Konsekwensi dari taqwa yang dibentuk dari ibadah puasa adalah tetap menjaga taqwa pada diri. Hujjatul Islam Imam Al Ghozali dalam "Ihya' Ulumuddin" menyebut taqwa adalah: "intitsalil awamir wajtinsnu an bawahi", yaitu menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Dalam Alquran perintah taqwa itu "mastatho'tum" yang berarti berupaya semaksimal mungkin, sungguh-sungguh, tidak pilih-pilih baik terkait dengan pelaksanaan perintah dan menjauhi larangan.

Terkait perintah ini tentu akan lebih dilakukan tinggal menguatkan niat, sementara terkait dengan larangan, memiliki konsekwensi besar selain kepada diri dan orang lain. Sehingga untuk menegakkan larangan terkadang seseorang harus berhadapan dengan kekuasaan dan kebijakan yang menyangkut public.

Musibah yang melanda dunia hari ini bisa jadi karena telah begitu banyaknya kemaksiatan yang terkoordinir dan tersistem.

Sebagian pendapat mengatakan, kemaksiatan bukan karena banyaknya kemaksiatan, tetapi lebih tetjadi karena banyaknya orang baik yang mendiamkan kemaksiatan terjadi.

Karena itu jauh hari Nabi Muhammad mengingatkan: Barang siapa melihat suatu kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu "biyadika", jika tidak mampu dengan ucapanmu "lisanika", jika tidak mampu dengan hatimu "qolbika", yang demikian ini selemah-lemah iman "ad'aful iman".

Hadis ini sekaligus perintah, bahwa mencegah kemungkaran yang ada adalah kewajiban esensi bagi setiap orang dan dengan kapasitas masing-masing, penguasa dengan tangannya (kekuasaannya), para penulis, kuli tinta, da'i dengan lisannya, selainnya dengan hatinya (mendoakannya). Dan yang ketiga ini adalah yang paling lemah.

Disinilah betapa tangan (kekuasaan) menjadi lebih kuat. Karenanya betapa pentingnya kekuasaan ditangan orang yang baik-baik.

Bojonegaro, 13 Romadhan1441 H/6 Mei 2020 M