Wan Zulkarnain Barus

Antropolog Universitas Sumatera Utara...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kompetensi Menteri Nadiem Makarim
Penulis saat berada di Universiti Malaya, Kuala Lumpur (Dokumentasi Pribadi Penulis)

Kompetensi Menteri Nadiem Makarim

Sejak terpilih jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Kabinet Jokowi/Ma’ruf Amin periode 2019-2024, Nadiem Makarim menjadi sorotan publik. Sorotan publik itu berkaitan dengan hal-hal yang tidak substantif, semisal isi pidato, pakaian sang menteri dan sebagainya. Awak media yang memang mencari “mangsa” berita, tentu diuntungkan dengan hadirnya sosok menteri yang jago di bidang industri teknologi dan informasi ini.

Pendiri Go-Jek itu kini menjadi salah satu bintang dalam Kabinet Indonesia Maju. Kisah perjalanan hidup beserta karirnya menjadi berita laku saat ini. Apalagi beberapa menteri merasa “tersaingi” dengan usia menteri yang relatif muda menjabat kementerian yang sangat strategis. Pesona seorang Nadiem juga telah menawan hati para guru. Para guru berharap banyak dari alumni Universitas Harvard yang sangat terkenal itu untuk membenahi dan memajukan pendidikan Indonesia.

Belum Pantas Menjadi Menteri

Setelah pengangkatan Nadiem Makarim menjadi Menteri Kemendikbud – dulu disingkat Menteri P dan K berubah menjadi Kemenrisdikti – berbagai pendapat pro dan kontra bermunculan. Pantaskah seorang menteri yang belum punya pengalaman di dunia pendidikan mengelola kementerian yang mendesain SDM Indonesia? Demikian beberapa pendapat mengemuka. Salah satu pendapat tadi datang dari seorang pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yaitu Profesor Cecep Darmawan. Beliau meragukan kepemimpinan Nadiem Makarim menjadi nakhoda di Kemendikbud, seperti dilansir Tribun Jabar, 9 Desember 2019.

Pernyataan pengamat pendidikan bergelar profesor itu, memberikan gambaran kepada kita bahwa ada hal-hal yang harus dimiliki seseorang menteri sesuai kapasitas dan kompetensi yang dimilikinya. Bahkan ada pengamat pendidikan dari Unimed (Universitas Negeri Medan) mengatakan bahwa Nadiem Makarim idealnya hanya sebagai wakil menteri. Sementara, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh orang yang punya pengalaman dan cemistri di bidang pendidikan.

Kompetensi Menteri Dipersoalkan

Beralih kepada profesi guru bahkan dosen sebagai tenaga pendidik yang dituntut punya kompetensi di bidangnya dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai pendidik, tentu menuntut lebih kepada menteri yang berada diatasnya agar punya kompetensi yang sama pula. Tidak adil memang, para guru dan dosen dituntut dengan kompetensi melalui berbagai jenjang seleksi semisal akreditasi guru dan dosen, sementara menteri yang mengelola kementerian tidak punya kompetensi di bidangnya.

Jika Nadiem Makarim menjadi Menteri Perhubungan atau Menteri Kominfo, menurut penilaian penulis boleh-boleh saja. Mengingat Mas Nadiem – demikian panggilan banyak guru – memang penggagas model transportasi online pertama milik pribumi di Indonesia. Kemudian tentunya disesuaikan dengan ilmu yang selama ini digelutinya. Namun, ketika Nadiem Makarim disingkat NM ini diangkat Jokowi/Ma’ruf Amin berada pada posisi sebagai Kemendikbud, maka reaksi "positif" yang mengkritisi pun bermunculan di sana sini.

Dengan kondisi seorang menteri yang tidak punya pengalaman langsung di dunia pendidikan patut dipertanyakan kredibilitasnya. Dunia pendidikan adalah dunia yang sarat dengan filosofi pendidikan itu sendiri. Filosofi pendidikan adalah melihat pendidikan sebagai proses membentuk karakter, budi pekerti, kadar intelektual, kemampuan emosi, kekuatan nalar dan keyakinan diri sehingga terbentuk pribadi-pribadi yang Indonesiana, seperti apa yang dilakukan taman siswa yang digagas Ki Hajar Dewantara.

Persoalan pendidikan adalah persoalan utuh menyangkut kemampuan menghasilkan SDM unggul yang tangguh, kuat, tekun, ulet, sabar dan mempunyai karakter khas, yang dahulu dimiliki para pemimpin kita. Pendidikan memerlukan proses panjang dan tentu berkesinambungan. Konsistensi adalah kata kunci dalam memajukan dunia pendidikan.

Sesuai dengan filosofi pendidikan yang telah digariskan Ki Hajar Dewantara melalui Taman Siswanya, perlu menjadi pedoman Presiden Jokowi beserta Ma’ruf Amin dalam memilih menteri yang bertanggung jawab terhadap kemajuan SDM Indonesia. Alangkah naifnya, jika menteri terpilih diangkat karena balas budi atau jasa, seperti isu yang menyeruak terkait pengangkatan wakil menteri yang dikait-kaitkan dengan bagi-bagi kursi kekuasaan. Contoh kasus, semisal wakil menteri pariwisata. Ada isu liar mengatakan bahwa anak Harry Tanoe Sudibyo itu diangkat menjadi wakil menteri karena orang tuanya ikut mendukung pencalonan Jokowi/Ma’ruf Amin sebagai Presiden RI. Apalagi Harry Tanoe Sudibyo merupakan ketua salah satu parpol.

BIla ini terbukti dan menjadi kenyataan, betapa kita sangat dirugikan. Bukankah pengorbanan rakyat telah begitu banyak dalam pilpres kali ini. Bahkan pada tataran grass root, masyarakat Indonesia menjadi terbelah pada 2 kelompok. Semua orang faham tentang itu.

Penutup

Eksistensi Kemendikbud saat ini pun masih banyak yang harus dipersoalkan. Isu ganti menteri ganti kurikulum atau ganti kebijakan sudah menjadi rahasia umum. Belum lagi posisi kementerian yang berubah-ubah dan juga tentu nama kementerian itu sendiri. Dikaitkan dengan posisi filosofi pendidikan kita saat ini yang sudah melenceng dari pedoman yang telah dibuat Ki Hajar Dewantara yaitu pendidikan yang memanusiakan manusia, sepatutnya ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua bahwa jangan menganggap sepele dan remeh berkaitan dengan pengembangan dan pembangunan manusia Indonesia.

Kita bisa melihat perbandingan dengan negara jiran, semisal Malaysia. Pembangunan SDM mereka digagas Menteri Pendidikan Mahatir Mohammad pada masa itu, sekitar tahun 70-an berbuah manis. Proses pembangunan manusia Malaysia disusun secara sistematis dan terarah memakan waktu yang relatif cukup panjang. Ada rentang waktu 30 sampai 40 tahun Malaysia bangkit menjadi salah satu kekuatan baru di negara ASEAN. Padahal bisa kita ingat bahwa Malaysia dulu banyak belajar dari Indonesia.

Goresan pena ini ingin memberikan sinyal kepada kita semua bahwa mengelola pendidikan tidak instan seperti memesan makanan yang dilakukan Go-Jek dengan menu Go-Foodnya. Pendidikan perlu sentuhan bhatin seorang visioner sekelas Mahatir Mohammad yang akhirnya layak menjadi Perdana Menteri selama puluhan tahun. Bahkan saat ini, Mahatir Mohammad di usia 94 tahun dipercayakan kembali memimpin negaranya. Muncul pertanyaan dibenak kita bahwa layakkah Nadiem Makarim menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI? Wallahua’lambhissawab.

Penulis adalah Antropolog USU

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post