Kamis, 27 Juli 2017, setelah empat jam mengajar, saya mendapatkan waktu istirahat untuk tidak mengajar. Seperti biasa, di sela-sela mengobrol dengan guru-guru lain yang tidak mengajar, saya selalu menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan ekstra. Pekerjaan ekstra saya katakan karena itu bukanlah pekerjaan yang wajib dilakukan. Hanya sekadar pembunuh waktu luang.

Siang ini, ruang guru kedatangan banyak anak-anak muda yang cantik dan ganteng. Ya, mereka adalah alumni sekolah ini. mereka mendatangi guru-guru yang ada di ruangan untuk menyalaminya. Memang baru beberapa bulan mereka meninggalkan sekolah ini. tapi perbedaan tingkat pendidikan ternyata membawa perubahan yang nyata. Mereka tampak lebih besar dan dewasa. Namun watak kekanakkannya masih juga terasa.

“Pak, rindu enggak, Pak, dengan ulun (Melayu Kutaringin = saya).” kata beberapa di antara mereka.

“Wah, mau di jawab apa, ya?” jawabku.

Obrolan terus berjalan. Dan mereka menyalami silih berganti. Kamis itu, mereka pulang lebih awal karena guru-gurunya ada keperluan. Saya tidak ingin tahu lebih banyak keperluan guru-guru itu. Yang jelas, kedatangan mereka cukup menghibur dan menggugah kenangan tiga tahun kebersamaan dengan mereka.

Mereka memang masih anak-anak, usia 15-17. Keceriaan mereka, keceriaan anak-anak. Kerinduan mereka pada guru-guru di sini dapat kita maklumi. Tiga tahun bersama bukanlah waktu yang pendek untuk segera dilupakan. Meski tentu saja ada di antaa alumni itu, yang lain, yang segera melupakan sekolah dan guru-gurunya.

Terkadang kenangan seperti ini tidak bisa diwujudkan bagi mereka yang merantau. Seperti saya, tidak pernah berkunjung ke SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi tempat saya belajar. Beruntung saat ini ada aplikasi WhatsApp yang bisa mendekatkan para alumi yang tersebar di berbagai penjuru bumi ini. reuni tidak lagi harus bertemu muka. Teknologi mampu menjembatani kerinduan dalam grup alumni.