yazid adiwiryo

Navigasi Web
Melukis Taqwa di Hati

Melukis Taqwa di Hati

"Attaqwa ha huna." Taqwa itu disini, sambil Nabi menunjuk ke arah dadanya. Ini yang dimaksud mungkin adalah makna subtansi taqwa. Dalam makna subtansi taqwa yang diinginkan Allah saat seseorang melaksanakan puasa adalah pribadi yang mana segala apa yang diucapkan dan yang diperbuat semata hanyalah megharap Ridha Allah.

Terhadap taqwa yang demikian tentu tidaklah setiap orang berada pada tingkatan ini. Mengapa? Karena kebanyakan manusia ketika melakukan sesuatu termasuk terkait dengan ibadahpun masih ada setitik bukan karenaNya. Mungkin masih karena "Lin naas, Lil ghoirihi," karena manusia dan karena lainnya. Dalam perspektif kedua ini, maka seseorang merasa kecewa ketika apa yang dilakukan tidak gayung bersambut dengan apa yang dipersepsikan orang lain, bahkan terkadang sebaliknya (cacian, makian, hingga fitnah). Atau merasa bahwa apa yang ia lakukan mengganggap sesuatu yang paling benar, paling baik, dibanding yang lain.

Allah mengancam orang yang demikian ini, agar ia mencari Tuhan selainNya. Sedang bagi mereka yang bertaqwa seperti yang dikehendakiNya, maka disediakan sekian jaminan.

At thalaq ayat 3-4 menyebut: Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar dan segala persoalan hidup. Bahkan secara komunal disebutkan sebagaimana surat Al A'raf ayat 96-99: "(96) Jika sekirannya penduduk suatu kampung (desa, negara) beriman dan bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan berkah yang keluar dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (97) Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? (98) Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? (99) Apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.”

Artinya segala yang keluar dari keduanya adalah sesuatu yang memberikan manfaat, bukan musibah apalagi adzab.

Pertanyaannya jika musibah dan adzab silih berganti dan tak kunjung berhenti di suatu kampung (desa, negara), tentu langkah terbaik yang dilakukan adalah segalan melakukan introspeksi diri. Mengapa semua terjadi?

Bojonegoro, 6 Romadhan 1441 H/29 April 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Betul.. setiap musibah itu pasti ada hikmahnya

29 Apr
Balas



search

New Post