Ketika tadi sore penulis berjalan didekat tumpukan material bangunan, penulis secara tak sengaja tersepak sebuah kerikil pipih seukuran telapak tangan balita. Memori penulis pun kembali ke masa 50 puluh tahun yang lalu. Iya.. lima pulah tahun silam, saat penulis usia enam tahun. Dimasa itu penulis adalah seorang anak kecil yang aktif bermain bersama teman seumuran dengan segala permainan yang alamiah, edukatif dan mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Salah satu yang membangkitkan memori penulis saat bertemu kerikil pipih tersebut adalah permainan “Lore”, yang biasa dimainkan oleh anak perempuan di Minangkabau.

Permainan Lore juga penulis kenal dengan sebutan pemainan siensuik. Ini berdasarkan pengalaman penulis yang pindah dari bukittinggi ke kota Padang pada saat umur lima tahun. Dibukittinggi disebut Lore sedangkan di Padang disebut Siensuik dan dibagi lagi jenisnya dengan permainan sikoci. Ada pula sebutan sikoci baju dan sikoci apolo. Namun semua jenis permainan berbeda sebutan ini sama-sama permainan yang dilakukan di atas bidang datar ( umumnya tanah dan bisa juga diatas lantai beton atau jalanan kampung yang jarang dilalui kendaraan. Dibidang datar tersebut di buat sarana bermain berupa garis-garis yang membentuk media permainan. Bentuknya ada yang kotak persegi panjang dengan isi kotak 2 kolom 3 baris. Kalau bentuk sikoci berbentuk gambar baju yang tetap dibatasi oleh garis demikian juga dengan sikoci Apollo berbentuk gambar pesawat Apollo dengan setengah lingkaran dibagian atas. Setelah media bermain digambar dengan garis membentuk salah satu tema yang diinginkan (Persegi, sikoci baju atau sikoci Apollo) maka media siap dimainkan oleh 2 sampai 4 orang. Masing-masing anak perempuan tersebut harus memiliki gundu atau kerikil tipis yang akan di gunakan saat tiba giliran bermain. Gundu akan didorong dengan ujung jari dengan cara telapak kaki beringsut-ingsut mengeser gundu melompati garis dari satu kotak ke kotak berikutnya. Jika bisa menyelesaikan sampai melewati keenam kotak maka si pemain tersebut berhak memiliki satu kotak diantara 6 kotak tersebut. Kotak dapat dimiliki dengan terlebih dahulu melempar gundu tanpa melihat. Pemain berdiri membelakangi kotak dan melempar gundu dengan punggung tangannya. Jika gundu masuk kesalah satu kotak tanpa mengenai garis maka kotak tersebut menjadi kapling miliknya dan diberi gambar bintang. Pemain selanjutnya harus melewati kapling bintang dengan cara mendorong gundunya lebih kencang agar bisa melewati satu kotak berbintang tersebut. Demikian permainan ini dengan asyik dan gembira dimainkan sampai semua kotak sudah dibintangi. Pemenangnya adalah yang memiliki kotak paling banyak. Jika ingin meneruskan bermain makan dimulai dari awal lagi dan tanda bintang dihapus terlebih dahulu semuanya. Sebuah permainan yang mengandung olah raga rekreasi dan mengedepankan sportifitas. Pemainan ini biasa dimainkan oleh anak-anak perempuan usia Sekolah Dasar dan dimainkan pada sore hari menjelang magrib. Jika azan magrib berkumandang maka selesai tidak selesai semua akan membubarkan diri dan pulang kerumah masing-masing. Diharapkan permainan ini dapat dilestarikan dan diajarkan kembali kepada anak-anak masa kini.

Sweetfourteenhome, 17.03.2023