yazid adiwiryo

Navigasi Web

Musyawarah Mufakat

Sila keempat Pancasila mengandung isi arti bahwa sifat dan keadaan Negara harus sesuai dengan hakekat rakyat, sehingga Negara Indonesia bukan Negara satu orang, bukan Negara golongan, tetapi Negara yang didasarkan atas seluruh rakyat, bukan pada golongan dan bukan pada perseorangan, berdasarkan atas kekuasaan yang ada ditangan rakyat (kedaulatan rakyat), berdasarkan atas muyswarah dan gotong royong.

Permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, haruslah dimaknai bahwa hasil musyawarah oleh sekelompok orang yang telah ditunjuk mewakili rakyat, bukanlah produk nafsu kelompok yang tidak sedikitpun berfikir, bersikap bijak untuk orang lain. Karena itu, maka musyawarah yang dihasilkan hendaknya lebih memilih mufakat daripada footting, kendatipun pilihan kedua ini dibolehkan oleh demokrasi. Pertanyaannya demokrasi yang mana? Demokrasi kita bukan demokrasi ala barat, demokrasi kita adalah demokrasi dalam bingkai pancasila yang "hikmah dan kebijaksanaan", artinya musyawarah yang didasarkan bahwa hasilnya dikemudian hari memiliki manfaat yang tidak saja untuk kepentingan pribadi "para pejabat negara", tidak juga hanya untuk kepentingan kelompok tertentu " partai politik, pemilik uang, pengusaha, investor asing", melainkan untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Selanjutnya permusyawaratan dan perwakilan, hakekatnya adalah permusyawaran oleh wakil rakyat, yang dipercaya rakyat, memiliki kapabilitas dan kapasitas yang tidak diragukan secara yuridis dan etika, berkepribadian sehat "atituc", memiliki skill yang memadai, dan knowledge yang Samil "lengkap".

Dengan begitu maka keputusan musyawarah "produk yang dihasilkan" benar-benar mencerminkan keputusan "hikmah dan bijak" bukan sekedar "kejar target atau kejar setoran" seperti "kuli harian" dan bukan pula "senetron atau telenovela" yang hanya kejar tayang. Karena memang negara ini bukan "panggung dagelan" melainkan tempat dan hunian yang ditempati oleh ratusan juta manusia dengan karakteristik yang majemuk-plural.

Maka aspek hukum formal dan non formal "termasuk didalamnya nilai-nilai budaya yang telah mengakar" haruslah menjadi dasar sekaligus ruh akan lahirnya produk hukum. Lebih dalam lagi yang perlu diingat bahwa pejabat, wakil rakyat, bahwa selain mendapatkan amanat dari rakyat, hakekatnya juga amanah dari Tuhan Yang Maha Esa. Dan perlu disadari bahwa amanat yang diterima bukanlah tanpa imbalan, melainkan dengan imbalan penuh dari kekayaan negara yang hakekatnya adalah hasil bumi suruh rakyat Indonesia. "Juga harta kami dan kekayaan kami rakyat Indonesia". Oleh karenanya sadarlah!

Jika preambule UUD 1945 dan batang tubuhnya, telah melingkupi jiwa kemerdekaan, mengapa harus ada RUU HIP yang hanya mengusik kedamaian negeri.

Kopijono malam, 14 Juni 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

kereen

15 Jun
Balas

Mantap pak, pancasila telah menjadi bukti telah mempersatukan Indonesia ditengah keberagaman, lantas kenapa harus diusik2 lagi

15 Jun
Balas



search

New Post