Wenny Arie Puji Susanti, M.Pd.

Berbagi ide, berbagi pengalaman. Bersiap terinspirasi dan menginspirasi. Mendapat ilmu yang bermanfaat....

Selengkapnya
Navigasi Web
Koneksi antar Materi Modul 1.4. dan Refleksi Dwimingguan
Pendidikan Guru Penggerak

Koneksi antar Materi Modul 1.4. dan Refleksi Dwimingguan

Salam Ibu/Bapak Guru Hebat

Oleh: Wenny Arie Puji Susanti, S.Pd., M.Pd.

CGP Angkatan 7/Kelas 125B

SMPN 1 Taman Sidoarjo Jawa Timur

 

Pada tahun 1920 lahir sebuah cita-cita baru yang memnginginkan perubahan radikal dalam pendidikan dan pengajaran dan pada tahun 1922 lahir Taman Siswa di Yogyakarta yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara. Pendirian Taman Siswa merupakan bentuk perlawanan Ki Hadjar Dewantara terhadap deskriminasi pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan sebagai gerbang emas dan kebudayaan bangsa. Kebijakan pemerintah Hindia Belanda khususnya mengenai pendidikan lebih diutamakan bagi para kaum bangsawan dengan tujuan ingin menciptakan kelompok elite yang terpisah dengan masyarakatnya sendiri. Para kaum bangsawan ini diharapkan menjadi pemimpin yang berjiwa kebarat-baratan yang akan digunakan sebagai alat oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk melangsungkan penjajahannya di Indonesia. Persamaannya Pendidikan diterapkan untuk membentuk manusia menjadi lebih pandai dengan memberi pengajaran membaca, menulis dan berhitung. Untuk perbedaanya jalur dan jenjang sekolahnya.

 

Tujuan utama Pendidikan Nasional Indonesia sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara (KHD) yaitu pendidikan dan pengajaran merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya. Oleh sebab itu, segala upaya perlu  persiapan agar pelajar Indonesia menjadi masyarakat global yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dalam konteks lokal Indonesia.

 

Hal-Hal positif yang saya pelajari terkait pemikiran KHD, antara lain: pendidikan itu adalah tuntunan agar anak menjadi bijaksana; pendidikan hendaknya memerdekakan anak atau memberikan kebebasan anak dalam belajar; pendidikan harus memahami kodrat anak, potensi, bakat dan minat anak-anak; pendidikan didasarkan pada kodrat alam dan kodrat zaman ‘menghamba pada anak’ (memandang anak dengan rasa hormat dan pembelajaran yang berorientasi pada anak).

 

Pendidikan adalah persemaian benih-benih kebudayaan yang menghasilkan budi pekerti (olah cipta, olah rasa, olahraga dan olahkarsa). Pendidikan adalah taman bermain. Konsep trilogi pendidikan, yaitu: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Anak adalah sehelai kertas yang masih samar-samar dan pendidik berfungsi untuk mengarahkan serta menebalkan bagian yang samar sehingga anak-anak berkembang sesuai kodratnya.

 

Guru merupakan teladan bagi muridnya. Kini, pilihannya adalah memanfaatkan kesempatan itu dengan sengaja atau membiarkannya lewat begitu saja dan tidak melakukan apa-apa. Menjadi teladan harus diusahakan secara sadar. Lumpkin (2008), menyatakan bahwa guru dengan karakter baik mengajarkan murid mereka tentang bagaimana keputusan dibuat melalui proses pertimbangan moral. Guru ini membantu muridnya memahami nilai- nilai kebaikan dalam diri mereka sendiri, kemudian mereka mempercayainya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari siapa mereka, hingga kemudian mereka terus menghidupinya. Guru dengan karakter yang baik melestarikan nilai-nilai kebaikan di tengah masyarakat melalui murid-murid mereka. 

 

Guru adalah tukang kebun, yang merawat tumbuhnya nilai-nilai kebaikan di dalam diri murid-muridnya. Guru memiliki kesempatan untuk mengembangkan lingkungan di mana murid berproses menumbuhkan nilai-nilai dirinya tersebut. Dengan demikian, guru patut mengembangkan lingkungan yang sifatnya fisik (ekstrinsik) dan yang sifatnya psikis (intrinsik).

 

Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa tujuan dari pendidikan adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Ki Hadjar Dewantara juga mengemukakan bahwa dalam proses menuntun, anak perlu diberikan kebebasan dalam belajar serta berpikir, dituntun oleh para pendidik agar anak tidak kehilangan arah serta membahayakan dirinya. Semangat agar anak bisa bebas belajar, berpikir, agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan berdasarkan kesusilaan manusia ini yang akhirnya menjadi tema besar kebijakan pendidikan Indonesia saat ini, Merdeka Belajar.

 

Semangat Merdeka Belajar yang sedang dicanangkan ini juga memperkuat tujuan pendidikan nasional yang telah dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, Pendidikan diselenggarakan agar setiap individu dapat menjadi manusia yang “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Kedua semangat ini yang kemudian memunculkan sebuah pedoman, sebuah penunjuk arah yang konsisten, dalam pendidikan di Indonesia. Pedoman tersebut adalah Profil Pelajar Pancasila (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020).

 

Untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila Guru harus memiliki visi. Cita-cita guru yang tertuang dalam visi mengenai murid dan sekolah di masa depan. Visi yang dapat digunakan dengan pendekatan Inquiry Apresiatif (IA). Pendekatan IA percaya bahwa setiap orang memiliki inti positif yang dapat memberikan kontribusi pada keberhasilan. Inti positif ini merupakan aset organisasi, IA dikenal sebagai pendekatan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan, pertama kali dikembangkan oleh David Cooperrider (Noble & McGrath, 2016). Dalam sebuah video di Youtube Cooperrider menyatakan ia dapat membantu membebaskan potensi inovatif dan kreativitas, serta menyatukan orang dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh manajemen perubahan yang biasa.

 

Manajemen perubahan yang biasa dilakukan lebih menitikberatkan pada masalah apa yang terjadi dan apa yang salah dari proses tersebut untuk diperbaiki. Berbeda dengan IA yang berusaha fokus pada kekuatan yang dimiliki setiap anggota dan menyatukannya untuk menghasilkan kekuatan tertinggi.

 

Dalam implementasinya di sekolah, IA dimulai dengan menggali hal-hal positif keberhasilan yang telah dicapai dan kekuatan yang dimiliki sekolah sebelum menapak pada tahap selanjutnya dalam merencanakan perencanaan perubahan. 

 

Bila sekolah lebih banyak membangun sisi positif yang dimilikinya maka kekuatan sumber daya manusia dalam sekolah dipastikan akan meningkat dan kemudian sekolah akan berkembang secara berkelanjutan. Suasana psikologis akan terbangun dengan diawali pertanyaan positif seperti ini:

Hal-hal baik apa saja yang pernah dicapai murid di kelas?

Apa hal menarik yang dapat dipetik pelajarannya dari setiap guru di kelas?

Bagaimana mengembangkan praktik baik setiap guru untuk dipertahankan sebagai budaya sekolah?

 

Guru sebagai pendidik, diibaratkan sebagai seorang petani yang memiliki peranan penting untuk menjadikan tanamannya tumbuh subur, memastikan bahwa tanah tempat tumbuhnya tanaman adalah tanah yang cocok untuk ditanami. Guru harus mengusahakan sekolah jadi lingkungan yang menyenangkan, menjaga, dan melindungi murid dari hal-hal yang tidak baik. Dengan demikian,  karakter murid tumbuh dengan baik. Sebagai contoh, murid yang tadinya malas menjadi semangat, bukan kebalikannya. Murid akan mampu menerima dan menyerap suatu pembelajaran bila lingkungan di sekelilingnya terasa aman dan nyaman. Selama seseorang merasakan tekanan-tekanan dari lingkungannya, maka proses pembelajaran akan sulit terjadi.

 

Cara mengusahakan sekolah jadi lingkungan yang menyenangkan, menjaga, dan melindungi murid  dari hal-hal yang tidak baik dengan cara membangun budaya positif. Budaya positif dapat dilaksanakan dengan perubahan paradigma stimulus respon menjadi teori kontrol, memahami miskonsepsi tentang kontrol dan selanjutnya mengadakan perubahan paradigma stimulus-respon menjadi teori kontrol, melakukan refleksi atas penerapan praktik disiplin yang dijalankan di sekolahnya.

 

Guru dapat memahami konsep disiplin positif dihubungkan dengan teori motivasi perilaku manusia, serta konsep motivasi internal dan eksternal. Memiliki keyakinan kelas sebagai fondasi dan arah tujuan sebuah sekolah/kelas, yang akan menjadi landasan dalam memecahkan konflik atau permasalahan di dalam sebuah sekolah/kelas, yang pada akhirnya akan menciptakan budaya positif. 

 

Ada lima kebutuhan dasar manusia antara lain kebutuhan bertahan hidup, rasa cinta dan kasih sayang serta diterima, penguasaan, dan kesenangan. Guru memahami bahwa setiap tindakan murid dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yang berbeda-beda dan agar menjadi individu yang selamat dan bahagia, kebutuhan dasar harus terpenuhi secara positif. Guru memahami bahwa kebutuhan dasar dapat dipenuhi dengan cara positif atau negatif oleh karena itu peran guru adalah memberdayakan anak agar dapat memenuhi kebutuhannya secara positif.

 

Selanjutnya, guru dapat melakukan refleksi atas praktik disiplin yang dijalankan selama ini dan dampaknya untuk murid-muridnya. Guru dapat mengetahui dan menerapkan disiplin restitusi di posisi Monitor dan Manajer agar dapat menciptakan lingkungan positif, aman, dan nyaman dan dapat menghasilkan murid-murid yang lebih mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab.

 

Guru memahami dan menerapkan restitusi melalui tahapan dalam segitiga restitusi sebagai salah satu cara menanamkan disiplin positif pada murid sebagai bagian dari budaya positif di sekolah agar menjadi murid merdeka. Tahapan terdiri dari tiga yakni menstabilkan identitas, validasi kesalahan, dan menanyakan keyakinan.

Tujuan pendidikan menuntun murid agar dapat mengembangkan potensi terbaik agar mencapai keselamatan dan kemandirian/well being. Guru perlu mengusahakan lingkungan belajar yang terbebas dari bahaya, menyenangkan, dan aman. Murid perlu diberikan kebebasan dalam belajar serta berpikir, dituntun oleh para pendidik agar anak tidak kehilangan arah serta membahayakan dirinya. Semangat agar anak bisa bebas belajar, berpikir, agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan berdasarkan kesusilaan manusia, yang disebut dengan merdeka belajar. Untuk mewujudkan merdeka belajar maka guru perlu tergerak, selanjutnya bergerak, dan menggerakkan perubahan yang diharapkan menuju keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

 

Guru penggerak perlu memiliki nilai keyakinan dalam melandasi setiap langkah. Nilai tersebut ada lima antara lain mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, serta berpihak pada murid. Selain itu didukung dengan peran guru penggerak yakni sebagai menjadi pemimpin pembelajaran, menggerakkan komunitas praktisi,  menjadi coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi antar guru, dan mewujudkan kepemimpinan murid.

 

Guru perlu menuangkan dalam sebuah visi, dan mengupayakan pembiasaan budaya positif. Melakukan prakarsa perubahan visi dengan metode Inkuiri Apresiatif (IA). IA berfokus pada kelebihan dan kekuatan. Selanjutnya, didukung dengan disiplin positif menggunakan segitiga restitusi. Segitiga restitusi menekankan pada murid bahwa pemenuhan kebutuhan dapat dilakukan dengan cara positif, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan universal. Setiap manusia dengan berdasar nilai kebajikan, menjadi motivasi internal yang menghasilkan murid yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab. Peran guru yang tepat menggunakan peran sebagai manager memiliki ciri-ciri suara netral, tidak terlalu ramah,  tidak bernada tinggi, guru menanyakan pertanyaan bermakna agar membuka pikiran murid, tercipta identitas berhasil/positif. Hal ini berdampak murid menjadi mandiri, percaya diri, dan bertanggung jawab.

 

Hal baru yang saya peroleh dari modul 1.4 ini yakni penghargaan tidak baik jika diberikan. Karena, menjadi tujuan dari murid. Jika penghargaan tidak ada, maka perubahan juga tidak0 ada. Cara memberi disiplin positif dnegan menanyakan keyakinan murid terhadap nilai-nilai kebajikan universal. Nilai-nilia ini menjadi motivasi intrinsik.

Perubahan yang terjadi pada cara berpikir saya dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah, setelah mempelajari modul 1.4, saya mengganti hukuman dan penghargaan dengan apresiasi. Lebih banyak melakukan pendekatan secara personal kepada murid.

Pengalaman yang pernah saya alami terkait penerapan konsep-konsep inti dalam modul Budaya Positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah, menjumpai tantangan dari rekan guru yang masih miskonsepsi terkait hukuman, dan penghargaan.

Perasaan saya sangat senang karena semakin cerah dan menemukan langkah konkrit untuk menerapkan disiplin positif dengan segitiga restitusi. Pengalaman dalam penerapan konsep-konsep yang sudah baik yakni menyelesaikan masalah dengan mengajak murid berdialog, menanyakan alasan melakukan sesuatu hal.  

Hal-Hal yang perlu ditingkatkan yakni mengajak seluruh murid yang saya bimbing, perlu membuat keyakinan kelas, ketika berinteraksi dengan murid, berdasarkan 5 posisi kontrol, segitiga restitusi ketika menghadapi permasalahan murid.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post