Hari itu, sepulang kerja hari Sabtu suamiku mengajakku ke Semarang untuk membeli spare part mesin Potokopi di kios kami. Panas terik hari itu karena memang sudah beberapa bulan belum diberi hujan.

Sepanjang perjalanan kami ngobrol membicarakan hal yang ringan sambil sesekali bercanda agar tidak ngantuk. Di sela-sela perbincangan, suamiku minta dibukakan botol minuman untuk menghilangkan kering di tenggorokannya. Tak terasa perjalanan kami menuju Bangkong Semarang, sudah sampai di Mangkang.” Hmm.. masih saja panas, dan selalu panas ... tapi untung yo Mas, nggak macet, kataku ..” Suamiku tersenyum sambil terus konsentrasi pada sesaknya lalulintas di depan Terminal Mangkang. “Kita itu kudu banyak bersyukur, Nduk ... , mau dikasih panas apa hujan, orak usah kakean ngeluh yooo ... “ sahutnya. “ Ya bukan berarti ngeluh, cuma kok tambah tahun tambah panas”, ujarku. “Iyalah, sekarang makin banyak pabrik, kendaraan pun tak bisa dicegah pertambahannya,” katanya sambil memungut snack yang aku bawa.

Sampai kami di spot tersibuk yaitu di Simpanglima. Suamiku menghentikan mobilnya disana sejenak (untuk mematuhi aturan harus berhenti karena lampu merah, hehehehe ...). Suamiku membuka kaca jendela. “Ngopo, Mas?”. Tidak menjawab ternyata dia menyodorkan uang ke penjual koran di sampingnya. Lalu menyerahkan koran itu padaku. “Tumben temen rep moco koran”. Lalu aku buka koran itu, kubaca – baca koran itu. Berita – beritanya sih sudah aku ketahui dari WA grup, cuma biar tidak bosan di perjalanan aku baca berita itu.

Setelah sampai di tempat yang dituju suamiku dan mendapatkan barangnya, kami pun melanjutkan perjalanan. Lelah, suamiku minta istirahat di Masjid kebanggaan masyarakat Jawa Tengah. Kami kesana untuk solat asar, lalu kembali ke mobil. “Masih capek ndak Mas”, tanyaku. “He eh, lungguh kene sedelo tak ngeluk boyok”. “iki korane diwoco ra .. hehehe ..”. “Aku pa’ istirahat, ora pa’ moco”, katanya sembari merebahkan jok. “Lhaaaaaahh.. ngopo tumbas koran”, kataku. “Nah iku, Nduk, aku beli koran memang bukan untuk aku baca, aku salut sama mereka, para penjual koran, mereka rela kepanasan, menawarkan koran yang sekarang ini jarang diminati orang”. Aku lalu beringsut untuk lebih mendengarkan lagi empatinya. “Mereka seperti itu kadang melawan rasa bahkan nafsunya untuk mengemis. Mereka seperti itu karena mereka bertahan, untuk tidak menjatuhkan diri mereka pada hal yang dilarang agama, hanya males trus pindah profesi yang hanya bermodal tepuk tangan”. “Iya ya Mas, .. lebih baik dan berharga yang seperti itu, daripada merendahkan diri dengan meminta – minta.”

Sebuah ‘hentakan’ kecil dan halus hari itu .. Kita patut dan wajib bersyukur dengan segala yang telah dianugerahkan kepada kita hingga saat ini. Alhamdulillaahirobbil’aalamiin ..

Kutulis dari Tersono,

Menyari perjalanan kami ke Semarang