Yudia Siska Anggraini

Aku adalah anak dari papa Sudirman dan mama Yuarnis. Kelahiran 1992. Aku biasa dipanggil Ika dari kecil oleh orang tuaku. Orang-orang yang sudah kenal dan dekat...

Selengkapnya
Navigasi Web
Nasib Si Tukang julid

Nasib Si Tukang julid

Perjalanan panjang yang ditempuh oleh Tita, tidak menyurutkan langkahnya untuk terus berusaha mencari cara agar bisa bertemu dengan orang tua kandungnya.

Sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi Tita untuk berjuang sendiri di tengah kejamnya dunia. Hujan panas, gelap terang, sehat sakit dirasakan sendiri tanpa ada yang peduli.

Entah dari mana asal muasal Tita, sehingga ia bisa menetap di sebuah gubuk dekat perumahan mewah dan elit di seberang kota itu. Bergandengan dengan rumah orang kaya, tidaklah menjadi penolong bagi Tita agar ia juga dapat merasakan sedikit saja indahnya kehidupan.

Hari demi hari dijalani Tita dengan ikhlas dan sabar. Selalu ceria dan suka menolong sesama. Suatu ketika di saat hujan sangat deras, salah satu perumahan elit di tempat itu kebanjiran. Pemilik rumah tersebut berteriak meminta tolong, namun tidak ada satu orang pun yang datang menolong.

Di kejauhan, Tita mendengar suara teriakan tersebut dan menuju sumber suara. Setelah ia menemukan rumah itu, ia pun meminta izin kepada pemilik rumah untuk membantu. Namun, yang terjadi di luar dugaan. Pemilik rumah tersebut malah mengusir Tita dengan sangat tidak sopan.

“Pergi sana! Tidak usah mendekat ke rumah saya! Kamu itu tidak selevel dengan kami. Sok-sok-an ngebantu lagi.” Sambil menatap Tita tajam dengan mata yang mulai memerah.

“Aku hanya ingin menolong buk, tidak ada maksud apa-apa. Walaupun aku orang miskin, aku tidak pernah mengharapkan imbalan apapun dari orang.” Ucap Tita lirih.

“Alaaah, orang miskin mah selalu banyak alasan untuk nyari muka sama orang seperti kami.” Berceloteh sambil memindahkan barang-barang mahalnya ke area yang lebih tinggi.

Tita pun memaksakan diri untuk tetap bisa menolong wanita paruhbaya itu, tanpa memerdulikan celotehannya.

“Hidup di dunia ini yang diperbanyak hanya amal buk, harta, tahta nggak akan bisa menolong kita nanti. Nasihat itu yang sering saya dengar dalam mimpi saya.”

“Mimpi kok dipercaya. Dasar orang susah. Berharap lebih, ternyata malah halu doang. Kasian banget sih. Terus, ngapain kamu masih di sini? Saya nggak butuh bantuan kamu.” Mulut wanita itu seperti tidak pernah capek berceloteh dan merendahkan sesama.

“Kita harus cepat memindahkan barang ini buk, hujannya semakin deras dan hari makin gelap. Lagian juga sedang mati lampu. Memangnya suami dan anak ibuk kemana? Apa mereka tidak tahu, kalau hujan deras seperti ini rumahnya akan kebanjiran.”

“Nggak usah banyak bacot deh. Mau tau aja kehidupan orang. Setelah semua barang saya terselamatkan, kamu harus segera pergi dari rumah saya!” Ucapan wanita itu semakin tidak bermoral.

“Iya buk, saya akan segera pergi setelah ini.” Tita pun tetap legowo mendengar semua celotehan wanita tersebut.

Sekitar satu jam kemudian, Tita dan wanita itu selesai memindahkan semua barang ke lantai dua rumah tersebut. Tita mengajak wanita itu keluar rumah, tapi ia malah menolak dengan alasan ingin menjaga barang-barang mahalnya. Tita pun tercengang mendengar alasan wanita itu.

Akhirnya, Tita memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan meninggalkan wanita itu sendiri. Tita melihat beberapa orang yang berlarian ke arah yang berbeda.

“Mari mengungsi! Mari mengungsi! Banjir akan berpotensi tsunami. Sebentar lagi air laut akan meluap.” Terdengar imbauan seseorang kepada seluruh warga yang ada di tempat itu.

Meskipun sudah ada imbauan tanda bahaya, wanita paruhbaya tersebut tetap nekad untuk tidak keluar dari rumahnya. Ia hanya sibuk melihat harta-hartanya yang telah diselamatkan tanpa memperdulikan dirinya.

Terdengar suara gelegar yang sangat dahsyat dan gulungan ombak telah menelan hampir semua rumah di daerah tersebut. Wanita itu pun tenggelam bersama harta-harta yang tidak akan bisa menolongnya.

Dia adalah Karti, wanita paruhbaya yang selalu julid dengan kehidupan orang. Selalu merasa benar, merasa hebat dan pintar berbicara. Pintar berbicara dalam hal bergaduh dengan orang lain. Ia merasa dirinya hebat, suka memaki orang, suka menyindir dan bahkan juga tidak tau bagaimana caranya bersopan santun.

Ia memiliki kelompok sosialita. Perkumpulan wanita kaya, yang pada akhirnya tidak ada satu orang pun teman yang menolongnya, sehingga ia harus meregang nyawa dalam bencana yang melanda. Tita si anak baik, merasa iba sekaligus bahagia, karena ia telah menolong orang yang selalu memusuhinya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

23 Jul
Balas

Mksih pak. Msih belajar. Salam literasi

23 Jul

Wah, seru ya ceritanya! Jadi bahan pelajaran!

23 Jul
Balas

MasyaAllah. Trima kasih pak. Alhamdulillah klu bisa diambil sdikit pembelajaran

23 Jul



search

New Post