Anak itu bernama Lim
Tampak seorang anak kecil sedang asyik main kelereng seorang diri di depan rumahnya, pada sebidang tanah dari halaman rumah yang dikelilingi rerumputan hijau yang telah terpotong rapi. Ia susun sejumlah kelereng lalu ia bidik kelereng paling kiri, dari jarak sekitar 2 meter. Rupanya bidikannya kurang tepat sehingga kelereng itu berserakan kian kemari. Ia pungut kelereng satu persatu, ia susun kembali dengan rapi pada garis lurus yang ia buat sebagai patokan. Lalu ia lakukan berulang kali sampai suatu kali, bidikannya tepat mengenai kelereng paling kiri tanpa bersinggungan dengan kelereng lainnya.
Anak itu berteriak: “Hebaaat……hebaaaat, aku bisa…. “ujarnya. Ia melompat-lompat girangnya, tanpa ada yang menyaksikan.
Bosan dengan permainan itu ia ganti dengan permainan kelereng lainnya. Permainan dengan menggunakan 3 lobang dengan 2 kelereng yang sebenarnya mesti dimainkan oleh dua orang. Secara bergantian dan bertukar peran memasukkan kelereng ke dalam lobang satu demi satu sampai lobang kesembilan, lalu ia bidik kelereng lawan.
Tik…..suara yang keluar dari dua kelereng yang beradu, sebagai petanda lawan mendapatkan hukuman harus bisa memasukkan kelereng ke dalam lubang.
Ia lempar kelereng sambil membidik bagaimana kelereng yang dilempar bisa memasuki lobang. Lalu ia bidik kelereng yang sudah hampir memasuki lobang tadi dengan menggunakan kelereng satu lagi sehingga kelereng bidikannya terlempar menjauhi lobang.
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita memanggil: “Liiim….liiiim….liiim” seraya menyuruh masuk ke dalam rumah.
Anak itu segera mengumpulkan kelereng-kelerengnya sambil menuju sumber suara.
“Ada apa mak? Amak tadi memanggil”, ujar anak itu.
“Iyooo Amak mamanggia, kini cuci tangan, amak alah mamasak samba, makanlah lim, jan lupo do’a, beko sasudah makan, cuci piriang surang yo”, demikian sahut amak dengan logat minangnya sambil berjalan melanjutkan pekerjaan rumahtangga.
“Iyo mak”, dengan patuhnya anak itu mengerjakan apa yang disuruh ibunya. Ia tarok kelereng-kelerengnya pada sebuah kaleng bekas, ia pergi ke sumur mencuci tangan lalu makan dengan kenyangnya, setelah itu ia cuci piring itu dan menaroknya di rak piring.
Anak itu bernama Salim, waktu kecil biasa dipanggil “Lim”. Anak kelima dari sepuluh bersaudara dari sepasang suami istri luarbiasa Rustam dan Yulisma, saudara dari kakak beradik yang juga luarbiasa.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
MasyaAllahCerita sudah mengalir Pak.Ditunggu tulisan lainnya.Salam literasi!!
terimakasih my teacher
Subhaanallaah...., tulisan yang luar biasa dari seorang anak yang juga sangat luar biasa. Sungguh berbahagia orangtua dan saudaranya. Salut untuk my big brother Wahyu Salim
Terimakasih senior
Seperti buya Hamka, yang bukan sekedar ulama tetapi juga seorang penulis aktif di berbagai jalur tulisan dan media. Tafsir iya, cerpen iya, kaset iya, televisi iya juga. Kini, moga bapak sebagai penerusnya...
kok bisu dik
Jadi Ingat masa kecil saya juga pak..
pernah kecil juga ya buk? semangat literasi!
Main kelereng lo wak ny pak hahaha
he...