Yetti Muryati Tanjung

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Bahagiakan Dia (Tantangan Menulis 30 hari) hari kelima

“Di hari tua ini, bahagiakan dia, belikan makanan yang enak, pakaian, bawa dia jalan-jalan.” Begitu potongan ceramah Ustad Abdul somad dari cuplikan video di youtube yang aku tonton. “Mana baktimu pada orang tuamu, jaga orang tuamu,” lanjut Pak Ustad berapi-api. Kata-kata Pak Ustad itu mengingatkanku pada pengorbanan yang telah Umi dan Abi lakukan. Sungguh berat perjuangan mereka dalam mendidikku sehingga aku bisa sukses seperti saat ini.

Seanti-antinya aku menangis ketika menonton sinetron yang penuh drama, seanti-antinya aku menangis ketika membaca novel romantis, tapi kalau setiap kali mendengar kajian tentang orang tua, terutama ibu, runtuh juga benteng pertahanan keangkuhan diri ini. Pasti aku langsung menangis seperti ketika menonton video Ustad idolaku itu. Akan tetapi Itu terjadi kalau aku mendengarkan kajiannya seorang diri.

Kalau mendengarkan kajiannya beramai-ramai di tempat umum, seperti di musholla atau di masjid aku pasti menangis juga tapi dengan cara sembunyi-sembunyi. Yang aku lakukan adalah pura-pura mengelap keringat atau membersihkan mata. Aku merasa malu kalau-kalau orang lain memperhatikanku menangis. Apalagi kalau mendengar kajiannya bersama Umi dan Abi, aku tidak akan menangis. Pura-pura tidak mendengarkan kajian, pura-pura sibuk mengerjakan pekerjaan lain. Lalu pergi menjauh meninggalkan Umi dan Abi.

Seperti pagi ini. Ustadzah Oki menyampaikan Kajian di televisi tentang kemuliaan orang tua, “…Setiap hari, orang tuamu, ibumu dari engkau kecil, dari engkau lahir memberikan makanan tanpa pamrih terhadapmu….”

Aku langsung beranjak dari karpet 180 cm x 120 cm warna cokelat berbunga besar yang terhampar di depan TV. Kutinggalkan Umi dan Abi yang sedang focus menyimak kajian itu. Lalu aku pura-pura pergi ke dapur untuk mengambil bakwan yang tersaji di atas meja makan dengan cara berjalan lambat-lambat. Akan tetapi, telinga ini tetap fokus mendengarkan kajian sambil menahan air mata agar tidak keluar. Sayup-sayup masih dapat kudengar suara Ustadzah Oki “… kemudian ia sadar bahwa selama ini ada orang yang penuh kasih tanpa pamrih memberikan untuk kelangsungan hidupnya, siapa dia? Sang ibu yang mencintainya dengan amat sangat.”

Baik aku menangis secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, setelah mendengarkan wejangan ustad dan ustadzah pasti biasanya langsung menabung niat dalam hati. Kukatakan pada diri sendiri dengan penuh semangat, “Oke Pak Ustad, Bu Ustadzah, aku niat kalau gajian nanti mau membelikan Umi tas buat beliau pergi ke undangan,” janjiku dalam hati.

Tas merupakan salah satu aksesoris yang umi suka selain baju dan sepatu. Kalau ke pasar pasti yang beliau cari adalah pakaian, sepatu, atau tas. Aku ingat dua bulan lalu Umi diantar abi membeli gamis hijau botol dan sepatu high heels hitam jenis pump untuk pergi ke pesta, sedangkan tas tidak dibeli. “Uangnya tidak cukup,” kata Umi waktu itu. Sebenarnya tas Umi yang lama masih ada tapi lemnya sudah terkelupas.

Sekarang adalah akhir bulan. Waktu ketika keuangan sudah mulai menipis. Tanggal tua orang bilang. Yang dapat kulakukan saat ini hanyalah berniat. Kalau masalah niat, aku sudah sering melakukannya. Ibarat tabungan, jumlah saldo niatku sudah banyak. Bukankah jika kita sudah bertekad untuk melakukan suatu kebaikan lantas tidak bisa terlaksana, maka Allah sudah catat satu kebaikan yang sempurna? Begitulah kutipan Hadist yang dapat memotivasiku untuk selalu berniat melakukan kebaikan. Namun, tetap bertekad kuat untuk mewujudkan sesuatu yang telah menjadi niatku. Hadist itu pula yang kujadikan sebagai penghibur hati saat menunggu tanggal gajian tiba. “Yup, dua hari lagi gajian.” Seruku dalam hati.

Sekarang adalah hari Jumat berarti lusa yang akan datang adalah hari Minggu. Dua hari menjelang gajian kujalani rutinitas bekerja seperti biasa. Namun, dua hari itu waktu terasa melambat. Tak sabar rasanya ingin menunaikan niatku, menyenangkan hati Umi.

Hari yang dinanti pun tiba.

“Mi, anterin Ayu ke toko buku ya nanti siang,”

“Iya, nanti setelah shalat zuhur ya Na,”

“Oke, Umi,”

Pukul setengah satu, selepas menunaikan shalat Zuhur Umi menepati janjinya. Kami pergi menuju toko buku. Kira-kira empat puluh menit waktu yang kami tempuh untuk menuju kesana dengan menggunakan angkutan umum.

Meminta Umi untuk mengantarku ke toko buku hanyalah siasat saja. Tujuanku yang sebenarnya adalah mengajak Umi ke toko tas, yang memang menyatu dengan toko buku itu. Lebih tepatnya, toko tas itu berada di ruang depan sebelah kanan pintu masuk toko buku.

Ketika tepat di depan pintu masuk, aku dorong pintu yang bertuliskan “DORONG”. Umi mengikutiku di belakang. Sambil senyum-senyum sendiri dalam hati, langsung kugandeng tangan Umi kemudian kuarahkan langkahnya ke kanan, letak tas dengan berbagai bentuk dan warna dipajang.

“Sesekali kasih surprise ke Umi,” bisikku dalam hati. Umi pun terheran-heran. Ia tak tahu maksudku mengarahkannya ke toko tas.

“Kok kita ke sini, Na?” Tanya Umi sambil menatapku.

“Iya, tas Umi sudah rusak kan? Umi mau kan kalau Ina belikan yang baru?”

“Ya, maulah, Na. Siapa sih yang tidak mau gratisan?” Senyum Umi pun mengembang seketika.

“Yang ini bagus gak, Mi?” tanyaku kepada Umi sambil memegang sebuah tas berwarna merah hati.

“Bagus,” jawab Umi singkat dan sesaat kemudian berjalan kembali mengitari dan mengamati deretan tas yang dipampang rapi.

“Yang ini modelnya bagus, Na. Tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil,” tunjuk Umi pada sebuah tas berwarna putih gading. “Tapi kalau ada yang warna hitam,” lanjut Umi.

Warna hitam adalah warna favorit Umi. Bagi beliau warna hitam itu adalah warna netral, cocok dipasangkan dengan semua warna pakaian. Begitulah salah satu trik belanja hemat ala Umi. Apa pun warna baju yang dipakai, cukup satu tas yang dipakai. Selain itu, menurut Umi warna hitam tidak gampang terlihat kotor.

“Coba kita tanya mba penjaganya,” kataku sambil memanggil penjaga toko.

“Warna hitamnya habis bu, tinggal warna putih ini,” jawab pelayan ketika aku tanya.

Akhirnya Umi sepakat mengambil tas warna putih gading itu.

“Silakan bayar di kasir dua, ya Kak,” kata mba pelayan toko sambil memberikan nota belanja kepadaku. Aku pun langsung menuju kasir yang disarankan.

Aku berikan nota belanja kepada penjaga kasir, lalu dimasukkannya data barang yang dibeli ke komputer, “Empat ratus dua puluh ribu rupiah, Kak,”

Aku rogoh kantong jaketku, kuserahkan kartu ATM untuk membayarnya. Kemudian tas itu dibungkus dengan rapi menggunakan kantong berbahan tisu tipis oleh pelayan yang ada di kasir. “Terima kasih, Kak,” ucapnya sambil menangkupkan kedua tangannya.

“iya, Mba, sama-sama,” balasku sambil tersenyum. Kuserahkan tas jinjing berisi tas itu kepada Umi. Kami pun pergi meninggalkan toko itu.

Dalam perjalanan pulang di atas angkutan umum, Umi sudah berangan-angan tentang tas yang baru saja dibeli, “Tas ini akan Umi pakai untuk pergi ke undangan pernikahan anak Pak Ridwan minggu depanlah, Na,” ujar Umi dengan riang. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman.

“Betapa senangnya Umi, ya Allah. Alhamdulillah,” rasa syukur kuucapkan dalam hati. Puas hati ini tak terkira. Hari Minggu yang mendung terasa cerah bagiku karena Allah telah mengizinkan aku membuat umi tersenyum bahagia.

Keesokan harinya, aktivitasku bekerja berjalan seperti biasa. Senin yang sibuk. Banyak pekerjaan yang harus dituntaskan. Pak Ahmad, pimpinanku menugaskan aku di hari Selasa untuk mengikuti pelatihan tentang literasi. Betapa senang hatiku ditugaskan beliau untuk mengikuti pelatihan itu. Dengan begitu, wawasan dan teman-temanku dapat bertambah.

Acara pelatihan yang aku ikuti itu berlangsung dari pukul delapan pagi hingga pukul tiga sore. Di ujung acara. panitia mempersilakan peserta untuk menuju meja tempat registrasi. Tak kuduga sebelumnya ternyata peserta yang hadir ditanggung biaya perjalanannya oleh panitia. Yang lebih tak kuduga lagi ialah jumlahnya sama persis dengan harga tas yang kubelikan untuk Umi dua hari lalu, yaitu empat ratus dua puluh ribu rupiah. “Allah Maha Sempurna. Sesaat kemudian muncul bisikan nakal dalam hati. Aku menyesal. “Kenapa kemarin nggak beliin umi tas yang harganya dua juta, ya, hehehe.”

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post