Wiwik Setiandani, SE, M. Pd

Nama saya bu Wiwik Setiandani. Ibu dari 4 anak. Lahir di jakarta, 29 September 1976. Alamat :Kampung Cikoleang, Desa:Sukamulya, Rumpin-Bogor,16350. Pendidikan S...

Selengkapnya
Navigasi Web

Tema Ramadhan ke 1

TRADISI MUNGGAH

#Tantangav gurusiana

Hari ke 100

Seperti sudah menjadi tradisi di daerah Rumpin khususnya yang tinggal di daerah pegunungan. Mrereka setiap tahun menabung paket munggah yang sudah menjadi tradisi di daerah Rumpin. Kecamatan Rumpin adalah salah satu kecamatan yang berada di daerah Kabupaten Bogoe. Sebetulnya tradisi munggah bukan hanya ada di kecamatan Rumpin. Tradisi munggah sudah menjadi tradisi di tataran masyarakat suku Sunda.

Menurut wikipedia Munggahan berasal dari Bahasa Sunda unggah yang berarti naik, yang bermakna naik ke bulan yang suci atau tinggi derajatnya.[2] Tradisi munggahan dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah, untuk membersihkan diri dari hal-hal yang buruk selama setahun ke sebelumnya dan agar terhindar dari perbuatan yang tidak baik selama menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. https://id.wikipedia.org/wiki/Munggahan

Munggahan adalah tradisi masyarakat Islam suku Sunda untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan yang dilakukan pada akhir bulan Sya'ban (satu atau dua hari menjelang bulan Ramadhan). Bentuk pelaksanaannya bervariasi, umumnya berkumpul bersama keluarga dan kerabat, makan bersama (botram), saling bermaafan, dan berdoa bersama. Selain itu, ada pula yang mengunjungi tempat wisata bersama keluarga, berziarah ke makam orang tua atau orang saleh, atau mengamalkan sedekah munggah (sedekah pada sehari menjelang bulan puasa).

Secara filosofis, dulu munggahan adalah semacam relasi sosial masyarakat yang terstruktur dari kelompok atas (hinggil) sampai kelompok bawah (handap). Kelompok hinggil adalah anak pertama dan kedua dalam keluarga yang menetap di wilayah dalam. Sementara kelompok handap adalah anak bungsu dan pangais bungsu yang merantau dan menetap di luar willayah dalam.

Kelompok hinggil berperan untuk menjaga keorisinilatisan budaya leluhur dan dianggap memiliki kedekatan untuk dapat berkomunikasi dengan Tuhan ataupun roh leluhur.

Nah, kalau kelompok handap sengaja merantau untuk mengembangkan ekonomi, sosial, dan politik di luar suku Sunda. Menurut strata sosial Hinduisme, kelompok handap ini diidentifikasi sebagai kelompok waisha dan sudra.Keadaan kelompok bawah yang merantau dan tidak berada di wilayah asli membuat mereka dianggap tidak dekat dengan Tuhan, makanya mereka tidak bisa berkomunikasi langsung dengan Tuhan atau leluhur. Untuk itulah, agar kelompok handap tetap dapat berkomunikasi dengan Tuhan dan leluhur, diperlukan media yang dapat menghubungkannya, kelompok hinggil itulah yang dapat jadi medianya. https://mojok.co/terminal/tradisi-munggahan-tradisi-sunda-jelang-ramadan-yang-bikin-perut-kembung/

Saat Islam datang ke dataran Sunda, tradisi munggahan pun mengalami transformasi menjadi semacam upacara penyambutan bulan Ramadan. Seluruh keluarga berkumpul di rumah anak paling tua yang biasanya berada di dataran tinggi dan merajut kembali kasih di antara mereka dengan cara botram dan makan besar.Sekarang, tentu saja munggahan lagi-lagi mengalami transformasi, menyesuaikan keadaan. Tak perlu lagi ngumpul di rumah anak tertua yang rumahnya di dataran tinggi, bahkan bisa jadi anak tertuanya tidak punya rumah dan masih numpang di rumah orang tua.

Makanya kemudian yang penting dari munggahan sekarang adalah kumpul dan makan-makan saja, bersiap menyambut Ramadan dengan suka-cita.Di beberapa daerah, munggahan bahkan tidak lagi hanya dilakukan dengan keluarga, tetapi juga dengan para tetangga. Masak bareng, makan bareng, cuci bekas makan bareng, dan tentu saja sendawa bareng. Pokoknya munggahan menjadi tradisi yang membahagiakan , apalagi anak-anak. Mereka biasanya bahkan sengaja main ke rumah tetangga hanya untuk merasakan makanan apa yang dibuat mereka, sampai engap karena kembung!

Tradisi munggahan di masyarakat Rumpin bagian utara mulai memudar seiring perkembangan zaman. Di tempat penulis sangat terasa sudah mulai hilang. Sebetulnya tradisi munggahan ini banyak nilai positifnya. Salah satunya adalah menyambung silaturahim. Untuk wilayah tengah yang terletak di pegunungan, tradisi munggahan masih sangat terasa. Terbukti walau kondisi pandemi corona, pasar Cicangkal masih banyak dikunjungi penduduk pegunungan.

Dan untuk kondisi pandemi corona ini, masyarakat banyak yang tidak berani keluar rumah. Dan pelaksanaan tradisi munggahan sedikit terhambat.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post