Wan Zulkarnain Barus

Antropolog Universitas Sumatera Utara...

Selengkapnya
Navigasi Web
MAU DIBAWA KE MANA PROVINSI SUMATERA UTARA?
Masjid Raya Al-Mashun Kebanggaan Warga Sumatera Utara (Sumber : Dokumentasi Pribadi Penulis)

MAU DIBAWA KE MANA PROVINSI SUMATERA UTARA?

Provinsi Sumatera Utara akan menggelar pesta demokrasi 5 tahunan. Pesta lima tahunan ini, rencananya akan dihelat pada 2019 yang akan datang. Gemuruh Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) tingkat Provinsi di Pulau Sumatera tersebut, mulai terasa. Poster dan spanduk para calon mulai menghiasi tempat-tempat strategis di berbagai sudut Kota Medan. Bahkan para bakal calon (balon) kepala daerah telah mengambil formulir dan mengembalikan isiannya beserta syarat-syarat yang diperlukan. Tentu, partai politik (parpol) pengusung akan menseleksi, siapa yang pantas dan layak untuk dijadikan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara mendatang.

Terkait masalah memilah dan memilih Gubernur Sumatera Utara periode 2019-2024, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan bukan saja oleh pemilih, akan tetapi parpol pengusung dan tentunya para calon yang akan bertarung. Berkaca dari pilkada Sumut sebelumnya dan sejarah pilkada itu sendiri di Indonesia, ada satu hal yang menarik untuk dicermati dan ini sangat urgent untuk dianalisis. Isu krusial Pilkada Sumut saat ini adalah mau dibawa ke mana Provinsi Sumatera Utara setelah terpilihnya Gubernur, seperti judul tulisan di atas.

Pertanyaan ini, harus bisa dijawab dan dijabarkan secara detail dan rinci oleh para balon agar masyarakat Sumatera Utara, tidak kecewa nantinya, ketika telah terpilih Gubernur definitif. Mengingat bahwa arah dan kebijakan kepala daerah dapat membawa dampak baik itu positif maupun negatif. Oleh sebab itu, perlu adanya indikator-indikator atau ukuran-ukuran yang jelas dan sistematis tentang bagaimana arah dan tujuan pembangunan daerah Sumatera Utara ke depan.

Kelemahan yang sangat menonjol dari pilkada selama ini adalah bahwa setiap ganti kepemimpinan, maka arah dan kebijakan pembangunan di suatu daerah akan berubah dan berganti sesuai dengan keinginan kepala daerah terpilih, sehingga pembangunan yang dilakukan sebelumnya tidak ditindaklanjuti oleh pemimpin selanjutnya. Akhirnya, sering terjadi, bongkar pasang pembangunan dan memulai lagi dari awal. Kondisi ini, bukan saja terjadi pada tataran daerah, akan tetapi juga pada level nasional. Kerja pemerintahan seperti ini, dianggap merusak sistem pembangunan secara holistik. Artinya, kinerja pemerintahan tidak berjalan efektif, efisien dan berkualitas, karena akan memunculkan pembangunan yang tidak maksimal dan bersifat parsial.

Pola pikir ini, selalu menyelimuti dan menjadi masalah di hampir seluruh daerah, tidak terkecuali kepala daerah di Provinsi Sumatera Utara. Untuk itu, dalam rangka memilih pemimpin yang kredibel, akuntabel, akseptabel dan pro rakyat, diperlukan syarat utama, yakni bukan hanya memaparkan visi dan misi selama masa kepemimpinannya saja. Sudah saatnya, pada masing-masing balon untuk memikirkan membangun Sumatera Utara dalam rentang waktu 50 atau 100 tahun ke depan. Visi lima tahunan yang selama ini dipaparkan dan dibuat oleh balon, diubah menjadi visi 50 atau 100 tahun tentang bagaimana Sumatera Utara ke depan.

Gerakan membangun nantinya, bukan hanya sekadar life service, akan tetapi dapat diuji dan dibuktikan, ketika balon terpilih mampu dan dapat merealisasikan janji yang telah dibuat secara terinci dan sistematis. Untuk itu, diperlukan pemimpin yang betul-betul berkualitas dan punya tanggung jawab moral membangun daerahnya. Selama ini, fakta berbicara lain. Mayoritas kepala daerah setelah terpilih tidak bisa berbuat apa-apa untuk memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya. Setelah masa jabatan selesai, maka janji-janji yang ditawarkan ketika kampanye hasilnya nol besar. Rakyat tetap pada keadaan menderita dan tidak memperoleh apa-apa.

Memilah dan Memilih Pemimpin

Dalam kajian Antropologi Politik, pemimpin-pemimpin di dunia ini, pada awalnya bukan hanya punya kemampuan dari segi ilmu, pendidikan dan keterampilan manajemen semata, namun mereka dibekali oleh kemampuan supranatural (baca buku Antropologi Politik karangan Georges Balandier, 1996). Pada bab Religi dan Kekuasaan dalam buku karangan Georges Balandier tersebut, dikupas bahwa para penguasa adalah kerabat, homologous dan mediatornya dewa-dewa.

Dari penjelasan ilmiah dan kajian penelitian Antropologi tentang politik tersebut, dapat disimpulkan bahwa para pemimpin adalah mereka yang dianggap suci baik jasmani maupun rohani sehingga dapat berkuasa secara penuh (power full) untuk mensejahterakan rakyatnya. Personifikasi penguasa, seperti Raja atau Kaisar atau Ratu adalah orang yang dianggap suci dari noda dan dosa. Itu sangat jelas tergambar dari sosok Kaisar di Jepang misalnya, yang dianggap merupakan titisan dewa di dunia ini dan patut disembah.

Nah, dalam konteks demokrasi saat ini, tentu seorang pemimpin lebih tinggi lagi kedudukan dan posisinya karena dipilih langsung oleh rakyatnya. Di mana, dalam alam demokrasi, ada adigium yang berbunyi “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Adigium ini merupakan legitimasi kuat bagi para penguasa untuk bekerja atas nama Tuhan. Jadi, ukuran keberhasilan pemimpin dilihat bukan dari kaca mata antara yang dipimpin dan memimpin saja, namun lebih pada pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Persoalan utama yang muncul ke permukaan saat ini adalah bahwa kepala daerah yang ada, khususnya di Provinsi Sumatera Utara merupakan sosok pemimpin yang secara moral tidak dianggap suci dan bersih dari noda. Kalau mau jujur, di Indonesia saat ini, tidak ada pemimpin yang betul-betul suci dan bersih dari segala dosa dan kesalahan. Ada saja ditemukan titik noda yang telah dilakukan sang calon atau pemimpin tadi, baik sebelum menjabat ataupun setelah menjabat. Kelemahan ini muncul karena sistem politik kita yang bersifat transaksional dan belum adanya institusi politik yang idealis, terutama setelah pemilu pertama dilakukan pada 1955.

Kelemahan sistem kaderisasi parpol selama ini dianggap menjadi salah satu pemicu sehingga munculnya “pemimpin karbitan” dan punya idealisme politik yang relatif rendah. Mereka hanya mementingkan kelompok dan golongannya. Tidak menghiraukan rakyat yang dipimpinnya. Salah satu ketidakpedulian pemimpin saat ini adalah begitu maraknya korupsi yang mayoritas menimpa para pemimpin tadi. Walikota, Bupati, Gubernur bahkan sekelas Menteri tidak sanggup menghindar dari jeratan perilaku korupsi. Pemimpin yang korupsi telah menjadi gejala baru di Indonesia. Seakan-akan, kalau tidak ada pemimpin yang korupsi di Indonesia, maka dianggap bukan Indonesia namanya. Jadi, Indonesia seolah-olah dihuni oleh para pemimpin koruptor. Stigma negatif ini, menghantui sistem demokrasi kita.

Beralih kepada Pilkada Sumut 2018, perlu kiranya para balon berpikir jernih, apakah pantas dan layak secara moral dan etika diusung menjadi kepala daerah. Mengingat tugas suci yang diemban untuk mensejahterakan rakyat, menjadi prioritas utama. Jangan nanti setelah terpilih tidak ada hasil yang bisa dinikmati oleh masyarakat. Sebab, kinerja pemerintahan yang baik salah satu indikatornya adalah makmur dan sejahteranya masyarakat. Kekhawatiran kita selama ini adalah bahwa pilkada hanya menghasilkan pemimpin yang bekerja untuk dirinya sendiri dan kelompoknya.

Kemudian, bagi para pemilih (masyarakat), tentu reputasi para calon harus menjadi pertimbangan. Reputasi itu mencakup nilai, moral, etika, sikap dan kemampuan mereka, bekerja untuk menjadi pelayan masyarakat bukan menjadi penguasa. Stressing point ini, harus menjadi perhatian masyarakat pemilih nantinya. Sebelum memilih pemimpin, maka wajib memilah-milah, apakah calon tersebut betul-betul tulus dan ikhlas bekerja demi kepentingan masyarakat. Dalam memilah, akan tampak gambaran tentang pemimpin kategori A, B, atau C. Pemimpin kategori A di sini, dianggap pemimpin yang baik, kategori B dianggap pemimpin yang kurang baik dan kategori C dianggap pemimpin yang tidak baik.

Setelah memilah-milah para balon tersebut, masyarakat bisa menentukan sikap dengan pilihan dengan tepat, siapa yang terbaik dari yang baik memimpin Sumatera Utara lima tahun ke depan. Begitu juga dengan parpol. Sudah semestinya tidak lagi memilih kucing dalam karung. Harus benar-benar selektif mengusung calon yang ideal dan sungguh-sungguh bekerja untuk kepentingan bersama.

Rindu Pemimpin Bukan Penguasa

Ada gejala sekarang ini, profil kepala daerah cenderung berperilaku sebagai penguasa dibanding sebagai seorang pemimpin. Pola ini tergambar dari adanya istilah raja-raja kecil di daerah. Kekuasaan yang mereka peroleh secara demokratis tidak digunakan untuk membangun dan memakmurkan daerahnya. Padahal dengan otonomi daerah, di mana kekuasaan daerah sangat kuat, menjadi momen bagi kepala daerah membenahi dan menata daerahnya menjadi daerah yang maju dan unggul dibanding daerah lain.

Untuk itu, perlu didorong setiap balon yang diusung mempunyai wawasan dan pandangan yang luas tentang bagaimana melihat kodrat sebagai seorang pemimpin yang betul-betul memimpin, bukan memimpin sebagai seorang penguasa. Syarat ini mutlak diperlukan dalam menentukan kriteria kepala daerah yang akan dipilih nantinya.

Sumatera Utara ke Depan

Berkaitan dengan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara, stressing point masalah yang harus diangkat dan menjadi isu utama adalah bagaimana mensejahterakan masyarakat dengan program ril, yang bukan hanya dijabarkan dalam visi dan misi, akan tetapi diuraikan secara gamblang action plan per 6 bulan masa jabatan dan disetting dalam kurun waktu 50 tahun atau 100 tahun ke depan, mau dibawa ke mana Provinsi Sumatera Utara.

Artinya bahwa kepala daerah sekarang ini, sudah memetakan dan mendisain secara holistic gambaran Sumatera Utara 50 atau 100 tahun ke depan, sehingga jelas terlihat arah pembangunannya. Jadi, untuk memimpin Sumatera Utara dibutuhkan pemimpin yang visioner memikirkan dalam jangka panjang. Tidak lagi hanya sekadar memaparkan visi dan misi, yang semua itu tidak direalisasikan ketika menjabat. Gagasan brilian membangun daerah sangat diperlukan guna menghindari malpraktek pembangunan yang selama ini terjadi.

Untuk itu, balon yang akan dipilih, harus berpikir 1000 kali untuk maju dan diusung karena mempunyai tanggung jawab berat sebagai pelayan dan eksekutor ketika menjabat. Karakter memimpin sebagai pelayan masyarakat menjadi tolok ukur, apakah betul-betul ikhlas mengemban tanggung jawab memakmurkan daerahnya.

Bila poin penting ini dipahami dan dilaksanakan secara tepat dan benar, maka akan terjawab, Sumatera Utara akan dibawa ke mana. Jangan sampai, ketika Gubernur sudah dipilih, muncul pernyataan bahwa Sumatera Utara tidak ke mana-mana dan tidak jelas mau dibawa ke mana.

Penulis adalah Pengamat Politik.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post