YAROH MUSTAIN

Yaroh Mustain, itulah pemberian nama dari orang tua saya. Saya lahir 19 maret 1979 di kota ukir Jepara, Jawa Tengah. Tahun 1992 saya menamatkan pendidikan dasar...

Selengkapnya
Navigasi Web
SISWA ITU BUKAN ROBOT

SISWA ITU BUKAN ROBOT

SISWA ITU BUKAN ROBOT

Oleh: Yaroh Mustain, S.Si

SMP Negeri 1 Bangsri

Disuatu sekolah favorit yang bernama SMP Negeri Hutan, layaknya sekolah pada umumnya, setiap awal tahun pelajaran baru sibuk untuk mempersiapkan penerimaan siswa baru. Begitu juga calon siswa baru, semuanya berburu sekolah favorit. Puluhan bahkan ratusan calon siswa pun berdatangan untuk mendaftarkan diri di sekolah SMP Negeri Hutan. Diantaranya adalah kelinci, bebek, kijang dan harimau. (Hehe ... Namanya juga SMP Hutan). Setelah dilakukan seleksi administrasi akhirnya mereka diterima di sekolah favorit mereka tersebut. Diterima di sekolah favorit tentu sangat menyenangkan. Mereka sudah membayangkan bagaimana menikmati hari-hari yang menyenangkan di Sekolah mereka.

Pada minggu pertama mereka sangat senang menikmati masa-masa orientasi sekolah. seminggu kemudian tiba waktunya mereka mengikuti kegiatan pembelajaran. Seperti sekolah lainnya, mengawali minggu efektif pembelajaran para siswa mencatat jadwal pelajaran yang berlaku selama satu semester. Berbagai cara dilakukan oleh para guru menyambut siswa dalam pertemuan perdana mereka. Diantaranya tidak lupa menyampaikan kriteria ketuntasan minimal (KKM) dari masing-masing pelajaran. Diantaranya mata pelajaran yang ada di SMP Negeri Hutan tersebut adalah berlari, berburu, berenang, dan lain-lain.

Diawal-awal pelajaran semua siswa nampak menikmati hari-harinya di sekolah dengan penuh keceriaan. Tetapi setelah mereka menikmati beberapa ulangan tampak kegembiraan mereka mulai memudar dan keceriaan mereka mulai menghilang. Seperti ada beban tak terpecahkan yang tersirat dalam raut wajah mereka.

Suatu ketika pada jam istirahat kelinci, bebek, kijang dan harimau bertemu dan saling bercerita tentang yang pengalamannya. Kelinci mengeluh dengan pelajaran berenang. Meski telah mengerahkan segenap kemampuannya dia tidak dapat mencapai nilai minimal yang ditetapkan. Karena kelinci tidaklah seperti bebek. Bebek merasa kesulitan dengan mata pelajaran berlari. Bebek telah berusaha keras, tetapi tetap saja kemampuan berlari bebek sangat terbatas, dan tidak mungkin mencapai KKM. Kijang juga mengeluh tentang nilai berburunya. Dia merasa pelajaran berburu terlalu berat untuknya, karena dia memang tidak memiliki bakat untuk berburu dan kenapa harus dipaksa pandai berburu? Lain halnya dengan harimau, dia diberi kemampuan lebih. Selama ini dia tidak mengalami kesulitan.

Cerita di atas merupakan ilustrasi yang menggambarkan kejadian di sekolah pada umumnya. Sadar atau tidak, sekolah kita sangat egois dan otoriter. Tuntutan KKM yang cukup tinggi tidak jarang dilakukan oleh sekolah. mereka lupa bahwa berapa persen siswa yang seperti harimau. Bukankah yang seperti kelinci, bebek, dan kijang jumlahnya cukup banyak?

Seolah-olah sekolah tidak tahu bagaimana kesulitan belajar yang dialami para siswa. Para guru tidak menyadari bagaimana perasaan siswa yang mengalami kesulitan belajar. Cap bodoh sering mereka dapatkan yang mengakibatkan mereka semakin kehilangan kepercayaan dirinya. Belum lagi bila mereka harus berhadapan dengan guru yang kurang bersahabat yang menyebabkan mereka tertekan setiap pelajaran berlangsung.

Howard Gardner menyatakan bahwa kecerdasan tidak diukur dari hasil tes psikologi standar, namum dapat dilihat kebiasaan sesorang menyelesaikan masalah dan kreatifitas seseorang. Berdasarkan teori Multiple Intelligences kecerdasan seseorang dibedakan ke dalam kecerdasan logis-matematis, linguistik, musikal, visual-spasial, kinestetik, natural interpersonal dan intrapersonal.

Seorang siswa yang super boleh jadi memiliki delapan kecerdasan sekaligus, tetapi tentu jumlahnya tidak banyak. Atau sebaliknya seorang siswa yang lambat hanya memiliki dua atau bahkan satu kecerdasan saja. Faktanya ada seseorang yang kemampuan matematika dan bahasanya bagus tetapi ketika bernyanyi tidak mampu menyesuaikan nada dan irama sehingga terdengar fals. Kebanyakan orang berfikir itu adalah sesuatu yang sederhana, hanya mendengarkan dan menirukan tetapi kenyataannya sulit dilakukan. Atau sebaliknya ada seseorang yang kesulitan dalam pelajaran matematika dan IPAnya tetapi kemampuan kinestetiknya sangat menonjol sehingga mahir dibidang olah raga.

Mungkin ketika diajukan pertanyaan, manakah yang lebih cerdas antara Albert Einstein dengan Muhammad Ali, atau B. J. Habibie dengan Rudi Hartono, atau Isaac Newton dengan Ronaldo? Tentu sulit untuk menjawabnya bukan? Masing-masing dari mereka memiliki kecerdasan yang berbeda-beda yang sama-sama menghantarkan mereka ke dalam kesuksesan.

Tujuan Pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Kecakapan, kreatifitas dan kemandirian seseorang akan berkembang optimal jika sekolah memperhatikan bakat, minat dan kecenderungan alamiahnya. Seorang siswa bukanlah robot yang memiliki kemampuan dan keinginan yang seragam, tetapi setiap siswa merupakan individu yang unik. Masing-masing siswa mereka memiliki kemampuan dan bakat alamiah yang tidak sama sehingga sangat tidak adil jika kemudian disamaratakan. Ketika siswa terlalu difokuskan kepada hal-hal diluar kemampuannya maka itu menjadi sia-sia dan dia akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi alamiahnya sehingga justru bakatnya akan mati.

Harus diakui sistem pendidikan di Indonesia masih memperlakukan siswa sebagai robot. Sebagai seorang guru menyalahkan sistem tidak akan menyelesaikan masalah. Tetapi menyerah, sikap acuh serta tidak melakukan perubahan apapun juga tidak dapat dibenarkan. Apa yang harus dilakukan? 1) Ada baiknya seorang guru memetakan kemampuan dan bakat siswa pada mata pelajaran tertentu. Setiap guru mata pelajaran bisa jadi memiliki pemetaan yang berbeda sesuai dengan kemampuan dan minat siswa; 2) Memetakan indikator dari setiap Kompetensi Dasar (KD) kedalam kategori sederhana, sedang dan kompleks. Berikan materi sesuai dengan kemampuan siswa dan jangan pernah ‘memaksa’ siswa yang kurang berbakat dengan materi-materi yang kompleks; 3) berikan alat tes yang berbeda levelnya untuk siswa yang benar-benar ‘berkebutuhan khusus’, karena percuma saja jika diberi soal diluar kemampuannya; dan 4) Melakukan pengamatan perkembangan siswa karena pemetaan kelas bersifat dinamis yang dapat berubah sesuai dengan perkembangan kemampuan siswa.

Ini merupakan bentuk usaha yang dapat dilakukan. Tentu ini mungkin bukanlah solusi yang cukup solutif, tetapi berusaha untuk melakukan perubahan dari kondisi ‘otoriterisasi’ lembaga pendidikan merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan masa depan siswa.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

oh ya pak, bc dimana? tp ini asli lo bukan plagiat. hehe

10 Jun
Balas

Gak bilang plagiat loh pak. Ceeita sekolah binatangnya dwngan hewan yang berbeda.

10 Jun

hehe... iya pak. kebetulan kali pak. trimakasih telah membacanya.

11 Jun
Balas

Ilustrasinya tulisannya keren pak. Seperti pernah baca.

10 Jun
Balas

Semakin mantap, Pak Yaroh

13 Jun
Balas

hehe... mungkin sebab belajar dr pendahulunya, bu tri, p feri dan bu rahmah tentunya

13 Jun

Mantap.

11 Jun
Balas



search

New Post