MENGAPA GURUSIANA?
Gurusiana.id hampir sama seperti Kompasiana.com, bedanya di Gurusiana di fokuskan sebagai media bagi guru seluruh Indonesia, untuk menuliskan ide, berbagi cerita, memberi masukan seputar dunia pendidikan, Gurusiana seperti sudah seperti rumah besar yang menampung ratusan ribu (data terakhir ada 45.000 lebih akun) guru penulis se-Indonesia, jumlah yang luar biasa banyaknya. Saya sendiri bulan ini hanya berada diurutan ke-4 dari 6 penulis populer bulan ini, saya mengakui 3 orang peringkat diatas saya adalah penulis senior yang sangat produktif dalam menulis, dalam sehari artikelnya bisa sampai 7 artikel, teknik menulis mereka pun mampu meramu kata-kata yang mengaduk-aduk emosi pembaca, serta buku karya mereka pun tidak usah ditanya jumlahnya (saya hanya menang umur saja dari mereka).
Saya membiasakan menulis minimal 1 artikel sehari, meskipun hanya 1 artikel, ini adalah bentuk konsistensi dalam menulis. Ini adalah tabungan saya, jika kebanyakan orang menabung dengan saham, uang dan properti, agaknya saya lebih menyukai menabung tulisan, tidak usah terlalu muluk-muluk, alasan utamanya hanya karena saya agak pelupa (nama orang pun sering tertukar). Menulis adalah salah satu cara untuk mengikat ilmu, serpihan artikel yang pernah saya tulis, membantu saya mengingat kembali bahwa saya pernah concern terhadap suatu isu tertentu. Bonusnya adalah ketika serpihan artikel ini membantu saya untuk menyusun buku dengan mengategorikannya menjadi beberapa tema judul yang sama, seperti yang saya lakukan saat ini ketika menyusun buku pertama saya.
Saya sebenarnya terinspirasi dari gaya menulis buku Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI), beliau dalam beberapa bukunya memanggil kembali tulisannya di Kompasiana untuk ia masukan ke dalam bukunya yang selaras dengan tema tersebut. Ini menabung yang saya maksud. Lalu kemudian timbul pertanyaan, mengapa tidak menulis di Facebook saja? Begini, izinkan saya sedikit menjelaskan, boleh dikoreksi kalau sekiranya opini saya salah.
Pertama, sasaran pembaca.
Facebook adalah media sosial dengan pengguna terbesar di dunia, mengacu pada laporan tahunan yang dirilis oleh Hootsuite dan We Are Social April 2018, ada 2,2 miliar pengguna aktif setiap bulannya. Indonesia pun turut menyumbang angka fantastis tersebut, ada 140 juta pengguna aktif Facebook dari Indonesia dan hinggat saat ini terus mengalami pertumbuhan (tampaknya kasus cambridge analytica yang lalu tidak menyurutkan minat pengguna Facebook di dunia khususnya Indonesia).
Nah, dengan jumlah sebanyak ini, pengguna Facebook mencakup segala rentang usia, dari anak-anak sampai tua. Menulis di Facebook memang banyak keuntungan, ibaratkan sebuah pasar, segala macam orang ada disana. Tentu ini memudahkan kita untuk memasarkan barang, semua orang dengan segala macam latar belakang pendidikan, pekerjaan, suku budaya apapun pastinya menggunakan Facebook (mengacu pada data 2,2 miliar pengguna di dunia yang sempat saya paparkan tadi).
Selama 5 tahun terakhir saya tetap menggunakan Facebook, beberapa hari dalam seminggu hanya untuk berdiskusi dalam forum atau grup, membaca opini-opini menarik dari penulis yang amat saya sukai gaya menulisnya. Menuliskan informasi bio di Facebook enggan saya lakukan, saya merasa itu tidak diperlukan saat ini, saya hanya menampilkan informasi pribadi dasar, tidak perlu mencantumkan status tamatan apa dan bekerja dimana, saya hanya ingin karya saya lebih besar dari branding diri itu sendiri.
Kembali pada topik, sasaran pembaca adalah alasan saya tidak terlalu berkenan membagikan tulisan di Facebook, tulisan saya banyak berkaitan dengan dunia pendidikan dan teknologi, saya menginginkan kamar khusus dengan berisikan orang yang mempunyai concern yang sama untuk membahas opini serta mendiskusikan ide terhadap topik yang saya angkat. Ibaratkan pasar, saya memilih berjualan baju di deretan toko yang sama-sama berjualan baju untuk meningkatkan pemahaman saya tentang baju, bahan, cara menjual, cara merawat dan ilmu yang berkaitan dengannya. Entahlah, sebenarnya tidak ada yang salah ketika kita menulis dimanapun, Facebook pun begitu, terserah saja ingin menulis dimanapun, intinya tetaplah menulis. Namun saya hanya ingin fokus menyasar, menangkap ide-ide sesuai concern saya, tanpa ada disrupsi apapun.
Kesimpulannya, jika ingin fokus, menulislah dalam sebuah komunitas yang berisikan dengan orang pemikiran yang sama agar menjadi ajang penajaman fokus, tetapi jika ingin memperluas skala pembaca, Media sosial semacam Facebook adalah solusi. Keduanya sama-sama baik, tergantung isu masing-masing, mungkin ke depan saya juga akan semakin aktif menulis di Facebook, saya menginginkan pasar yang lebih luas untuk mempromosikan buku nantinya.
Kedua, rating pembaca.
“Emangnya fesbuk gak ada rating pembaca? kan ada jumlah like”. Saya pernah membaca kutipan satire anonymous “Stop taking Facebook seriously, most your likes are coming from people on the toilet”.
Jadi intinya banyak like di Facebook tidak menggambarkan kualitas sebuah postingan, sama halnya dengan kanal lain, Youtube misalnya. Coba Anda sekarang buka Youtube, cari trending nomor 1 untuk Youtube Indonesia, apakah menurut Anda itu adalah video yang layak menjadi terbaik 1? Faktanya video prank sosial lebih banyak view daripada channel Youtube edukasi dan ilmu pengetahuan seperti kok bisa, LIPI dan hujan tanda tanya, sekarang pertanyaannya, kok bisa? lain kali akan saya coba uraikan di tulisan berikutnya karena fokus utama saya saat ini tidak kesana, saya hanya ingin memberikan gambaran banyak like bukan berarti itu yang terbaik.
Lalu apa bedanya ketika kita menulis di Gurusiana? Gurusiana tidak menyediakan tombol like untuk pembaca, karena semua pembaca yang tidak mempunyai akun pun bebas untuk membaca, akumulasi pembaca akan ada dalam bentuk jumlah pembaca per-artikel dan per-penulis dalam akumulasi hari dan bulan. Ini hanya menunjukan sejauh mana kita menjangkau pembaca dihitung dalam bentuk jumlah view pembaca. Ya, karena seorang penulis seharusnya lebih fokus untuk menyebarkan tulisannya sejauh mungkin menggunakan media digital, daripada sibuk memikirkan berapa banyak yang like.
Ada yang bertanya, “Eh, bukankah penyebaran di Facebook lebih masif? Tadi katanya Facebook ibaratkan pasar yang semua orang ada disana”. Yup betul, pernyataan saya masih berlaku dan tidak ada yang tumpang tindih. Facebook memang menjangkau semuanya, orang gila dibuatkan akun Facebook pun bisa membaca tulisan Anda dan berkomentar, namun apakah kuantitas jangkauan berbanding lurus dengan kualitas jangkauan? Belum tentu. Menulis harus memiliki sasaran pembaca, tidak hanya asal tulis.
Misalkan begini, saya menulis tentang disrupsi dunia pendidikan di Facebook, bisa saja siswa SMP yang berteman dengan saya di Facebook (kebetulan saya adalah guru SMP) menyukai tulisan dengan menekan tombol like, apakah berarti mereka menyukai konten tulisan saya? Belum tentu, bias dapat terjadi. Bisa karena kebetulan yang menulis adalah gurunya, maka like yang hadir sebenarnya hanya sebagai bentuk respect saja.
Berbeda ketika menulis di Gurusiana, tulisan saya tentang pendidikan dilihat oleh guru-guru senior yang sudah puluhan tahun mengajar, tidak jarang dikomentari, saya harus hati-hati dalam memilih bahasa, berniat mengkritik pun tetap harus dalam bahasa yang santun (saya takut dikutuk jadi batu), banyak feedback yang didapat ketika menulis disana.
Lalu ada pertanyaan lagi, “Bagaimana dengan menulis di grup Facebook yang isinya adalah guru semua? Apakah efektif?”. Tergantung tujuannya, jika ingin mendapatkan feedback bisa saja, tapi kembali lagi, tidak ada sistem rating view disana, hanya disediakan tombol like, tidak mengukur sejauh mana tulisan kita menjangkau pembaca. Ingat, like tidak menggambarkan kualitas sebuah tulisan, bias dapat mempengaruhi jumlahnya.
Saya sadar, tulisan yang panjang cenderung membuat pembaca malas membaca sampai akhir, tulisan ini ketika saya ketik di Ms.Word sudah 3 halaman lebih. Berikutnya saya akan mencoba membuat perbandingan antara menulis di blog komunitas seperti Gurusiana dengan menulis di situs pribadi seperti Wordpress.
Bersambung,...
#(Untuk dipahami, konten ini bukanlah promosi berbayar, saya bukan “Duta Gurusiana”, catat)
@Masih Planet Bumi| 20 November 2019
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantab, Barokallah Mas Yudha tulisannya selalu menggelitik untuk membacanya sampai tuntas, beda generasi beda gaya dan pengetahuan, teruslah berkarya, buku-buku saya juga mengambil tabungan tulisan di Gurusiana
Siap komandan, saling mengisi dengan pengetahuan masing-masing, semoga ini menjadi amal ibadah yang mengalir selalu meski raga dikandung tanah.
Sepakat...satu bulan mengikuti komunitas menulis yang anggotanya dari berbagai profesi dan kalangan. Awalnya enjoy saja. Pernah mendapat like sampai 600 lebih. Tapi kemudian saya keluar dari komunitas itu. Apa alasan saya akhirnya keluar dari grup itu? Alasannya cuma satu. Bulying antar anggota pada kolom komentar sungguh membuat hati tidak nyaman. Beda dengan Gurusiana yang selalu ramah antar anggotanya. Begitu saja Pak.
Harusnya saya tambahkan satu point lagi mengenai bullying, masukan bagus Bunda, memang benar Gurusiana ramah terhadap tamu baru, sama-sama mengembangkan diri, saling menguatkan untuk tujuan bersama.
Jam terbang sangat menentukan kualitas tulisan seseorang..Makasih Mas Yudha ilmunya.Saya merasa tertantang untuk belajar lebih di gurusiana