Widawati

Seorang ibu rumah tangga yang hobi jadi guru. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Mbok Yem
Sumber gambar: https://tse1.mm.bing.net

Mbok Yem

#tantangan hari ke-28

#tantanganGurusiana

Mbok Yem

Kamar paviliun kecil di sebelah rumah itu masih berdiri kokoh meski dindingnya sudah mulai melapuk. Puluhan tahun lalu rumah di gang sempit itu adalah milik keluargaku. Bapak dan ibuku adalah pasangan pekerja keras yang merantau dari kampung di pedalaman sebuah kabupaten di Jawa Barat ke kota Bandung beberapa saat setelah peristiwa G30S/PKI. Jerih payah mereka sebagai pedagang menghasilkan sebidang tanah dengan bangunan rumah di atasnya. Rumah yang cukup besar dengan 4 kamar di dalamnya serta satu buah paviliun di sebelah kanan rumah. Di akhir tahun 70-an paviliun itu disewa oleh sepasang suami istri perantau dari Jawa Tengah. Usia mereka jauh lebih tua dari Bapak dan Ibuku, sehingga kami, lima bersaudara, kerap memanggil mereka dengan sebutan “mbah dan mbok”. Mbah Tukiman waktu itu bekerja sebagai tukang bangunan, sedangkan mbok Sakiyem sebagai asisten rumah tangga. Mereka sangat baik dan ramah sebagaimana karakter orang Jawa.

Kios baju bapak ramai pembeli sehingga mengharuskan ibu ikut membantu melayani. Anak-anak terpaksa dititipkan ke pengasuh. Saat itu pengasuh yang sudah lama ikut keluarga kami harus berhenti kerja karena pulang kampung, sehingga rumah terbengkalai dan anak-anak tak terurus. Apalagi, cerita ibu, waktu itu aku masih bayi enam bulan. Beruntung, mbok Yem—panggilan sayang kami--menawarkan diri jadi pengasuhku. Dengan senang hati ibu menyetujui. Beliau sangat terampil dan penyayang pada anak-anak. Tangannya begitu lentur dan pembersih. Senyumnya manis dan ramah menyembunyikan masa lalunya yang kelam.

Sebelum merantau ke Bandung, mbok Yem tinggal dengan mbah Tukiman di sebuah desa di Gombong Jawa Tengah dengan ekonomi yang memprihatinkan. Bekerja sebagai buruh tani ternyata tidak membawa kesejahteraan bagi keluarganya. Anaknya banyak, banyak sekali. Terhitung ada 16 orang anak yang lahir dari rahim mbok. Karena kekurangan gizi waktu lahir, serta wabah kolera zaman itu, satu persatu anak yang baru lahir atau masa balita meninggal. Si Sulung dan si bungsu saja mampu bertahan hidup. Keduanya laki-laki. Mungkin inilah sebabnya mbok Yem sangat penyayang padaku karena aku adalah anak perempuan yang tidak beliau miliki. Semangatnya mengurus keluargaku terdorong kesedihannya di masa lalu akibat kehilangan banyak anak.

Aku tumbuh menjadi anak sehat dan jarang sakit. Aku ingat, mbok Yem selalu memberiku ramuan alami dari tumbuhan untuk apapun keluhanku. Sakit perut, batuk, demam, semuanya lenyap dengan jamu-jamu racikannya. Kepala dan kulitku selalu dipijat dengan minyak kelapa buatannya sendiri. Masakannya yang tanpa penyedap justru sedap sekali. Aku kecil bahkan menganggap mbok Yem adalah ibuku sendiri. Ini berlangsung sampai aku berumur enam tahun. Karena sejak itu keluarga kami pindah rumah. Sedangkan paviliun yang ditinggali mbok Yem, kami jual kepada mereka dengan harga semampunya. Aku berpisah dengan mbok Yem, namun hampir setiap hari aku tetap datang ke paviliunnya untuk sekedar makan atau bermain.

Waktu berjalan begitu cepat, setiap fase dalam hidupku selalu ada mbok Yem. Meski sudah tua dan ditinggal mbah Tukiman selama-lamanya, mbok tetap sayang dan selalu berdo’a untukku. Seingatku, ketika aku minta didoakan agar lulus SMA, mbok mengusap rambutku dengan jemarinya yang keriput seraya berkata “mbok gak akan mati sebelum lihat Neng lulus sekolah”. Lalu ketika aku datang untuk mengabari tentang ujian sidangku, beliau mengusap kepala sambil berkata “mbok gak mati sebelum lihat Neng jadi sarjana”. Dan mbok pun jadi tamu istimewaku di hari wisudaku, selain bapak dan ibu. Dua tahun setelah itu, ketika hari itu aku datang untuk memberitahunya tentang pernikahanku, beliau dengan terbata-bata dan berlinang air mata berkata, “mbok gak akan mati dulu sebelum lihat Neng punya anak”. Ya Alah mbok…

Kini mbok Yem sudah sangat tua. Usianya mungkin sudah lebih dari 90 tahun. Kulitnya yang putih sudah menempel erat dengan tulang, tak ada lagi daging diantaranya. Matanya sudah tidak awas melihat. Rambutnya tinggal beberapa helai saja. Tubuhnya yang kecil sudah tidak mampu lagi bangkit dari tempat tidur. Beliau ditemani anaknya yang bungsu, masih tinggal di paviliun itu. Setiap minggu ibuku menjenguk mbok Yem, membawakannya makanan dan susu. Namun mbok selalu bertanya tentang aku. Aku yang merantau ke luar pulau Jawa, selalu merindukannya. Terakhir bertemu setahun yang lalu, mbok Yem sudah hampir tak mengenaliku. Tetapi ketika disebut namaku, pelan-pelan mbok akan mengingat dan bilang “doakan mbok agar bisa melihat anak-anakmu besar”.

Mbok Yem membuktikan bahwa kasih sayang tidak sebatas hubungan sedarah. Namun kasih sayang yang tulus akan bertahan selamanya. Semoga Allah selalu menjaga dan memberkahimu, mbok Yem.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Aamiin

24 Feb
Balas

Makasih bu

24 Feb

Aamiin...mbok Yem smg sll sht

25 Feb
Balas

Keren. Betul banget kasih sayang dapat datang dari diapun tidak harus sedarah. Kami juga punya nenek Belitung.

24 Feb
Balas

Ya bu Alhamdulillah

24 Feb

I love Mbo Yem

24 Feb
Balas

24 Feb

Hiks.. Jd sedih

24 Feb

Kereeeen abis

25 Feb
Balas

Menggenang airmataku...Sayangg mbok yem....

24 Feb
Balas

Sayang makyul

24 Feb

Terharu bacanya bu. Ceritanya mengalir lancar. Bagus.

24 Feb
Balas

Alhamdulillah. Makasih pak.

24 Feb



search

New Post