Widayanti

Saya lahir di Purwakarta, 23 Oktober 1978. Saat ini saya bertugas sebagai Pengawas Sekolah Muda Pada MTs di Lingkungan Kemenag Kab. Purwakarta Jawa Barat|| Saya...

Selengkapnya
Navigasi Web
Moderasi Beragama Bukan Hanya untuk Agama Islam, tapi Universal
MB 14/ 23.11.23

Moderasi Beragama Bukan Hanya untuk Agama Islam, tapi Universal

Menteri Agama RI periode 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin hadir sebagai narasumber dalam rangkaian acara Pelatihan Moderasi Beragama untuk Pengawas Madrasah dan Pengawas PAI di Bandung, tepatnya Kamis tanggal 23 November 2023.

Dalam materinya yang berjudul Penguatan Moderasi Beragama, Lukman menerangkan bahwa penguatan moderasi beragama tidak hanya untuk muslim saja, tapi universal. Moderasi Beragama bukan Moderasi Agama, karena banyak pertanyaan "masa agama dimoderasi? Masa Islam dimoderasi? Jawabannya, Islam sudah moderat, tidak perlu disangsikan lagi.

Lukman menjelaskan sering adanya mispersepsi dalam memahami moderasi beragama. Menurutnya, ada yang beranggapan moderasi beragama berarti mengutak-atik atau mengubah agama.

“Moderasi yang dimaksud adalah moderasi beragama bukan moderasi agama," jelas Lukman.

LHS begitu panggilan akrabnya, menegaskan, moderasi beragama itu bukanlah hal yang baru, melainkan sesuatu yang menjadi warisan para pendahulu yang berupaya dikontekstualisasi dengan kenyataan zaman hari ini.

Beliau menjelaskan bahwa agama dan beragama dua hal berbeda. Islam dan berIslam beda. Beragama artinya memahami dan mengamalkan yaitu iman dan amal. berIslam adalah hakekatnya mengimani dan mengajarkan ajaran Islam.

" Kenapa cara kita menjalankan ajaran agama perlu dimoderasi?", tanya Lukman.

Moderasi berbeda dengan modernisasi. Moderasi adalah upaya dalam usaha agar moderat. Apa itu moderat? Kata Wasatiyatul Islam, diserap jadi bahasa Indonesia jadi Wasit, yang artinya berada ditengah-tengah, moderat itu maksudnya adil dan berimbang.

Ditengah-tengah itu bukan berada diantara benar dan buruk. Sehingga ada yang beranggapan Moderi Beragama ini "kebablasan kenapa harus berada diantara yang hak dan bathil".

Padahal maksud ditengah ini bukan berarti seperti itu, tapi maksudnya "bayangkan posisi di setiap sudut", yang ingin dihindari dari Moderasi Beragama adalah "berlebih-lebihan" atau tatoruf (melampaui batas).

Ditengah dalam bahasan disini maksudnya berada diantara dua kutub yang melampaui batas. Ketika ada paham dalam keagamaan melampaui batas, maka kita ingin ditarik ketengah untuk tidak berlebih-lebihan dan tidak ekstrem.

Apa yang dimaksud dengan ekstrim? Apa yang dimaksud dengan dua kutub yang ekstrim?

Beragama selalu merujuk pada sumber yang hakiki, yaitu kitab suci, dalam Islam adalah Al-Qur'an. Ada sebagian umat Islam bertindak hanya mengacu dan merujuk pada kitab suci saja, tapi juga harus merujuk pada perkataan, perbuatan orang-orang suci, kalau dalam Islam Rosulullah dan para ulama.

Karena kita tidak semasa dengan Rosulullah, maka kita merujuk pada hadits Rasulullah. Bahkan kita juga harus berpedoman pada pandangan Imam Madzhab yang menciptakan Kitab-kitab Master Piece, yang juga bentuknya teks.

Orang Beragama pasti akan selalu berhubungan dengan teks-teks tersebut. Sehingga disinilah mulai munculnya ekstrimisme. Dimana mulai salah menafsirkan teks, yang dipengaruhi oleh asumsi yang banyak hal lain yang melatarbelakanginya.

Firman-firman Allah itu tidak pernah turun di ruang hampa, selalu memiliki konteksnya, ada asbabun nujulnya. Kalau hadits ada asbabun wurud. Seorang Imam Syafi'i saja terhadap sebuah masalah berbeda konteksnya, saat beliau berada di tempat yang berbeda, walaupun masalah yang dihadapi sama.

Jika beragama hanya tertumpu pada teks semata, dan mengabaikan konteks maka akan menimbulkan ekstrimisme.

Pada sisi kutub lain, ada golongan yang terlalu longgar, terlalu bebas dalam menafsirkan teks-teks tersebut. Hal ini sama -sama ekstrim. Sehingga keduanya perlu dibawa ketengah

Kenapa orang bisa berlebihan dan melampaui batas terhadap teks-teks tersebut?

Ilustrasi;

Sebuah cangkir, ada tangkai cangkirnya, atau gagang cangkir. Dimana letak gagang cangkir? Jawabannya tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya, sehingga jawabannya berbeda satu dengan yang lainnya.

Titik pijak, wawasan pengetahuan dan lain halnya yang membuat pandangan kita berbeda. Ada satu hal penting "Faktor Allah", Allah memilih "perbedaan tersebut muncul" melalui adanya diksi-diksi yang multitafsir dalam Al-Qur'an.

Sebuah amalan dikatakan ekstrimisme itu seperti apa?

Saat kita merasa paling beriman, apakah berarti itu dibenarkan?

Ajaran agama Islam, sederhananya bisa dipilah kedalam dua klasifikasi;

1. Ajaran agama yang universal

Ajaran yang universal akan diyakini kebenarannya oleh seluruh manusia tidak peduli perbedaan agama, suku atau apapun, bahkan oelh orang tidak beragama sekalipun.

Apa saja?

a. Kemaslahatan, yang manfaatnya banyak dirasakan oleh orang lain. Tidak boleh dirusak oleh apapun juga.

Awbaik-bauknya manusia adalah bukan orang "yang hanya baik hablumminallah" saja, tapi "khoerunnas anfauhum linnas". Praktek diskriminasi harus ditolak oleh siapapun, tidak ada pengecualian untuk mengingkari isi pokok ajaran Islam universal.

b. Kemanusiaan

c. Kasih sayang

Dan lain-lain.

2. Ajaran agama yang Partikular

Sesama muslim saja bisa berbeda pandangan dalam ajaran Islam. Contohnya dalam hal Maulid, Isra Mi'raj, Qunut, Ziarah, dan lain-lain.

Bagaimana menyikapi perbedaan pandangan ?

Jawabannya, kembali ke inti pokok ajaran agama. Jika ada perbedaan, maka tingkatkan "tasamuh" hargai dan hormati perbedaan.

Jangan pernah punya cita-cita menyeragamkan banyak hal, karena ini sudah takdir Allah adanya perbedaan. Yang perlu kita lakukan adalah "tasamuh".

Tantangan bagi umat beragama adalah kemampuan memilah mana yang "usuli" dan mana yang "furui". Jangan hanya berkutat untuk terlalu fokus pada wilayah "furui". Fokus boleh namun jangan terlalu fokus. Kalau terlalu fokus, maka akan terjadi ekstrimisme.

Jika berhadapan pada perbedaan organisasi, majelis taklim atau apapun janganlah kita menyikapinya dengan memperlakukan berbeda, diskriminatif, tetap perlkukanlah sama, tasamuh.

Apa yang melatarbelakangi adanya Moderasi Beragama?

Karena adanya paham dan amalan yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam menjalankan ajaran agamanya. Di forum umum, masih banyak orang yang berlebihan dalam memprovokasi orang untuk melakukan kekerasan, hanya karena beda faham.

Ada pertemuan pengelola Pura di Bali. Ada satu Pura yang dalam pengelolaan Pura berbeda dengan pengelolaan Pura lainnya. Akhirnya, keduanya menggembok kedua Pura tersebut, hingga umat kebingungan saat akan beribadah.

Ada perdebatan, Umat Budha mengkalim sebuah Bangunan itu Vihara mereka, disatu sisi Konghucu mengkalim bahwa itu adalah Kelenteng.

Kadang ada saatnya karena terlalu fanatik, sehingga menganggap orang lain yang berbeda menjadi salah dan memaksakan untuk sama dengan dirinya.

Poinnya, penyebab adanya ekstrimisme adalah ada dua inti pokok beragama yaitu "kemanusiaan dan kemaslahatan" diingkari.

Pada diri manusia, tidak peduli agama apapun, Allah titipkan pada manusia;

"Allah tiupkan kedalam janin ruh."

Poinnya siapapun pada diri manusia, Alalh ciptakan bagian hal yang sama, yang akan kembali pada Allah. Sehingga kenapa ajaran Agama harus peduli pada "kemanusiaan".

Banyak orang menafsirkan Ayat Al-Qur'an tidak dengan ilmu yang kuat. Ada yang memaknai Jihad itu dengan "Bom Bunuh Diri". Ada yang memaknai "hijrah" , yang direduksi menjadi sangat sempit, mengeksklusikan diri, menganggap yang belum hijrah sebagai golongan yang salah.

Bagaimana Moderasi Beragama diterapkan dalam Kurikulum baik di Sekolah maupun di Madrasah?

Tidak ada esensi yang baru dalam Moderasi Beragama, sudah sejak lama ada; Tasamuh, Tawazun, tawasut, dan Itidal.

Materi Kurikulum Pendidikan hakekatnya selama ini adalah ajaran Moderasi Beragama itu sendiri.

Mayoritas umat beragama, agama apapun, sudah moderat. Tapi, dengan perkembangan zaman efek medsos dan lain halnya, muncul ekstrimisme. Sehingga yang perlu dijaga adalah "hal yang baik dijaga, yang sudah moderat semakin diingatkan sambil mengingatkan pada yang ekstrim".

Apa itu Islam Nusantara?

Pengamalan dan pemahaman ajaran Agama Islam di Nusantara, bukan Islam "di-Nusantarakan". Agama dan Budaya mana lebih dulu ada? Jawabnya adalah Budaya.

"Kebersihan sebagian dari Iman", itu hanya ajaran "tentang" kalau tidak ada "Budaya", sehingga dengan adanya Budaya maka bisa jadi mengajarkan "bagaimana" bukan hanya "tentang" kebersihan.

Islam yang dipahami oleh Masyarakat di Nusantara dengan di tempat lain "pahamnya tidak sama" karena "konteksnya berbeda" sehingga "amalannya berbeda".

Jadi, Islam Nusantara itu "bagaiman Islam dipahami di Nusantara" bukan ajaran Islam "di-Nusantarakan".

Kenapa dulu Wali songo koncern dengan Budaya? Beda dengan Timur Tengah, yang mana Budaya sebelum Islam datang langsung "dimusnahkan" begitu saja. Tapi di Nusantara, Budaya tidak langsung dihilangkan, tetapi.dimanfaatkan untuk jalan "masuknya ajaran Islam" dengan mudah.

Mudik di Idul Fitri, itu khas Indonesia, hal tersebut adalah "Islam Nusantara", yang mana di Arab Saudi dan tempat lain tidak ada Budaya Mudik bersilaturahmi.

Jadi, bukan budaya yang ada di Nusantara yang dihilangkan, karena budaya ini adalah milik setiap komunitas, bukan wadahnya yang dirusak. Agama hadir saat ada budaya yang bertentangan dengan agama, contohnya "kurban dengan memenggal manusia , diganti dengan kurban hewan Kambing atau sapi dan lainnya.

Beragama dengan radikal, bolehkah? BerIslam itu harus radikal? Harus. Radikal itu artinya mengakar. Fanatik itu melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh. BerIslam itu harus fanatik. Fundamentalis itu artinya mendasar, bolehkah berislam itu fundamental? Harus.

Beragama itu memahami dan mengamalkan, bahasa Islamnya itu "iman dan amal". Beragama itu tidak cukup iman semata, tapi harus diamalkan.

Dalam beragama ada dua wilayah , yaitu;

1. Forum internum (wilayah imani)

Di wilayah ini hanya ada diri kita sendiri, siapapun tidak boleh ada yang menginterpensi tentang keimanan. Dalam berislam, mau paham manapun, itu pilihan diri sendiri. Sehingga di wilayah imani, dalam menjalankan agama harus radikal, fanatik, dan fundamental. Tidak boleh menerapkan toleransi, karena tidak ada orang lain di wilayah imani.

2. Forum Eksternum (wilayah Amali)

Tapi, beragama itu tidak hanya imani saja tapi ada Amali. Bukan hanya hablumminallah tapi juga ada hablumminannas. Di wilayah Amali, yang diimplementasikan adalah Tawazun, tasamuh, tawasut, dan Itidal.

Pada akhir sesi Pak Lukman Hakim dengan tegas menyebut bahwa Allah SWT sendiri meniscayakan adanya perbedaan, sementara tugas manusia adalah mengelola perbedaan itu supaya tidak menjadi sumber konflik sosial.

Salam Literasi

Bandung, 22.11.23

Widayanti

Pengawas Madrasah Kab. Purwakarta Jabar

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post