Yudha Aditya Fiandra

“Semua penulis akan meninggal, hanya karyanyalah yang akan abadi sepanjang masa. Maka tulislah yang akan membahagiakan dirimu di akhirat nanti.” (Al...

Selengkapnya
Navigasi Web
BERAKHIRNYA ERA KOMPETISI MENGHAFAL

BERAKHIRNYA ERA KOMPETISI MENGHAFAL

Sistem pembelajaran yang mengutamakan kemampuan menghafal saja, saat ini sudah tidak efektif lagi untuk siswa zaman digital, mesin tentu lebih cerdas kalau di adu kemampuan mengingat. Pada dasarnya menghafal bukanlah untuk jangka panjang, pengetahuan yang tersimpan hanya untuk sementara atau jangka pendek.

Arah dari tujuan pendidikan secara umum adalah untuk menjadikan peserta didik mampu memecahkan masalah dalam hidupnya, mampu mengkomunikasikan pikirannya dan berpikir secara kritis pada setiap permasalahan yang ada. Apakah sudah terlaksana dengan baik di Indonesia? Menurut saya belum sepenuhnya, ada dua faktor yang menghambat ini bisa terealisasikan dengan baik, pertama kurikulum atau sistemnya, kedua guru itu sendiri.

Kurikulum yang ada saat ini dirancang untuk penguasaan materi yang begitu meluas, tidak fokus, tidak tajam pada isinya, sistem yang dirancang demikan mengakibatkan guru hanya fokus pada penyelesaian materi. Ya, hanya sebatas menghabiskan target kurikulum yang ada. Tentu memperbaiki sistem kurikulum bukanlah tugas Anda sebagai guru, ini domain pemerintah. Namun mengeluh saja tidak akan menyelesaikan masalah, kita harus berupaya meski sistemnya tidak mendukung. Sebagaimana saya sebutkan diatas, ada dua faktor, pertama faktor kurikulum dan kedua faktor guru.

Guru pun menjadi salah satu faktor mengapa mayoritas murid tidak bisa menjadi pemikir kritis dan kreatif ketika tumbuh dewasa. Dari dahulu kebanyakan guru hanya menekankan metode mengajar, ulangan, ujian, pada kemampuan menghafal saja, pikiran kritis tentu gagal terbentuk. Faktor kedua ini tentu adalah domain kita sebagai guru, bagaimana menghadirkan metode-metode yang memicu hadirnya pemikiran kritis siswa.

Saya mungkin bisa memberikan sedikit tips disini agar siswa yang kita ajar mampu terpicu untuk kritis dalam berpikir, namun ingat, kritis bukan berarti nyinyir, tidaklah sama. Kritis adalah bentuk pikiran positif, nyinyir adalah bentuk gagal berpikir, menolak ide dan sudah pasti ini adalah bentuk pikiran negatif.

Pertama, dalam proses belajar mengajar, guru harusnya lebih banyak mendengar daripada berbicara di depan kelas, mengapa? Dominasi guru di kelas akan menghambat keinginan murid untuk mengungkapkan isi pikirannya, gurunya sibuk berceramah panjang lebar dari menit pertama sampai menit terakhir jam pelajaran. Entah di tempat Anda mengajar tidak guru yang seperti itu, di beberapa sekolah yang coba saya amati, hal ini banyak terjadi, saya tidak ingin menggeneralisasi bahwa semua guru seperti itu, tidak semua namun hampir semua.

Tentu ada yang berdalih, “Kan di kelas saya ada sesi tanya jawab untuk siswa ketika materi selesai disampaikan, itukan termasuk memberi kesempatan siswa untuk berbicara”. Itu tidaklah sama, tanya jawab dan mengungkapkan ide pikiran adalah dua hal yang berbeda. Bertanya di kelas tidaklah menggambarkan pemikiran kritis seorang siswa, bertanya pun sebenarnya banyak faktor, entah karena ingin mendapat perhatian sang guru, entah memang tidak tahu dan ingin bertanya, apapun itu, bertanya tidak memancing otak untuk berpikir tingkat tinggi.

Bertanya biasanya karena tidak paham dengan materi yang sedang diajarkan, sebaliknya, mengungkapkan isi pikiran adalah untuk menguji argumen, mencoba memberikan sudut pAndang lain tentang materi yang diajarkan oleh guru, berbeda bukan? Yang satu bertanya karena tidak tahu dan ingin tahu, yang satu sudah paham dan mencoba memberikan ide baru dan mengujinya terhadap ide lama.

Sekarang pertanyaannya, berapa banyak dari siswa Anda ketika di dalam kelas, memberikan argumen dan ide berbeda dari yang Anda ajarkan di kelas? Mungkin hampir tidak ada, inilah gambaran siswa di Indonesia, sedari pendidikan dasar sudah gagal untuk bersikap kritis.

Kedua, dalam hal penilaian. Saat mengadakan tes usahakan guru memberikan soal-soal yang memainkan fungsi berpikir tingkat atas, memuat dimensi kognitif dari C1 sampai C6. Tidak hanya memberikan tes yang berisikan soal hafalan, usahakan soal tes bersifat menganalisis dan mengevaluasi. Inilah mengapa guru harus membiasakan diri menggunakan soal-soal HOTS dalam pembelajaran di kelas.

Saya tidak terlalu fokus mengupas bagaimana cara merakit soal HOTS, mungkin lain kesempatan saya akan coba susun dalam tulisan lainnya, namun tulisan ini berfungsi untuk membuka pikiran Anda sebagai guru, merancang pembelajaran HOTS sudah menjadi kewajiban saat ini, Anda tidak akan mungkin menghasilkan mutu pendidikan yang berkualitas dan berpikir kritis jika pembelajaran di kelas masih menggunakan metode zaman dahulu yang berorientasi pada hafalan semata. Ingat, murid yang hanya jago menghafal akan punah dan digantikan dengan robot yang jauh lebih cerdas, karena kompetisi menghafal sudah berakhir.

Sumber : Yudha Aditya Fiandra | Gurusiana.id | 6 November 2019

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post