Pelukan untuk Sahabat
Oleh: Yesi Arisanti
Saya masih ingat beberapa waktu yang lalu membaca status seorang gurusianer. Dia seperti curhat bahwa buku yang ditulisnya dikritik tanpa diberi solusi oleh temannya. Artinya, buku yang ditulisnya dicemooh oleh teman di sekolahnya.
Setelah japrian beliau bercerita bahwa kepala sekolahnya membeli buku yang ditulisnya untuk diletakkan di perpustakaan sekolah. Setiap edisi dibeli 10. Buku tunggal yang ditulisnya sudah 5, berarti kepala sekolah membeli 50 eksemplar.
Permasalahannya adalah teman di sekolahnya tidak setuju buku yang ditulisnya dijadikan bahan bacaan siswa di sekolah karena dianggap tidak cocok untuk siswa SMP.
Lha, jika tidak menentang SARA, apa masalahnya. Apalagi kepala sekolah sudah menghargai karya gurunya dengan membeli buku tersebut untuk diletakkan di perpustakaan. Hal itu sudah lampu hijau untuk melenggang cantik di dunia kepenulisan. Dukungan sudah didapatkan.
Saat ini saya juga membaca status seorang teman. Beliau tidak mau lagi mengirim tulisannya di media sosial, baik FB atau grup WhatsApp. Kasusnya juga sama. Banyak cemooh yang diberikan kepadanya.
Untungnya beliau masih menulis, tapi hanya mengirim ke Gurusiana untuk memenuhi tantangan menulis. Padahal saya menyukai tulisannya. Renyah dan mudah dipahami. Kadang saya suka tersenyum membaca tulisannya. Buku yang ditulisnya juga sudah banyak, baik tunggal maupun antologi. Tapi, saat ini dia sedang jatuh sampai di titik terendah.
***
Mungkin kasus yang terjadi juga dirasakan oleh banyak orang, termasuk saya. Jika tidak mendapat dukungan dari orang-orang terdekat, mungkin kita akan berhenti menulis. Tidak mau lagi untuk menulis.
Bagus juga mereka mencemooh tulisan kita, berarti mereka membaca apa yang kita tulis. Kita bisa belajar untuk memperbaiki diri agar tulisan kita semakin layak. Mereka hanya bisa mencemooh, sedangkan kita sudah maju selangkah. Karya kita sudah ada. Walaupun hanya karya sederhana. Mereka yang mencemooh tidak tahu perjuangan lahirnya sebuah karya. Jika mereka tahu, takkan sanggup untuk berkata.
Untuk kasus yang pertama, saya sangat bahagia. Saya bisa merasakan kebahagiaan yang didapatkan karena dukungan dari kepala sekolah. Biarkan saja satu orang itu tidak menyukai, yang penting kepala sekolah merestui apa yang kita lakukan.
Sahabat, mari bergandengan tangan menebar manfaat melalui tulisan. Ayo tetap menulis. Jadikan cemoohan mereka untuk membuat kita kuat. Tutup mulutnya dengan karya dan karya yang lebih baik. Mungkin Allah menakdirkan ada orang yang melukai perasaan kita, menggoreskan luka di hati kita. Itu semua karena Allah menyiapkan pahala untuk kita. Allah akan mengangkat derajat kita. Tetap semangat.
Padang, 27 Maret 2022
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Alhamdulillaah, keren tulisannya, sukses bu Yesi Arisanti
Saya menulis untuk panggilan hati saja. Saya tulis. Puas. Sudah. Tak peduli meski itu hanya jadi diary.
Tulisannya sangat bermanfaat dan menginspirasi. Kasus yang sering terjadi. Saya juga mengalami. Tapi berbesar hati bahwa ada yang mengapresiasi untuk memilih tulisan saya bersanding dalam satu buku dengan para penulis yang sangat hebat. Bagi saya bisa merangkai kata menjadi kalimat sesuai ide yang diberikan itu sudah sangat luar biasa
Memang tak mudah menerima cemoohan dan menganggapnya sebagai pelecut semangat untuk terus berkarya. Semoga cemoohan itu lama kelamaan berubah jadi pujian. Salam sayang untuk sahabat Bu Yesi dan tetap semangat berkarya.
Tulisan yang sangat mencerahkan Teh Esi. Saya juga punya kasus mirip demikian. Sejak gabung dengan MGI, saya sudah mengajak teman2 guru di sekolah maupun MGMP untuk ikut gabung. Akan tetapi, tidak ada yang merespon. Katanya, tidak bisa menulis. Saat saya nge_share tulisan di WAG, fb, untuk status WA, dsb.. tak ada juga yang komentar. Nge_ like saja tidak. Pada hal kalau postingan bercanda atau sekadar celotehan saja pada nge_like dan komentar. Kadang saya merasa aneh dengan itu semua. Nah, saya kan sudah punya tiga buku solo dan beberapa buku antologi tak taruh di meja saya sampai setumpuk. Eh, kok ya tidak ada yang bertanya-tanya apalagi pinjam untuk sekadar buka syukur2 mau membacanya. Mereka lebih asyik dengan gawainya sendiri.
Tulisan yang sangat mencerahkan Teh Esi. Saya juga punya kasus mirip demikian. Sejak gabung dengan MGI, saya sudah mengajak teman2 guru di sekolah maupun MGMP untuk ikut gabung. Akan tetapi, tidak ada yang merespon. Katanya, tidak bisa menulis. Saat saya nge_share tulisan di WAG, fb, untuk status WA, dsb.. tak ada juga yang komentar. Nge_ like saja tidak. Pada hal kalau postingan bercanda atau sekadar celotehan saja pada nge_like dan komentar. Kadang saya merasa aneh dengan itu semua. Nah, saya kan sudah punya tiga buku solo dan beberapa buku antologi tak taruh di meja saya sampai setumpuk. Eh, kok ya tidak ada yang bertanya-tanya apalagi pinjam untuk sekadar buka syukur2 mau membacanya. Mereka lebih asyik dengan gawainya sendiri.
Terimakasih teh saya juga merasakan sakitnya, semoga plecut untuk saya untuk tetap semangat menulis, kapan pun, dimanapun
Terimakasih teh saya juga merasakan sakitnya, semoga plecut untuk saya untuk tetap semangat menulis, kapan pun, dimanapun
Terimakasih teh saya juga merasakan sakitnya, semoga plecut untuk saya untuk tetap semangat menulis, kapan pun, dimanapun
Terimakasih teh saya juga merasakan sakitnya, semoga plecut untuk saya untuk tetap semangat menulis, kapan pun, dimanapun
Terimakasih teh saya juga merasakan sakitnya, semoga plecut untuk saya untuk tetap semangat menulis, kapan pun, dimanapun
Terimakasih teh saya juga merasakan sakitnya, semoga plecut untuk saya untuk tetap semangat menulis, kapan pun, dimanapun
Terimakasih teh saya juga merasakan sakitnya, semoga plecut untuk saya untuk tetap semangat menulis, kapan pun, dimanapun
Terimakasih teh saya juga merasakan sakitnya, semoga plecut untuk saya untuk tetap semangat menulis, kapan pun, dimanapun
Terimakasih teh saya juga merasakan sakitnya, semoga plecut untuk saya untuk tetap semangat menulis, kapan pun, dimanapun
Terimakasih teh saya juga merasakan sakitnya, semoga plecut untuk saya untuk tetap semangat menulis, kapan pun, dimanapun
Terimakasih teh saya juga merasakan sakitnya, semoga plecut untuk saya untuk tetap semangat menulis, kapan pun, dimanapun
Terimakasih teh saya juga merasakan sakitnya, semoga plecut untuk saya untuk tetap semangat menulis, kapan pun, dimanapun
Terimakasih teh saya juga merasakan sakitnya, semoga plecut untuk saya untuk tetap semangat menulis, kapan pun, dimanapun
Terimakasih teh saya juga merasakan sakitnya, semoga plecut untuk saya untuk tetap semangat menulis, kapan pun, dimanapun
Luar biasa sangat memotivasi kita yang mendapat perlakuan yang sama. Baarakallah
Ulasan yang luar biasa. Memotivasi diriku untuk terus belajar. Salam semangat bun.
Tulisan keren dan msntap Jeng Esi
Tulisan keren. Harus tetap tegar dan terus berkarya. Sukses selalu uni.
Itu iri tandanya tidak mampu, benar tutup mulutnya dengan tetap konsisten berkarya. Orang serupa banyak kita jumpai dimana-mana, dan justru dengan adanya orang seperti itu akan memompa semangat menulis karya. Lanjutkan
Sependapat, Pak Sukadi.
Cemburu karena tak mampu. Los dol ah. Skses selalu, Bu Yesi.
Alhamdulillah, tulisan yang keren, semoga kita semua selalu istiqomah dalam menulis, biarkan orang lain mencemooh tetap lanjut dan semangat dalam berkarya tulis menulis.
Ulasan yang sangat mewakili perasaan para penulis khususnya penulis pemula..Moga kita ga patah arang mendengar cemooh..
Tulisannya sangat bermanfaat, membuat kita harus tetap tegar di tengah keberagaman.