Sebutan ini yang terkadang membuat dia marah. Sebenarnya dia bukan pemarah, kondisi yang tidak nyaman ketika mendapat sebutan itulah yang memicu muncul emosi marahnya. Senyumannya selalu terlepas untuk semua teman di sekolah, tak heran jika si murah senyum itu memiliki banyak teman.

Tidak seperti biasanya, hari ini sekolah masih cukup sepi. Hanya ada beberapa siswa yang sudah berada di kelas untuk melakukan kewajiban menyapu kelas. Suara teriakan siswa-siswa juga belum terdengar. Simpang siur siswa yang berlari kejar-kejaran belum tampak. Musik ritmis dari meja yang dimainkan layaknya kendang oleh anak laki-laki juga belum mengalun. Mereka akan berangkat agak siang karena undangan pembagian raport hasil ulangan akhir semester dua nanti pada pukul delapan. Namun keanehan malah terjadi pada diri si pemilik rambut keriting itu. Biasanya dia berangkat agak siang. Bahkan sering terlambat. Kadang teman sekelasnya sudah selesai berdoa, dia baru masuk. Tidak berangkat tanpa ada alasanpun sering dilakukannya. Namun hari ini malah berangkat lebih awal dari teman-teman sekelasnya. Benar-benar ada yang beda dengan kebiasaannya.

“Jika kamu rajin seperti hari ini, tentu akan sukses.” Kalimat itu mengejutkan anak yang hari ini tampak ceria ketika menyandarkan sepeda di tempatnya. Si mata ngantuk selalu membawa sepeda dan menaruhnya di tempat sepeda sekolah yang tidak terlalu luas namun cukup untuk menampung sepeda siswa karena tidak semua membawa sepeda. Letaknya di belakang sekolah namun tetap aman karena ada pagar bumi. Dan semua siswa yang membawa sepeda sudah sarankan bahkan diperingatkan untuk selalu mengunci sepeda masing-masing. Erik menoleh ke arah suara yang tak asing ditelinganya. Ternyata dia adalah penjaga sekolah yang juga peduli dengan siswa. Meski bukan seorang guru, tetapi dia juga sering memantau siswa sekolah dimana dia mengabdikan tenaganya. Tanpa menjawab, si mata ngantuk itu langsung meninggalkan sepeda yang telah dikuncinya dan menuju ke ruang kelas.

Penjaga sekolah itu sudah paham dengan tingkah laku si pemilik rambut keriting yang suka membolos. Saat jam pelajaran berlangsung sering ijin ke belakang untuk buang air kecil, namun hanya bermain. Pak Mijo, penjaga sekolahnya paham betul kelakuan siswa yang satu itu. Guru kelasnya juga mengeluh dengan sikap dan kelakuannya akhir-akhir ini. Di kelas tidak pernah konsentrasi saat pelajaran berlangsung. Suka usil dan sering cerita sendiri. Jika sepi tidak ada ulahnya ternyata sudah tertidur. Pekerjaan rumah selalu tidak dikerjakan dengan berjuta alasan yang dikemukakannya. Hasil ulangan harian menurun sangat drastis.

Jarum jam menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit. Suasana masing-masing kelas di sekolah itu sudah berubah cukup ramai karena siswa dan orang tua atau wali meraka sudah datang. Kakaknya yang kali ini akan mengambilkan rapor miliknya juga sudah berada di ruang kelas lima. Mereka seakan tidak sabar ingin melihat raport hasil belajar putra putrinya. Demikian halnya dengan Vivian yang cukup khawatir dengan nilai hasil belajar adiknya. Kurang yakin dengan hasil belajar adiknya. Dia tahu persis dengan kebiasaan adiknya yang selama ini selalu mengabaikan waktu untuk belajar.

“Selamat pagi, semuanya.” Salam dari guru kelas lima ketika memasuki ruangan itu membuat suasana begitu tenang. Suara yang cukup wibawa membawa suasana yang berbeda. “Selamat pagi ...”, jawab wali siswa yang berada di ruangan itu dengan kompak. Setelah meletakkan tumpukan raport di atas meja, guru kelas lima melanjutkan penyampaian beberapa hal yang penting berkaitan dengan kenaikan kelas kepada wali siswa. Kewibawaan guru ini tentu membuat para orang tua atau wali yang hadir di ruangan ini sangat yakin jika wali kelas lima adalah guru yang disukai para siswa. Benar adanya, Pak Wito selaku guru kelas lima sangat disukai siswanya. Postur tubuh yang ideal bagi seorang pendidik. Atletis dengan paras yang cukup menawan. Para wajah penuh ketegangan di ruangan itu memperhatikan wejangan dari guru tampan dan wibawa dengan penuh sekama.

Kini ketegangan wali siswa sudah mulai mereda. Raport sudah mulai dibagikan. Ada yang berubah menjadi ceria karena hasil raportnya melegakan hati. Naik kelas dengan nilai memuaskan sesuai harapan mereka. Sorak kegembiraan menggema. Tawa kemenangan terpancar dari wajah mereka. Ada juga yang kecewa. Tangis terdengar disela-sela gelak tawa yang merdeka karena kemenangannya meraih sukses naik kelas.

“Erik”, panggil guru yang wibawa itu kepada siswa yang bernomor urut tujuh. Nomor urut absen yang tidak terlalu jauh sehingga namanya segera dipanggil. “Iya”, jawab kakaknya yang dari tadi sudah menunggu dengan harap-harap cemas. Pemilik wajah cantik yang dari tadi cemas itu maju untuk segera menerima raport adiknya.

Raport sudah berada di tangan kakaknya. Ketika keluar ruangan, si pemalas itu langsung menanyakan nilai hasil belajar kepada kakaknya. Dia memang sudah dijuluki pemalas oleh kakaknya. Tidak mau belajar. Ketika ada tugas pekerjaan rumah selalu tidak diselesaikan. Dan membolos juga sering dilakukan. Wajar bila menuai hasilnya.

“Bagaiman nilai raportku, Kak?” Si pemalas itu tidak sabar untuk mengetahui hasil belajarnya yang tidak dilakukan dengan serius selama ini. “Nanti saja kamu lihat dirumah. Sekarang kita pulang!” suara ketus itu membuatnya semakin penasaran. Kadang Vivian memang ketus, cerewat terhadap adiknya. Tindakan ini dilakukan sebenarnya mempunyai niat baik agar adiknya mau belajar, tidak hanya bermain, dan mau merubah sifat adiknya yang belum sesuai harapan ibunya.

Raport itu diberikan kepada adiknya yang malas ketika sampai dirumah. “Ini, kamu lihat sendiri!” Masih dengan nada agak tinggi karena dongkol. Wajah cantiknya memerah. Kesal menyelimuti menyelimuti hatinya. Diterima raport itu tanpa kata-kata karena sudah tahu kakaknya marah. Dibuka buku yang memuat hasil belajar itu, dilihat nilai-nilainya, dan ketika melihat tulisan naik dicoret yang artinya tidak naik kelas, wajah Erik memerah seperti kakaknya. Namun wajah merah yang berbeda. Kakaknya memerah karena kecewa, dia memerah karena merasa malu. Malu tak mau mendengar dan melaksanakan nasihat kakak tercintanya. Malu tidak bisa membuat ibunya bangga. Malu kepada teman-temannya yang akan meninggalkan ke kelas lamanya.

Dengan langkah gontai pemilik rambut ikal itu memasuki kamar. Yang dari tadi wajahnya memerah karena malu, kini makin merah karena deru air mata telah membasahi pipinya. Ternyata dia bisa mengucurkan air mata penyesalan. Sebutan bandel, yang kadang juga ditujukan pada dirinya ternyata dapat dilihat dari luarnya saja. Hatinya ternyata tak dapat mengendalikan rasa. Mudah tersentuh. Air mata terus mengalir menguras perasaanya yang tak dapat diungkapkan melalui kata-kata. Mungkin perasaan yang mudah tersentuh ini sejak ditinggal mati oleh ayahnya setahun yang lalu.

Waktu itu dia duduk di kelas empat. Dia sangat dekat dengan sang pemimpin di rumahnya. Setelah istirahat dari pulang kerja, sang idola selalu menemaninya. Ketika ada tugas sekolahpun selalu dibimbingnya. Namun sejak kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya, dia berubah menjadi anak yang seakan kehilangan sosok panutan. Kadang dia menyendiri dan meratapi kepergian sosok dambaanya, sehingga air mata tak terasa sudah mengalir di pipinya. Ibu dan kakaknya memahami semua perubahan yang terjadi pada diri yang telah kehilangan pegangan.

“Erik, anakku sayang”, suara lembut ibunya mulai menenangkan hati yang sedang pilu. “Kamu jangan sedih, masih banyak kesempatan”, suara yang khas dan pelukan hangat itu membuatnya mulai tenang dan isak tangis sudah mulai berkurang meski sesekali masih terdengar isakan sedih itu. “Aku malu, Bu. Aku telah mengecewakan Ibu, mengecewakan kakak”, isak tangisnya pecah lagi sambil memeluk ibunya sangat erat. “Itu wajar, nak. Sekarang kamu sudah menyadarinya. Kamu harus berubah. Jauhkan sifat-sifatmu yang sebenarny itu bukan sifatmu. Karena ibu tahu, kamu adalah anak yang baik, kamu itu rajin, pandai. Oleh karena itu, kamu harus bangkit kembali. Kamu harus bisa meraih cita-citamu. Jika kamu jadi anak yang sukses dan soleh, tentu ayahmu di surga akan bangga melihatmu.” Nasihat yang begitu dahsyat dari sosok yang memiliki kasih sayang pada buah hatinya. Petuah itu telah menyentuh hatinya yang sempat terlena dengan perasaannya. “Betul kata ibu, mari kita buktikan bahwa kita bisa sukses”, sambung si cerewet yang penyayang itu sambil memeluk adik kesayangannya. Air mata Erik tak bisa dibendung lagi. Air mata penuh harapan dan cita-cita untuk membanggakan orang-orang dambaannya. Kini sorot matanya begitu indah. Derai air mata telah menciptakan pelangi sebagai jembatan meraih cita-citanya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga Erik benar-benar berubah, pasti berhasi. .. Asyiik bacanya.

19 Oct
Balas

semoga, terima kasih sudah menyempatkan membaca

19 Oct



search

New Post