"Telat lagi ya, Dik?" tanya penjaga perpustakaan.

"Iya, Mas. Mohon maaf saya lupa." "Karena Adik terlambat 2 hari maka untuk 2 hari ke depan baru boleh pinjam lagi ya." "Iya, Mas."

Sebenarnya aku sengaja terlambat mengembalikan buku, menyesuaikan dengan jadwal Mas Ganteng penjaga perpustakaan. Dua hari lalu aku sudah ke perpustakaan, tapi Mas Ganteng itu ternyata sedang cuti, kata temannya baru akan masuk hari ini. Jadilah hari ini aku ke perpustakaan.

Sebenarnya masih ingin mengajak ngobrol, tapi karena antrean pengunjung cukup banyak aku menyerah. Cukup memandang senyumnya dari meja baca ini.

Setelah agak sore akhirnya sepi juga. Aku bergegas turun. Berpura-pura akan meminjam buku, meskipun aku sudah tahu pasti akan ditolak.

"Mohon maaf, Dik. Belum boleh pinjam ya. Dua hari lagi baru boleh." kata Mas Ganteng sewaktu aku menyodorkan buku dan kartu anggota perpustakaan. "Oh, iya. Maaf, Mas. Gpp." "Adik betah banget di perpustakaan, dari pagi sampai sore begini. Adik baca apa?" tanyanya.

Yes, akhirnya bisa ngobrol juga. Aku bersorak dalam hati. "Baca buku referensi, Mas. Untuk membuat makalah, tugas dari guru." jawabku. "Kalau perlu bantuan bilang saja, Dik. Siapa tahu Mas bisa bantu." kata Mas Ganteng membuat jantungku semakin deg-degan. "Ya, Mas. Terima kasih. Boleh minta nomor HP-nya, Mas? Nanti saya minta bantuan via WA ya?" pintaku seraya berdoa semoga dikabulkan.

Akhirnya dapat juga nomor HP Mas Ganteng. Aku bergegas pulang dengan rasa bahagia. Nanti malam aku akan mengirim pesan ke Mas Ganteng. Semoga dibalas.

"Bu, coba lihat foto teman Della. Mirip sekali dengan foto Bapak ya?" tanyaku pada Ibu sembari menunjukkan foto Mas Ganteng yang kuambil secara curi-curi hari ini. Ibu sangat terkejut melihat foto itu. "Ya, Nak. Mirip sekali. Jangan-jangan itu kakakmu." jawab Ibu seraya menangis. "Iya, Bu. Namanya juga Slamet. Sama seperti nama kakak. Tapi Della tidak berani mencari informasi lebih lanjut, Bu. Karena nama Slamet kan nama yang umum. Terlebih lagi kata Ibu kan Bapak tinggal di Sumatera."

Sore itu Ibu menceritakan rahasia yang selama ini dipendamnya sendiri. Tentang alasan perpisahannya dengan Bapak dan anak sulungnya, Mas Slamet. Ternyata mereka dipisahkan oleh Nenek yang dari awal memang tidak menyukai Ibu. Setelah berpisah, Ibu membawaku merantau ke Solo. Bapak tetap tinggal bersama kedua orang tuanya di Sumatera. Mereka benar-benar putus kontak.

Setelah Ibu menata hati, dua hari kemudian kami kembali ke perpustakaan. Mas Ganteng masih ada di tempat yang sama. Kami menunggu sampai waktunya perpustakaan tutup. "Mas, Ibu saya ingin bertemu. Apakah bisa?" tanyaku pada Mas Ganteng. "Wah, kita kan baru kenal, Dik. Kok sudah membawa ibunya. Saya belum siap dilamar, Dik." jawabnya sambil tertawa tergelak. "Masnya lebay deh." sahutku kesal.

Bulan yang datang malu-malu menjadi saksi pertemuan sore itu. Ada air mata haru dari kami bertiga. Ternyata Tuhan mempertemukan kami di kota ini. Bapak dan Mas Slamet sudah tinggal di kota ini sejak 5 tahun yang lalu karena Mas Slamet diterima kuliah di universitas sini. Mereka tidak tahu kalau kami juga tinggal di sini.

Perpustakaan menjadi tempat yang mempertemukan keluarga yang terpisahkan oleh keadaan. Keluargaku akhirnya utuh kembali. Bapak dan Ibu memutuskan untuk rujuk. Kini setiap hari aku dapat memandang wajah Mas Ganteng dengan cinta. Bukan cinta terhadap lawan jenis, tapi cinta kepada seorang kakak.

#TantanganGurusiana Hari Ke-45