WIWIK DIAH AGUSTININGSIH

Menulis itu, indah, menghapus gundah, bisa bernilai ibadah. Kuharap bisa menjadi ladang amal shalih, aamiin...

Selengkapnya
Navigasi Web
HIDUP DAN CINTAKU BERSAMA AL QURAN

HIDUP DAN CINTAKU BERSAMA AL QURAN

Rijal berlari kecil, tangannya ditutupkan di dahi menepis gerimis sepulang dari shalat maghrib di masjid sebelah rumahnya. Diketuknya pintu, sambil mengucap salam.

“Wa’alaikumussalam warahmatullah,...” Rini, istrinya masih mengenakan mukena sudah ada di hadapannya dengan senyum termanisnya. Rini mencium tangannya yang dia balas dengan ciuman di kening. Rijal masuk, duduk di ruang tamu. Tangannya melepas kopiah, meletakkannya di buffet kemudian mengambil mushaf yang terletak di dekat dia menaruh kopiah. Dibuka dan dibacanya halaman yang telah ditandai pembatas pita biru. Rini melangkah ke ruang tengah.

Tak lama Rini kembali dengan membawa teh dua gelas dan biskuit di toples kecil lalu duduk di sebelah suaminya. Melihat Rijal asyik dengan ayat-ayat yang dibacanya, Rini menggeser duduknya lebih dekat hingga saling bersentuhan. Disandarkannya kepala di bahu Rijal.

“Dengar baik-baik ni,” kata Rijal sambil melanjutkan tilawahnya. Rini mendongak sebentar menatap wajah suaminya, lalu bersandar manja kembali.

“Tahukah artinya?” usil Rijal mencubit hidung Rini, kemudian lanjutnya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya Dia menciptakan untuk kamu istri-istri dari jenismu supaya kamu tentram bersamanya. Dan Dia menjadikan cinta dan kasih-sayang di antara kamu . Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir.“

“Udah hapal, Ar Ruum 21 kan?” sahut Rini sambil mencomot biskuit, lalu memasukkan ke mulutnya, Rijal buru-buru mengambilnya sebelum sempat Rini mengunyahnya.

“Udah bismillah?” tanyanya.

“Ih... Abang, ya tentu sudahlah.”

“Mana? Kapan?”

“Ah,.. biasa ah Abang ni,” sungut Rini manja sambil merebut biskuit dari tangan suaminya. “Bismillah,...udah ni.” Rini manyun. Rijal membelai rambut istrinya mesra.

“Cinta,... ini kan tugas Abang untuk selalu membimbingmu?”

“Iya...iya, terima kasih, Abang.” Jawabnya sambil mengambil biskuit lagi. Kali ini disuapkannya ke suaminya.

Rijal menaruh mushaf di meja depannya. Mereka lalu meneruskan makan biskuit dan minum teh. Begitulah hari-hari mereka berdua sejak menikah tiga tahun lalu. Rijal bekerja di bengkel aluminium milik temannya, berangkat pagi pulang setelah Asyar. Rini di rumah saja, terkadang ditemani Annisa, keponakannya yang masih kelas empat SD.

“Bang, ....”

“Iya,... apa, Cinta?”

“Apa Abang gak bosan... hidup kita begini terus? Tiga tahun, pagi kerja, sore pulang, ketemu aku, terus....”

“Emang Cinta bosan ya?” Rijal memutus, belum selesai kalimat Rini.

“Kok gitu?” Rini cemberut. Rijal segera memperbaiki sikapnya. Diubah posisi duduknya, kakinya diselonjorkan memanjang di sofa, lalu ditariknya kepala istrinya untuk dibaringkan di pangkuannya. Sambil dipijit-pijit bahu istrinya dia mulai menata kalimat.

“Cintaku, adakah hidup yang lebih indah dari hidup kita? Atau adakah yang kurang dari yang kita miliki selama ini?” mulainya dengan suara lembut. Rini terjebak dalam kebiasaan suaminya ini. Ia diam untuk beberapa saat.

“Apa Abang tidak kesepian? O iya aku tahu, seharian Abang ada teman-teman di bengkel, di rumah ada aku. Lha aku?” Rijal bisa membaca dengan jelas seluruh paragraf yang terungkap dari kalimat istrinya itu. Dia mengerti ke mana arahnya. Anak. Ya, karena itu bukan paragraf pertama yang ditulis di wajah Rini untuk dibacanya. Sebenarnya tulisan di hatinyapun sama. Tetapi...

“Abang tahu, Cinta ingin segera punya baby kan?” katanya. “Sama.” Lalu diam. Keduanya diam, beberapa saat. Hingga detak jam dinding terdengar begitu jelas meningkahi sunyinya diam mereka.

“Sayang,...” Rijal mulai lagi, dengan kebiasaannya memanggil Rini. Begitulah selalu, sejak mereka menikah. Selalu memanggil dengan Sayang, Cinta, atau Rindu. “Cuma pengen niru nabiku,” selorohnya ketika itu. Ketika Rini agak malu karena meskipun ada orang lain di antara merekapun kebiasaan itu tak diubahnya, kemudian Rini kepo menanyakan sikap suaminya itu.

“ Menikah, punya rumah, sudah....” Rijal melanjutkan bicara.

“Kemudian punya anak, mungkin akan melengkapi kebahagiaan kita. Mungkin itu baik buat kita. Lalu kita menyangka kenyataan yang belum seperti itu tidak baik. Jadi kita menyangka ketentuan Allah gak baik dong.”

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” Seperti sedang murajaah hapalan Rini menjawab nasihat suaminya.

“Nah, itu ingat,...” Rijal menepuk pipi Rini lembut.

“Iya dong, Al Baqarah 216, benar kan?” Rini bangkit, sambil menarik lembut janggut Rijal. Adzan. Rijalpun bangkit, mengambil kopiahnya, berangkat ke masjid setelah Rini mencium tangannya dan membalas salamnya.

Rini ke belakang mengambil wudhu. Shalat Isya’. Shalat yang perlu perjuangan kerasnya kali ini untuk khusyuk. Hatinya masih gundah. Pembicaraan dengan suaminya tadi belum sepenuhnya menghapus kegalauan yang beberapa hari ini begitu mengganggu.

“Galau itu berarti lagi jauh dari Allah.” Teringat kata Rijal waktu itu. Diambilnya mushaf merah muda di meja dekat tempat tidurnya. Duduk di kasur masih dengan mukenanya. Perlahan dibuka, dibacanya ayat-ayat Rabb-nya. Berusaha dicarinya ketenangan dengan memaknai setiap kata yang dibacanya.

Rabbi habliy minladzunka dzuriyyatan thayyibatan innaka samiiud du’aa. Ketika sampai pada ayat ini, Quran Surat Ali Imran 3 : 38, Rini menghentikan bacaannya. Hatinya tergetar. Ia ingat waktu belajar mengaji di surau dulu. Ia juga ingat Pak Kiyai Dofir mengisahkan Nabi Zakaria alaihi salam ketika meminta keturunan kepada Allah ta’ala dalam usia yang sangat lanjut dan istri yang mandul. Meleleh air mata Rini menyesali sikapnya tadi, Rijal pasti tahu keputusasaan yang nyaris menghampirinya. Sedangkan setiap hari Rijal menasihatinya untuk tidak pernah putus asa sambil menyitir pesan Nabi Ya’kub alaihi salam dalam Q.S Yusuf : 81 “...dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”.

“Astaghfirrullah.” Lirih hatinya berbisik. Menyesali kesalahannya, menyesali dosanya. Fabiayyi alaa’i Rabbikumaa tukadzibaan, maka nikmat Rabb-mu yang manakah yang engkau dustakan? Hatinya kian tertohok dan nelangsa dengan ingatannya sendiri tentang pertanyaan-pertanyaan retoris Allah dalam surat yang dihapalnya di luar kepala itu.

“Assalamu’alaikum.” Rijal datang. Rini segera mengusap air matanya lalu menjawab salam. Setengah berlari menuju pintu, sambil menyiapkan sebaris senyum untuk suaminya tercinta. Kali ini tak hanya senyum yang ia siapkan, tapi juga pelukan. Satu yang tak bisa dicegahnya, seperti anak kecil dia memeluk Rijal sambil menangis. Rijal hapal betul kebiasaan istrinya, maka disikapinya pula dengan kebiasaannya. Dibalasnya dengan hangat pelukan itu, dielus punggungnya, lalu keduanya jalan beriringan ke kamar.

“ Sudah, aku tahu Cinta sedih tadi, tapi sekarang gak boleh sedih lagi,” hibur Rijal sambil mendudukkan istrinya di pinggir tempat tidur. Dia sendiripun kemudian duduk bersandar di sandaran dipan. Rini mendekatinya, duduk di sampingnya.

“Alhamdulillah, terima kasih, Allah kirimkan Abang dalam hidupku.”

“Iya, Abang juga bersyukur punya istri shalihah, cantik pula.” Balas Rijal sambil memeluk istrinya. “Maka ingatlah kepada-Ku, Akupun ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku, Al Baqarah berapa hayo...” lanjutnya menggoda.

“Hadiahnya apa dulu kalau benar?” pinta Rini manja lagi.

“Mintanya apa?”

“Anak shalih shalihah,” jawab Rini mantab. Rijal meringis nakal.

“Okay, siapa takut? Orang mintanya sama Allah, Dzat yang gak pernah bohong kan?” Rini terpukau. Tak pernah Rijal kehabisan ukara untuk menyampaikannya lagi pada topik tentang kerja Allah.

“Kenapa bengong?” Rijal mengejutkannya lagi.“Kan gitu? Atau gak bisa nebak ayat berapa?”

“Iya, benar, Abang lebih sering benernya. Aku bersyukur...” Rini tak bisa melanjutkan kata-katanya. Begitu juga ia tak bisa menolak tarikan tangan Rijal yang membenamkannya dalam pelukan hangat.

“Apa yang lebih indah dari ini semua, Yang? Apa yang lebih indah dari kehidupan bersama Al Quran?” seperti meninabobokan, semua kata Rijal membawa Rini larut dalam kebahagiaan. Tak dijawabnya tebakan suaminya tadi meskipun ia ingat ayat 152 dari Al Baqarah itu. Dia terlalu sayang untuk mengusik keheningan yang menenteramkannya itu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post