Yessy Eria, S.Pd

Guru SMAS Muhammadiyah 2 Medan. Belajar adalah sebuah keharusan dan belajar adalah ibadah. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
ZAHRA

ZAHRA

#Tagur, hari ke 106

Bagian 37

Seorang ibu akan terus menyayangi anaknya walaupun anaknya telah tumbuh dewasa dan menua, tetapi seorang anak yang sudah dewasa dan bekeluarga belum tentu sanggup untuk merawat ibunya yang sudah tua dan tak berdaya.

“Ssstt ibuk tidak boleh bicara begitu?”

“Kenapa tidak boleh Miss. Apa salah berharap seperti itu?” Ia menatapku agak tajam.

Aku menelan ludah. Pikirannya tidak salah dan wajar. Kepada siapa lagi orangtua menyandarkan hari tuanya kalau tidak ke pada anak-anaknya. Tapi bukankah anak mama Zahra banyak. Kenapa ia bicara seperti itu. Apakah ini semacam kekhawatiran para orang tua di kala usianya mendekati senja. Akan adakah anak-anak mereka yang mau menampung dan merawatnya?

Andaikan Zahra tidak seperti yang ia harapkan, bukankah ada anak-anaknya yang lain? Ada apa dengan mama Zahra, apakah anaknya yang lain juga acuh padanya. Kalau memang benar, betapa malangnya ia.

“Miss tidak punya jawabankan?” ia memegang tanganku.

“Nge...tentu saja berharap seperti itu tidak salah. Tapi saya yakin kok Buk Zahra dan anak-anak ibu yang lain amatlah sayang pada ibuk!”

“Aamiin!”

“Miss tahu begitu sayangnya suami saya padanya, semua asuransi dan rumah saya di Puri, dibuat atas nama Zahra. Masing-masing anaknya dapat jatah, tak terkecuali dia. Saya bilang jangan. Zahra belum bisa dikasih yang begituan. Ia marah pada saya dan mengatakan saya ini pilih kasih. Padahal sebenarnya tidak. Saya ingin ia dewasa dulu dan menunjukan baktinya sama orang tua. Itu saja. Sejak itu hubungan kami sering tidak baik!”

“Tapi tadi Zahra senang sekali waktu ia tahu ibu mau jumpa saya lho Buk, kenapa ya?”

“Mungkin ia berharap Miss akan membantunya untuk dapat melunakan hati saya!” aku tak mengerti kemana arah pembicaraan mama Zahra.

“Melunakan hati? Kenapa hati mama Zahra harus dilunakan olehku?” aduh, aku mulai tak nyambung bicara dengan mama Zahra.

Mama Zahra menghela napasnya dalam. Sepertinya ia belum puas dengan Zahra. Mungkin sebagai orangtua yang sering dikecewakan oleh anaknya akan sulit membangun kepercayaan kembali. Bukankah hati dan kepercayaan itu ibarat kaca. Begitu ia pecah takan bisa menjadi sama meski sudah disatukan lagi serpihannya?”

Namun apakah hati orang tua juga seperti itu. Bukankah sering juga kudengar bahwa hati orang tua itu seluas samudra? Akan selalu ada pemaafan untuk anak-anaknya yang acap kali berbuat kilaf.

Tapi seperti apakah hati mama zahra sesungguhnya? Ia terlihat olehku memang sudah tidak muda lagi. Punggung tangannya sudah tampak mengeriput. Dari nada bicaranya ia terlihat banyak kecewa oleh Zahra?

Aku melihat itu sebagai konsekuensi logis. Harapan dan kekecawaan selalu berbanding lurus. Semakin tinggi harapan mama Zahra terhadap anaknya, maka semaki besar pula kekecawaan yang ia reguk bila itu tak sesuai dengan harapannya.

Aku terus mengaduk-aduk jus jeruk yang dipesankannya untukku dengan sedotan. Sejurus aku seakan terpahamkan bahwa tak ada gunanya berharap pada manusia sekalipun ia orang terdekat kita. Toh itu akan melahirkan kekecawaan dan kehampaan saja. mesti pikiranku ini tak kusampaikan padanya, aku berharap ia dapat memahaminya bahwa ini adalah cara tuhan untuk mendidiknya supaya dapat ikhlas dan mendekat hanya padaNya.

“Miss, bila perkataan saya tak didengarnya semoga ia dapat mendengar perkataan Miss ya. Nasehat saya sudah habis untuknya. Yang ada capek, jadi saya tidak mau ambil pusing lagi. Kami melihat sepak terjangnya saja. Yang penting bagi papanya ia pulang ke rumah dan tidak kabur-kaburan lagi!”

“Saya bilangkan juga ke suami saya jangan marah-marah lagi melihat kelakuan Zahra. Nanti bisa kumat hipertensinya. Tapi dasar suami saya, orangnya tidak bisa pula seperti itu. Ia disiplin miss. Tolong miss katakan ke Zahra sepulang sekolah untuk segera pulang ke rumah”

Aku menyanggupi apa yang diminta oleh Mama Zahra. Kuberikan padanya jadwal sekolah, termasuk jadwal pelajaran tambahan yang sedang diikutinnya di kelas XII. Kujabat tangannya dan aku pamit pulang lantaran sudah dipenghujung sore.

“Terimakasih Miss telah mau direpotkan oleh saya!”

“Tidak apa-apa Buk. Memang begitulah seharusnya kerjasama kita!”

***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sip cerpennya....sdah sy follow bucan

08 Aug
Balas

Trmksh bunda manis

08 Aug



search

New Post