WIWIK DIAH AGUSTININGSIH

Menulis itu, indah, menghapus gundah, bisa bernilai ibadah. Kuharap bisa menjadi ladang amal shalih, aamiin...

Selengkapnya
Navigasi Web

Sematkan Kenangan

SETRIKA BUAT IBU

Kuinjakkan kaki di halaman gedung pertemuan ini. Sebuah gedung tinggi besar yang baru pertama kudatangi.Aku tak sempat peduli dengan berapa tingkat lantainya.Aku hanya mengikuti langkah pemandu yang menjemputku dari hotel tempatku menginap tadi malam, setibaku di negeri kecil namun jauh lebih maju dan lebih bersih dari negeri kita Indonesia.

Ya, Singapura, benar kata guru SD-ku dulu, Singapura adalah negara terbersih, aku lupa terbersih tingkat dunia atau Asia atau ASEAN. Aku memang tak begitu jago dalam menghapal. Benar, kulihat benar-benar bersih sejak dari bandara, hingga sepanjang perjalanan menuju penginapan tamu undangan.

Aku memang tamu undangan dalam acara yang akan kuikuti ini nanti. Anakkulah yang membuatku seberuntung ini.Ya, anak bungsuku yang kulahirkan 10 tahun lalu, yang ditinggalkan ayahnya lima tahun kemudian. Amar, anak lelakiku satu-satunya, adik dari empat kakak perempuannya. Yang tiap hari tak henti kumarahi, karena kecanduannya pada laptop, ha-pe, dan semua game yang computerized. Namun sekarang, justru dia menerbangkanku ke luar negeri, Singapura, berkat keberhasilannya mencipta robot setrika, dengan ide dan kreasinya sendiri.

“ Silakan duduk di sini, Bu,” kata wanita cantik anggun, pemanduku, dengan bahasa Indonesia logat Melayu, sambil menunjukkan kursi untukku di deretan kedua dari depan. Di meja depan tempat dudukku tertulis, nama lengkapku, lalu di dalam kurung tertulis nama anakku, Amar Hamzah. Nama yang kupilih dari nama dua sahabat Rasulullah salallahu alaihi wasallam. Dua sahabat favoritku sekaligus, karena aku ingin anakku terinspirasi jasa mereka dalam hidupnya kelak. Sekaligus dua kuambil semua karena aku begitu gembira melahirkannya, sekaligus takut tak sempat lagi melahirkan anugerah seindah dia.

“Terimakasih,” jawabku lirih. Aku begitu nervous. Sendiri di dalam acara sebesar ini. Undangannya dari seluruh Asia. Amar, yang “membawaku ke sini, telah lebih dulu berangkat seminggu yang lalu, bersama guru pembimbingnya, diajak berlibur keliling Singapura.

Beberapa kursi yang masih kosong, satu per satu terisi tamu-tamu yang datang setelahku. Kalau yang dari sesama ASEAN terutama dari Malaysia, Brunei, atau Singapura sendiri, kami yang berdekatan duduknya masih bisa saling berkenalan dan menyapa, tetapi yang dari negara lain hanya bisa saling mengangguk dan tersenyum.

Pembawa acara memulai, dengan bahasa Inggris, yang kumengerti sedikit sekali. Dalam kekikukanku –kulihat beberapa juga sama denganku- aku berusaha keras memahami maksud pembawa acara itu, dengan tersenyum, selalu memandang ke arah panggung, dan sesekali ikut tertawa atau bertepuk tangan, jika yang lain juga melakukan.

Inti dari acara yang merupakan puncak penghargaan Pemerintah Singapura bekerjasama dengan Asosiasi Penyandang Dana Untuk Kreator Kurang Beruntung ini adalah menampilkan semua peserta untuk menceritakan pengalamannya bisa sampai di ajang kompetisi bergengsi ini.

Aku hanya bisa mengikuti kisah beberapa peserta melalui terjemahan di layar monitor yang dipasang di depan masing-masing undangan.Ada yang memang sejak TK sudah bergelut dengan mainan robotik, ada yang diikutkan kursus privat robotik, dan bermacam-macam lagi. Aku terbantu dengan fasilitas panitia ini, seperti panitia yang di hotel, bahkan yang di tanah air, mengantarku sampai ke bandara Sukarno-Hatta.

Tiba giliran anakku.

“Namaku Amar Hamzah,” anakku memulai kisahnya dalam bahasa Inggris yang lumayan fasih untuk anak seusianya. “Lahir sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, di Blitar, Indonesia, 22 Januari 2007. Ayahku, seorang guru, begitu juga ibuku. Allah memanggil ayahku saat aku masih -sekolah di- TK. Maka kemudian aku menjadi sangat dekat dengan ibuku. Di dunia ini tak ada wanita yang lebih kusayangi selain ibu,” lanjutnya.

Ada desiran di dadaku, yang merambat di bawah kulit berasal dari satu titik entah di mana menyusur bersama darah hingga terasa di seluruh ujung rambut hingga kakiku. Aku tahu dan percaya anakku jujur, dia sangat menyayangiku, tepatnya mengidolakanku. Hampir seluruh waktunya dilalui bersamaku, kecuali waktu dia sekolah dan aku kerja.Tetapi aku yang lebih sering keberatan dengan situasi ini. Aku merasa terbebani, tidak leluasa mengerjakan ini-itu. Terlebih sejak diangkat menjadi kepala sekolah, kesibukanku sebagai single parent, kurasa makin bertambah berat kalau harus terus dibuntuti anakku.

“Wanita hebat yang menjadi ibuku itu, selalu mendukung apapun yang menjadi impianku. Aku disekolahkannya di sekolah Islam terpadu, yang memungkinkan aku belajar banyak hal.Termasuk belajar membuat robot…”

“Boleh ditunjukkan robotnya?” pembawa acara menyela cerita Amar.

“Of course,” jawab Amar yakin.

Hadirin antusias memperhatikan presentasi anakku, dengan robot setrika hasil karyanya, yang aku sendiri belum melihatnya secara detil. Karena kesibukanku aku jadi kurang memperhatikan.Di samping itu, aku memang tidak memandangnya begitu penting hobby Amar dalam membuat robot. Yang aku tahu, dia hanya selalu main ha-pe, menatap laptop tiap hari.Sampai aku selalu memarahinya, karena selain tidak mau belajar seperti anak-anak yang lain, hobbinya itu juga mengganggu pekerjaanku. Laptop yang harusnya untuk kupakai lembur sering dipakainya.

“Kenapa memilih robot setrika?” Tanya pembawa acara kemudian.

“Aku ingin, meringankan beban Ibu. Karena ibuku itu pekerja keras, Untuk membiayai hidup kami, selain mengajar, dia buka usaha laundry.”

“Aku tahu Ibu sangat lelah, aku tidak bisa membantunya, makanya aku bikinkan robot,…”

Sudut mataku menghangat, tak terasa buliran air, mengaliri pipiku. Aku seperti melihat orang lain, bukan anakku yang sedang menjadi pusat perhatian di panggung itu.

“Belajar di mana bikin robotnya? Sama siapa?”

“Sama Ibu, di Youtube….”

Aku terhenyak, tak pernah sekalipun itu kami lakukan. Seingatku, aku hanya memarahinya tiap kali dia mulai memegang ha-pe-ku. Berbagai cerita kutumpahkan ke telinganya yang kecil, tentang kejadian-kejadian buruk yang dialami anak-anak seusianya yang kecanduan gadgat sepertinya. Apa maksud anakku itu? Apa dia ingin meyindirku?

“Tiap pulang sekolah, Ibu menyuruhku cuci tangan, cuci kaki, lalu menemaniku istirahat di kamar. Sambil istirahat Ibu meminjamiku ponsel, atau laptopnya. Ibu menasihatiku, bahwa alat-alat modern itu, tidak selalu berpengaruh buruk.Tergantung bagaimana kita memanfaatkannya. Makanya aku mencari manfaat darinya dengan belajar membuat robot. Di sekolah guruku juga menasihati agar aku bisa memanfaatkan peralatan modern untuk kepentingan yang lebih besar untuk orang banyak.”

“Misalnya?” sela pembawa acara.

“Misalnya ya ini, aku belajar membuat robot. Agar bisa bermanfaat untuk meringankan beban pekerjaan laundry ibuku. Aku juga bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah yang diberikan guruku. Jika aku bertanya pada kakak dan ibuku, suatu saat tidak bisa terjawab, aku bisa mencari jawabannya di internet, pinjam ponsel atau laptop ibuku.”

Duh, aku memang selalu berpesan, lebih tepatnya mengomel seperti yang diceritakan Amar. Bahkan yang lebih tepat lagi aku selalu mengatakan segi negatif gadgat. Yang menurutku membuatnya malas belajar, malas bekerja, kurang respek pada orang-orang di dekatnya, bahkan suka marah-marah dan membentak. Tapi masyaa Allah, hari ini anakku menasihatiku dengan caranya. Mungkin dengan caranya itu dia ingin mengatakan bahwa ada segi positif dari hobbinya bermain kotak kecil ajaib yang beberapa orang mengatakannya fenomenal.

Gemuruh tepuk tangan hadirin, mengejutkanku. Seperti dibawa terbang saat kulihat anakku turun dari panggung membawa piagam serta semacam kartu ATM, yang berisi tabungan sebesar 25 juta, berjalan ke arah tempat dudukku.

“Ini buat Ibu, terimakasih sudah sayangi Amar selama ini,” katanya sambil menyodorkan semua penghargaan yang didapatkannya padaku. Tak terkecuali robot setrika karyanya. Aku peluk dia, hanya air mataku yang menjawabnya. Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah, yang memberiku karunia seindah Amar. Terimakasih, Nak.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post