Wiwik Suluh Trisna Handriyani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

episode 3 BATU KARANG ITU NAMANYA CINTA

Subuh tiba mengiringi kabut yang lumayan tebal pagi itu. Dingin serasa menusuk tulangku. Kukenakan jaket dan syal melingkar di leherku setelah mandi dan sholat subuh. Mela juga mengenakan jaket,syal dan kaos kaki. Kami bergegas ke kamar cowok untuk menjenguk Raymon. Raymon sudah kelihatan membaik.

“ Bagaimana kondisimu,Ray?” tanyaku pada Raymon yang sudah tampak biasa lagi.

“ Tenang saja, beta tak apa-apa.” jawab Raymon.

“ Bagaimana dengan kakimu?” tanya Mela

“ Cuma memar sedikit. Nanti juga membaik.” Jawab Raymon

Kami berkumpul di kamar cowok untuk membahas masalah semalam. Kami sepakat untuk merahasiakan peristiwa malam itu. Alasannya agar tidak membuat cemas keluarga Prawira dan kami sendiri tertantang untuk memecahkan misteri itu.

“ Nanti saya akan tanyakan pada Pak Kades, adakah kelompok-kelompok masyarakat yang kurang baik di desa ini. Barangkali mereka merasa terancam dengan kehadiran kita.” Kata Aditya.

“ Begini saja,Dit. Nanti kita kan ada pertemuan dengan bapak-bapak untuk berembug masalah pembuatan jamban keluarga. Nah, kita lihat tuh ekspresi dan reaksi mereka. Ada ngga yang kira-kira kurang baik,” usul Randy.

“ Kupikir kita ngga boleh suudzon hanya dengan melihat mereka. Biarlah sambil kita di sini melaksanakan program kita, sambil kita lihat saja nanti. Siapa tahu tidak ada apa-apa,” kata Reza.

“ Baiklah teman-teman. Yang penting Raymon sudah gak kelihatan sakit. Sebaiknya nanti kita bersikap biasa saja. Bukankah begitu, Putri?” tanya Aditya mengagetkanku.

“ Eh, ng… apa?” kataku gugup.

“ Makanya… jangan bengong aja? Ngelamunin siapa sih?” Aditya meledekku.

“ Tahu tuh… Sejak tersesat di hutan, Putri jadi suka bengong dan lebih pendiam,” kata Mela.

“ Ah… mungkin dia kesambet setan di hutan itu.” Kata Raymon.

Kutendang kaki Raymon,” Sembarangan. Aku masih waras, tahu?” kataku.

“ Aduh! Sakit kaki beta,Put.” Raymon memegangi kakinya. Aku lupa kalau itu kaki yang semalam di pukul orang.

“ Sorry, aku lupa kalau kau sakit kakinya. Habis kamu ngawur sih?”

“ Atau… sedang jatuh cinta, ya?” kata Raymon yang selalu menaruh curiga pada aku dan Aditya. Dikedip-kedipkannya matanya kearahku dan Aditya. Anak satu ini memang suka konyol, tapi dia sangat perhatian pada teman-teman. Di kampus, kalau tidak ada Raymon rasanya sepi. Dan dia justru peka dengan apa yang terjadi di sekelilingnya.

Tiba- tiba pintu di ketuk dari luar. Aditya yang di dekat pintu membukanya.

“ Maaf mengganggu. Mas Adit ditunggu Ibu dan Bapak untuk sarapan.” Ternyata Anggita yang mengetuk pintu.

“ Wah… hanya Adit saja yang ditunggu sarapan?” sahut Randy. Anggita tersipu. Wajahnya yang masih belia mendadak memerah pipinya.

“ Tentu saja tidak. Maksud saya semuanya.” Sanggah Anggita.

“ Terima kasih, Dik. Sebentar lagi kami ke sana.” Jawab Aditya. Anggita pun kembali ke rumah induk.

“ Kau ini Ran, belum juga jadi pacarmu sudah cemburu.” Kata Raymon. “ Ayo kita ke sana. Beta lapar sekali setelah semalam begadang.”

Kami pun menuju ruang makan untuk sarapan. Anggita kulihat beberapa kali melirik Aditya. Seperti biasa Aditya memilih duduk di sampingku dan bersikap tenang. Pagi ini Aditya agak lain. Dia ingin aku yang menyendokkan nasi dan mengambilkan lauk. Raymon berdehem-dehem menggodaku. Aku pura-pura tidak tahu. Anggita buru-buru menghabiskan sarapannya dan seperti biasa meninggalkan meja makan lebih awal karena mau berangkat sekolah.

“ Dik Gita, kalau ada PR yang perlu dibantu, kami siap membantu, lho,” Randy menawarkan jasa.

“ Iya,Kak. Terima kasih. Gita berangkat dulu ya, Kakak-kakak?” Anggita berpamitan.

“ Hati-hati,ya? Kalau ada yang nakal, bilang saja sama kakak.” Randy mulai cari muka. Anggita hanya tersenyum dan meninggalkan kami. Pak Prawira dan istrinya hanya tersenyum melihat kelakuan Randy. Kami sudah mulai akrab sehingga suasana sudah mencair.

Hari itu aku dan mela dibantu Reza memberi penyuluhan tentang perlunya gizi balita dan imunisasi. Aditya, Randy dan Raymon bersama bapak-bapak membahas program pembuatan jamban keluarga. Kami bekerja sama dengan kecamatan untuk bantuan pengadaan closet dan gorong-gorong untuk membuat saptitank.

Aku senang sekali bahwa ibu-ibu di desa ini cukup antusias mengikuti penyuluhan. Mereka tidak sungkan-sungkan untuk bertanya. Di tengah-tengah kegiatan, ada pula yang iseng menanyakan Aditya.

“ Bu dokter,” mereka memanggil kami begitu meskipun kami belum jadi dokter. “ Pak dokter Aditya kok ngga ikut kemari?” tanya seorang ibu.

“ Oh, iya Bu. Dokter Aditya sedang bersama bapak-bapak. Ibu kangen,ya?,” selorohku. Padahal aku sendiri yang tiba-tiba jadi kangen sama Aditya. Padahal baru setengah hari berpisah.

“ Iya nih. Soalnya dokter Aditya ganteng sih.” Kata ibu itu. Yang lain jadi tertawa.

“ Terus, saya ngga ganteng,nih?” kata Reza

“ Bukan begitu. Kalau dokter Reza manis.” jawab ibu yang tampaknya memang periang dan suka bercanda. Kami semua tertawa. Begitulah suasana penyuluhan kami. Tidak kaku dan cukup komunikatif.

Menjelang dzuhur kami pulang ke pavilion. Tak berapa lama Adit, Raymon dan Randy juga pulang.

“ Assalamu’alaykum,” sapa Adit.

“ Wa’alaykumussalam warahmatullah. Sudah pulang, Dit? Sudah selesai?” jawabku senang. Adit bergabung dengan aku dan Mela di teras pavilion. Randy dan Reza masuk ke kamar.

“ Alhamdulilah. Bapak-bapak tampaknya senang akan dapat bantuan untuk jamban. Sayang baru sedikit yang dapat.” kata Aditya.

“ Tapi mereka bisa menerima,kan? Artinya tidak ada yang saling iri, gitu?” tanyaku.

“ Terus, ada yang mencurigakan ngga ?” tanya Mela yang teringat pembicaraan tadi pagi.

“ Ngga. Biasa-biasa saja karena yang kami beri bantuan memang yang benar-benar tidak mampu. Untuk yang belum dapat bantuan, kami sepakati untuk membuat arisan jamban per RT, sehingga paling tidak, enam bulan ke depan semua keluarga sudah punya jamban yang sehat.” Adit menjelaskan.

“ Syukurlah kalau begitu. Oh,ya. Tadi kamu ditanyain sama ibu-ibu. Katanya kangen.” Kata Mela.

“ Oh,ya? Hanya ibu- ibu yang kangen?” tanya Aditya sambil melirikku sambil tersenyum penuh arti. Aku pura-pura tak mendengarkan. Padahal dalam hati ingin kuteriakkan, “ Aku jugaaaa….”

“ Adakah yang kangen sama beta?” tanya Raymon yang baru bergabung.

“ Ada. Tuh peliharaannya pak Harun sebelah.” jawab Mela. Pak Harun tinggal di sebelah rumah pak Prawira. Dia memelihara monyet yang di ikat di depan rumahnya.

“ Kejam sekali kau ini. Bilang saja kau yang kangen. Jangan malu-malu.” Kata Raymon yang ke-pede-an. Mela mendelik hingga Raymon tergelak.

Asisten bu Prawira mendekat.” Maaf, aden. Makan siang sudah siap.” kata bibi Asih memberi tahu.

“ Iya,Bi. Terima kasih.” Jawabku. Kami pun makan siang. Pak Prawira sedang ke kota urusan bisnisnya jadi kami makan tanpa beliau.

“ Sore ini kita kemana,ya?” tanyaku.

“ Kalian belum melihat danau,kan?” kata bu Prawira.

“ Memang ada danau,Bu?” tanyaku antusias.

“ Ada di sebelah utara desa ini. Kalian kan datangnya dari selatan. Perkebunan teh dan hutan ada di sebelah timur. Kemarin kalian sudah ke persawahan di sebelah barat desa. Nah, ibu yakin kalian belum ke arah utara desa. Ada danau di sana. Tidak luas sih… tapi bagus. Ada yang nyewain sampan di sana.” Bu Prawira menjelaskan.

“ Wah. Kita harus ke sana nih. Tapi aman, ngga ya?” tanya Mela yang masih trauma dengan kejadian-kejadian itu.

“ Inshaallah aman. “ jawab bu Prawira. “ Nanti biar diantar Gita. Sebentar lagi dia pulang”

“Nah. Kalau sama Dik Gita pasti aman. Siapa yang berani mengganggu putri dari Pak Prawira?” kata Randy semangat.

“ Betul itu. Paling-paling yang bikin Dik Gita tak aman, kalau perginya sama kau, Ran.” Kata Raymon.

“ Enak saja. “ kata Randy. “ Nanti saya jagain,ya Bu?” Bu Prawira hanya tersenyum menanggapi mereka. Beliau sudah semakin akrab dan memperlakukan kami seperti anak-anaknya. Mungkin kami mengobati kangen beliau pada putra sulungnya yang kost di kota.

Sore habis ashar Gita menghampiri kami di pavilion. Dia mengenakan celana jeans dan T-shirt warna biru muda. Tubuhnya yang putih bersih kelihatan semakin bersinar. Rambutnya dikuncir ke belakang. Wajah cantiknya makin ter-ekspose

“ Eh, Dik Gita. Ada apa,Dik?” tanyaku.

“ Katanya kakak-kakak mau ke danau. Saya siap antar.” Jawabnya.

“ Oh, iya. Terima kasih bersedia mengantar. Tunggu sebentar,ya? kataku sambil memanggil Mela.

Anggita celingukan gelisah menunggu. Tiba-tiba kamar cowok terbuka dan Aditya yang nongol. Anggita terlonjak senang. Senyumnya mengembang semanis mungkin.

“ Kak, Adit. Yuk kita jalan-jalan ke danau.” Ajaknya dengan suara yang manja.

“ Oh, Dik Gita mau ngantar kami? Oke lah kalau begitu. Sebentar aku panggil yang lain,ya?” jawab Aditya seperti pada adiknya. Anggita mengangguk.

Sebentar saja kami sudah berkumpul dan siap jalan-jalan. Kami putuskan untuk jalan kaki sambil melihat-lihat suasana kampung. Aku jalan bersisihan dengan Adit. Anggita berusaha menyejajarkan langkah hingga dia di samping Aditya. Dia banyak bertanya dan ngobrol sama Aditya. Lama-lama aku risih juga tidak dilibatkan. Aku mempercepat langkah mengejar Mela dan teman-teman yang sudah di depan. Kilirik Aditya. Tampak wajahnya yang serba salah.

“ Put, kenapa buru-buru? Kita kan jalan-jalan. Santai saja.” Kata Aditya sambil menarik tanganku. Anggita menatap adegan itu dengan pandangan kurang suka.

“ Aku mau nyusul Mela,” jawabku. Rasa tak rela menyelinap di relung-relung hatiku. Rasa itu menelusuri setiap sudut hati, menusuk-nusuk nyeri. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa nelangsa. Inikah yang dinamakan cemburu? Beginikah rasanya?

“ Mel, tungguin!” teriakku pada Mela. Aku berusaha menekan perasaanku sendiri.

“ Ayo,Put. Tuh danaunya sudah kelihatan. Hati- hati. Agak licin jalannya.” Kata Mela memperingatkanku ketika jalan agak menanjak. Jalan setapak menuju danau ini hanyalah jalan tanah merah yang licin. Reza berhenti menungguku. Mela, Randy dan Raymon tampaknya sudah tak sabar ingin segera sampai.

“ Kamu menungguku,Reza?” ujarku.

“ Iya dong. Masa ditinggalin.” Jawab Reza kalem. Seperti kata ibu-ibu kemarin, Reza memang manis. Perawakannya sedang dengan kulit sawo matang. Matanya selalu teduh karena ketaatannya pada Allah. Tidak banyak bicara tetapi tidak kaku juga. Sebenarnya dia orang yang menyenangkan. Dia paling alim di antara kami.

“ Terima kasih,ya?” kataku.

“ Adit sama Gita mana?” Pertanyaan Reza mengingatkanku pada pilu yang tercipta. Aku menelan ludah sebelum menjawabnya. Kutarik nafas biar suaraku terdengar normal,

“ Hm… mereka di belakang masih ngobrol.” Kataku. “ Gak usah ditunggu. Yuk kita jalan duluan.” ajakku.

Kami berjalan bersisihan. Di depan sana kulihat Mela timpuk-timpukan tanah sama Raymon. Pasti mereka sedang berantem. Persis seperti anak kecil. Randy kedengaran ketawanya yang ngakak melihat tingkah mereka berdua. Sesekali kameranya di jepretkan pada mereka. Apalagi ketika Raymon memetik bunga yang banyak tumbuh liar di sisi jalan, lantas dia berlutut mempersembahkan bunga pada Mela. Aktingnya yang konyol membuat Randy tertawa-tawa. Mela cemberut. Sementara aku dan Reza saling diam memperhatikan dari jauh. Tiba-tiba Reza tersenyum dan bicara.

“ Lihat tuh,Put. Raymon sama Mela. Heran bisa betah begitu setiap hari.”

Aku mengangguk. “ Tapi tampaknya malah mesra,ya?” kata Reza. Aku tersenyum. Tiba-tiba Reza menatapku. “ Kamu sudah punya calon,Put?” Aku kaget dengan pertanyaannya yang tak terduga itu. Aku ngga mungkin membohongi cowok yang jujur ini, tapi lebih ngga mungkin lagi aku berterus terang kalau aku sudah memproklamirkan cinta pada Aditya. Aku hanya tersenyum. “ Kenapa kamu tanya begitu?” aku balik bertanya. Reza terdiam sesaat dan menjawab ”Yah.. nanya aja.” Reza tampaknya penasaran, tetapi dia tidak melanjutkan pertanyaannya.

“ Hei! Putri…Reza… buruan. Bagus sekali di sini!” teriak Mela.

Aku dan Reza sampai di tepi danau yang memang sangat asri. Danau ini tak begitu luas. Kami bisa melihat tepian seberang danau. Tetapi di seputar danau terpapar pemandangan indah. Rumput terhampar di tepiannya. Bunga-bunga kecil menyembul di sela rerumputan. Airnya bening. Tak jauh dari danau ada kebun jeruk dan perkebunan teh yang terhampar. Desa ini sebenarnya kaya. Tetapi kenapa penduduknya banyak yang miskin? Ya. Karena kekayaan ini hanya dimiliki segelintir orang. Dan yang paling kaya adalah Pak Prawira, ayah Gita. Ah, kenapa jadi kuhubungkan dengan Gita? Kusanggah sendiri kata hatiku. Aku duduk di rerumputan. Sekilas teringat peristiwa di hutan ketika aku duduk sendiri di tepian sungai yang berumput. Waktu itu Aditya tiba-tiba datang. Reza ikut duduk di samping kiriku. Randy sibuk mengambil foto. Hobinya fotografi. Tidak boleh melihat tempat bagus. Pasti jadi sasaran kameranya. Mela berjalan-jalan ditemani Raymon.

“ Subhanallah. Indah sekali di sini,ya?” kata Reza memecah keheningan.

“ Iya. Tempat ini jauh dari keramaian. Tenang dan tenteram.” Kataku.

“ Tapi aneh,ya? Di tempat yang sepi ini hatiku ramai sekali.” Kata Reza.

“ Aku menoleh padanya dengan heran,” Maksudmu,Za?” tanyaku.

“ Ntahlah.” Reza urung menjelaskannya. Ada ragu di matanya.

“ Hai! Kok kalian ninggalin kami?” tiba-tiba Aditya sudah di belakang kami dan duduk di samping kananku. Ah, risih juga duduk di tengah-tengah cowok. Gita ikut duduk di sebelah Aditya.

“ Habis, kalian lama sih. Keasyikan berdua.” kataku sedikit nyindir. Kutekankan kata “berdua” ketika mengucapkannya. Kutatap mata Aditya. Dia pasti bisa membaca perasaanku. Dia redupkan matanya. Ada kata permintaan maaf di matanya. Tapi aku tundukkan mataku tak kuasa memandangnya. Aku takut ada air mataku yang jatuh.

Aditya berdiri. Ditepuk-tepuknya pantatnya yang agak basah kena rumput.

“ Mau kemana,Kak?” tanya Anggita “ Kakak mau keliling danau? Yuk, aku temani!” ajak Gita

“Hm… Kamu ngga ingin jalan-jalan, Put?” Aditya malah bertanya padaku.” Ayo” ajaknya. Sorot matanya memohon padaku untuk mengiyakan ajakannya.

“ Aku di sini saja. Pemandangan di sini enak.” jawabku.

“ Ayo Kak. Sama aku saja.” Kata Gita sambil menggandeng tangan Aditya dengan sedikit memaksa. Aditya menatapku seolah minta ijin. Aku melempar pandangan ke tengah danau. Aditya tak bisa menolak Gita. Mereka pun melangkah bersama. Mataku mulai hangat. Perlahan butiran air mataku menetes. Aku lupa kalau ada Reza di dekatku.

“ Put, Kamu kenapa?” tanya Reza dengan suara cemas.

“ Ng… ngga apa-apa. Kelilipan.” Kataku pura-pura mengucek mata.

“ Coba aku lihat.” Kata Reza.

“ Ngga apa- apa, Za. Udah enakan kok.” Jawabku.

Tiba-tiba Randy datang.” Lihat nih. Ku foto kalian dengan background danau dan langit memerah. Wow… romantis sekali. Sepasang sejoli yang sedang memadu kasih.” Kata Randy sambil menunjukkan hasil jepretannya.

“ Ih, Apa- apaan sih,Ran? Nanti pacar Reza cemburu lho kalau lihat. Fitnah itu.” kataku.

“ Pacarmu, kali Put. Aku sih ngga ada yang mencemburui.” kata Reza.

“ Kenapa ngga kau foto saja itu si Raymon sama Mela yang lagi main gitar sambil nyanyi tuh?” usulku sambil menunjuk Raymon dan Mela yang duduk di bawah pohon tepi danau sambil main gitar.

“ Sudah dari tadi. Penuh nih memori kameraku sama foto mereka” Jawab Raymon. Dia duduk di samping Reza. Kami bertiga terdiam sesaat. Terhipnotis pemandangan di seputar danau. Senja mulai turun. Langit merah saga di ufuk barat mulai membayang. Cericit burung- burung kecil mulai kembali ke sarang. Sunyi sekali danau ini. Sayup-sayup terdengar suara Raymon dan Mela yang sedang menyanyi.

“ Ngomong- ngomong, kenapa ngga kau temani Agita?” tanya Reza pada Randy memecah kesunyian. “ Bukannya kamu naksir dia?”

“ Wah, kalau sudah nempel Aditya, mana punya nyali aku bersaing?” kata Randy. “ Lihat saja tuh. Si cantik nempel Aditya terus.” Kata Randy.

“ Masa kamu kalah sebelum berjuang.” Kata Reza. Mereka tertawa. Diam-diam perasaan khawatir menyelinap di hatiku. Bagaimana kalau Aditya tidak kuat menahan rasa karena selalu di dekati Anggita? Bagaimana kalau dia berpaling? Anggita begitu mempesona.

“ Eh, sudah sore nih. Nanti kemalaman maghrib di jalan.” Kata Reza mengingatkan.

“ Panggil tuh teman-teman. “ kataku. Randy menepuk tangannya keras-keras. Suaranya menggema. “ Hooi… kita pulang….”

Raymon dan Mela tampak bangun dan bergegas bergabung. Aku celingukan mencari Aditya. Tampak di kejauhan Aditya dan Gita jalan berdua. Tampak sekali kalau Anggita berusaha bersikap manja padanya. Aditya melambai memberi kode kalau mereka segera menyusul.

“ Yuk kita jalan duluan,” ajakku. “ Wah… ada yang cemburu nih?” kata Raymon sambil mencolek lenganku. Aku mendelik padanya. Tumben dia langsung diam. Mungkin dia melihat mataku yang agak sembab. Dia suka selengekan, tapi dia paling peka dengan teman-temannya.

Senja merah saga mengantar kami melangkah meninggalkan tempat yang indah di desa itu. Sesekali kelepak sayap burung yang kembali ke sarang melintasi kami. Beberapa kelelawar mulai keluar sarang menyambut gelap yang sebentar lagi datang. Tiba-tiba aku melihat sekelebat bayangan di semak- semak agak jauh dari kami. Perasaanku tak enak. Mungkinkah ada yang memata-matai kami? Aku tak ingin merusak suasana dengan memberitahu teman-teman. Ah. Mungkin karena perasaanku yang sedang tak nyaman terbakar api cemburu. Aku diam seribu basa. Bahkan ketika Aditya dan Anggita sudah bergabung dengan kami hingga sampai ke rumah pak Prawira. Aku hanya menatap sekilas Aditya yang tampak salah tingkah dan merasa bersalah. Sementara Anggita tampak sangat bahagia dan ceria.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

selalu ada bahagia bersama mereka.

14 Nov
Balas



search

New Post