Widi Mulyono

Drs. Widi Mulyono, M.Pd. Kelahiran : Lumajang, 9 Agustus 1966. Alumni IKIP Malang, Tahun 1991, Jurusan Pendidikan Matematika, FPMIPA, dan Magister ...

Selengkapnya
Navigasi Web

CERPEN

ALHAMDULILLAH ... TERIMAKASIH PLN

Oleh : WIDHI MY

( Drs. Widi Mulyono, M.Pd )

Seorang ibu muda, Bu Titi, suaminya kerja di PLN, pegawai biasa, bukan penentu kebijakan, sering sedih mendengar keluhan dari teman-teman pengajian dan sholawatannya, juga dari pembicaraan umum yang sering bahkan selalu menyalahkan bahkan menghujat PLN karena sering mati lampu, sering giliran pemadaman dengan alasan pemeliharaan mesin, dan sejenisnya. Suaminya juga sering sedih dengan hal itu, tapi tak banyak bisa berbuat apa-apa.

Hari ini rasa galau dihatinya kembali membuncah. Karena sore nanti ada jadwal rutin kegiatan pengajian sholawatan di RT nya. Sementara ini lagi musim giliran pemadaman listrik. Rasa galau yang lain disebabkan karena besok suaminya ulang tahun, sementara sampai hari ini dia belum punya ide untuk memberi kado atau kejutan apa untuk hadiah ultah suaminya.

Dengan setidaknya dua rasa galau itu Bu Titi tetap berangkat pengajian. Benar juga, ditengah acara sholawatan tiba-tiba listrik padam, dan ibu-ibu yang terkejut, bermacam-macam ucapan spontanitasnya. Ada yang agamis, seperti yang lazim terdengar di komunitas pengajian.

“ Innalillahi wainna illaihi rojiuun...”.

“ Masa Allah..... “

“ Astaghfirullah aladziim ... “

“ Anakku beiman, betuah... “

Tapi ada juga yang kurang lazim.

“ Mesin cuci, kulkas, AC, TV, dan lain-laiin.... “

“ Sambal goreng ati wedhuuus... “

Ada juga yang emosi dan kurang pantas menyebut :.

“ PLN ... entuuut... hhhh...”

Bahkan ada yang spontan mengucap kata tanpa makna,.

“ Wuoth.. thok.. othook .... “ seperti yang diucap Bu Atik.

“ Maaf Bu, wuoth.. thok.. othook ... itu apa ?” tanya Bu Budi ingin tahu.

“ Yaa... beda-beda tipis dengan ... sambal goreng ati wedhus lah...” jawab Bu Atik sekenanya.

Tapi seperti biasa pula, setelah itu kembali terdengar banyak yang mengomel, menggerundel, menghujat, dan sejenisnya. Kembali Bu Titi merasa tidak enak, sedih, juga malu tapi juga jengkel. Mereka mengomel seolah-olah dia tidak ada, atau lupa jika diantara mereka ada seorang istri pegawai PLN, yakni dirinya.

Ada kurang lebih setengah jam kemudian, tiba-tiba lampu menyala. Hampir secara bersamaan ibu-ibu dalam pengajian tersebut teriak,” Alhamdulillaaahhh ... “

Tapi ada seorang ibu yang secara spontan teriak, “ Alhamdulillah ... Terimakasih PLN ....”

Ibu-ibu yang lain saling pandang, ada yang lalu ketawa agak geli dan berkata,” Kok ada buntut ..terimakasih PLN.”

Ibu-ibu yang lain juga penasaran dan ikut menanyakannya.

Bu Sari, yang tadi teriak-mengucap : “Alhamdulillah ... terimakasih PLN ....” pun lalu menjelaskan,“ Begini, selama ini kita ini kan selalu merasa dirugikan dan menyalahkan bahkan menghujat PLN karena sering mati lampu. Tapi ketika lampu nyala terus, tidak ada gangguan atau pemadaman kita tak pernah merasa diuntungkan dan berterimakasih. Padahal dibalik nyalanya lampu, ada banyak orang, pegawai PLN yang terus menerus bekerja, mengurus, dan mengupayakan agar lampu nyala terus, lancar, tidak ada gangguan. Juga pada saat ada gangguan, termasuk ketika ada masa pemeliharaan mesin, kita umumnya tak mau tahu bagaimana sibuknya mereka dengan tugas dan kerjaan tambahan mengurus meyala-matikan lampu, karena adanya giliran bagian mana yang nyala dan padam.”

“ Ya, tapi itu semua kan memang tugas orang-orang yang bekerja di PLN dan pemerintah,” sela Bu Tati. “ Iya, dan jangan lupa, kita-kita bayar pajak, bayar tarif bulanan untuk mendapatkan itu semua, jadi wajar dong kalau menuntut layanan yang baik, tapi nyatanya : listrik mati lagi mati lagi,” sahut Bu Mi’un. “ Kalau listrik nyala-mati-nyala-mati, peralatan yang menggunakan listrik juga cepat rusak. Terus tarikan awal setrum peralatan elektronik ketika listrik baru nyala juga lebih besar, sehingga tarif bayarnya juga tetap besar meskipun sering mati lampu,” lanjut Bu Mi’un.

Ibu-ibu yang lain terdiam. Dalam hati ibu-ibu banyak yang membenarkan, “ Iya juga sih ..” kata Bu Giri.

“ Iya, semua yang ibu-ibu sampaikan sebenarnya juga saya rasakan. Saya dulu juga sering mengomel, marah-marah, bahkan juga memaki-maki PLN. Tapi apa efeknya. Saya makin jengkel, sakit hati, tapi keadaan tidak juga berubah jadi lebih baik. Meskipun sebenarnya kita tahu bahwa seluruh omelan kita tidak didengar secara langsung oleh PLN, tapi rasa kejengkelan kita pasti sampai juga ke perasaan mereka. Efeknya pasti ada rasa tidak enak juga pada mereka. Apalagi kalau kejengkelan kita kemudian berlanjut jadi sumpah serapah, atau doa yang tidak baik, wah bisa lebih ngeri lagi efeknya. Padahal yang kita harapkan kan urusan listrik ini, yang menyangkut hajat hidup kita semua, dapat berjalan baik. Saya yakin pemerintah, orang-orang yang bekerja di PLN pun juga menginginkan hal yang sama. Nah kenapa kita tidak saling bantu”.

“Saling bantu bagaimana ? Masa kita ikut-ikutan ngurusi listrik ? “ protes Bu Gini.

“ Kalau tidak bisa bantu ngurusi listriknya, karena memang memerlukan keahlian dan wewenang khusus, paling tidak kita bantu doa lah, atau minimal tidak menambahi beban mereka dengan omelan yang menyakitkan. Atau minimal kita bisa bersikap proporsional,” lanjut Bu Sari.

“ Nah proporsional, apa pula itu ...,” gumam Bu Beta.

“ Bersikap proporsional, artinya kalau toh kita masih merasa kecewa dan mengomel ketika mati lampu, paling tidak kita juga bisa ......,” belum selesai Bu Sari menjelaskan, tiba-tiba listrik mati lagi.

“ Massa Allaah ........ meninggal lagiii...., “ ucap spontan Bu Atik.

“ Lampu meninggal... mati kali Bu ... “ celetuk Bu Beta. Sementara beberapa ibu yang lain lagi-lagi mengomel.

“Kalau toh kita masih merasa kecewa dan mengomel ketika mati lampu, paling tidak kita juga bisa menghargai, bersyukur dan berterima kasih saat nyala lampu. Mungkin ucapan terimakasih kita tidak sampai didengar orang-orang PLN, tapi saya yakin gelombang rasa kita itu akan sampai dan dapat dirasakan mereka. Paling tidak, dengan mengucap syukur Alhamdulillah, dan ‘ Terima kasih PLN’ menimbulkan rasa damai dihati saya. Itu yang saya rasakan, dan itu lebih nikmat dibandingkan dengan rasa jengkel kalau kita mengomel dan marah-marah ” lanjut Bu Sari.

Tiba-tiba listrik nyala lagi, dan hampir semua ibu-ibu secara bersamaan mengucap.

“ Alhamdulillaaah ... Terimakasih PLN.”

Kemudian mereka saling pandang. Tidak ada lagi yang ketawa geli. Bahkan mereka lalu saling senyum. Ada ekspresi damai dalam senyum mereka.

Bu Titi yang tadi sempat agak terkejut, jadi agak takjub mendengar uraian Bu Sari dan menyaksikan perubahan ekspresi teman-temannya. Tiba-tiba ada rasa sejuk yang menyelinap dalam hati sanubarinya, “ Alhamdulillah, masih ada juga orang yang seperti Bu Sari.”

Selesai acara pengajian, Bu Titi pulang dengan perasaan yang berbunga-bunga. Sesampai di rumah, dia dapati rumahnya masih tertutup, terkunci. Berarti suaminya belum pulang. “ Pasti lagi ngurus menyala-matikan lampu karena adanya giliran pemadaman,” gumamnya dalam hati. Tapi gumamnya kali ini tidak disertai rasa sedih seperti biasanya, karena dia tahu ada orang di luar sana yang memahami kondisi ini, dan bersikap seperti Bu Sari.

Setengah jam kemudian suaminya datang. Agak berdebar dia karena sudah tak sabar ingin menceritakan kejadian saat pengajian tadi. Tapi dia agak heran, karena dilihatnya suaminya pulang dengan sikap dan ekspresi yang tidak seperti biasanya. Suaminya kelihatan gembira, bersemangat, bahkan berbinar-binar.

Belum sempat dia bercerita, suaminya sudah mendahului berkata, “ Bu, ada kejutan, “ kata suaminya bersemangat.

“ Kejutan ... kejutan apa Pak ?” tanyanya penasaran.

“Tadi kami rapat di kantor, dan disampaikan bahwa pemadaman bergilir yang rencanya dilaksanakan sampai akhir bulan ini, ternyata tidak jadi. Mesin 3 yang selama ini rusak dan diperbaiki, sudah baik dan bisa dioperasikan lagi, “ cerita suaminya menggebu-gebu.

“ Jadi .. Pak ? “ Bu Titi masih penasaran.

“Jadi.. mulai besok sudah tidak ada lagi pemadaman bergilir .” lanjut suaminya.

“ Alhamdulillah.... Terimakasih PLN ....,” sahut Bu Titi spontan, mirip gaya ibu-ibu saat lampu nyala lagi di pengajian tadi. Suaminya agak heran dengan ucapan dan gestur istrinya dalam mengucap barusan. Bu Titi memaklumi keheranan suaminya. Kemudian dia menceritakan kejadian saat pengajian komunitas sholawatannya tadi. Suaminya mendengarkan dengan seksama, apalagi pada bagian-bagian tertentu istrinya menceritakan dengan sangat antusias. Dia dapat merasakan kegembiraan dari ekspresi dan isi cerita istrinya.

“ Bagaimana Pak ? tanya Bu Titi setelah ceritanya usai.

“ Ya. Alhamdulillah, masih ada orang yang memahami situasi dan kondisi yang sebenarnya kami pun tidak menginginkannya. Terimakasih. Cerita Ibu barusan, menjadi kado indah di hari ulang tahun saya kali ini,” tanggap suaminya.

“ Astghfirullaah... Maafkan saya Pak. Tadi saya berniat, sepulang pengajian mau mampir untuk beli kado, tapi lupa karena saking semangatnya mau pulang dan menceritakan kejadian tadi, “ sesal Bu Titi.

“ Tidak apa-apa Bu. Cerita Ibu barusan, benar-benar bisa menjadi kado terindah di hari ulang tahun saya kali ini. Terimakasih.”

Keduanya lalu berpelukan, dan dalam hati sama-sama mengucap: “ Alhamdulillah... Terimakasih PLN,” dengan rasa dan makna yang kurang lebih sama. ***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

baarakallah

07 Jul
Balas



search

New Post