Yudi Karsono

Menjadi guru sejak tahun 1991, 15 tahun kemudian, tepatnya tahun 2006 diangkat sbg Kepala Sekolah. sekarang bekerja sbg Pengawas Sekolah di Koorwilcam Di...

Selengkapnya
Navigasi Web
BUNTIL DAN NASIONALISME

BUNTIL DAN NASIONALISME

BUNTIL TALAS DAN NASIONALISME(Suatu pagi di Pasar Wiranaya)Ada beberapa orang sudah datang. Mereka siap menganteri. Obrolan dimulai untuk mengawali pagi. Bukan reuni, bukan rapat resmi. Tanpa surat undangan mereka datang ke tempat ini. Memang mereka datang tanpa diundang. Iseng aku menghitung peserta yang sudah berkumpul menunggu. Setelah menghitung aku nyengir saja. Ternyata aku datang terlambat. Antreanku nanti sudah nomor puluhan. Setelah beberapa saat menunggu, aku dan mereka senyum berseri-seri melihat penjual buntil talas datang pagi-pagi. Betul, mereka rela berdesak-desakan demi buntil talas bercita rasa tinggi.Apa itu buntil? Itu makanan rakyat Jawa yang terbuat dari daun-daunan (singkong, pepaya, talas dan lainnya) berisi parutan kelapa, teri, potongan-potongan jengkol, dan cabai. Cara masaknya direbus dalam santan kelapa. Dicampur aneka bumbu seperti lengkuas, sereai, daun salam, dan lain-lain. Rasanya khas untuk lidah orang Indonesia. Apakah makanan ini sudah memiliki hak paten atau belum? Di sini belum membahasnya. Buntil menjadi lauk kesukaan orang kita. Sebagai lauk sarapan, oke. Sebagai lauk makan siang juga oke. Jadi kapanpun oke. Rasanya yang pedas dan berkuah, membuat tidak semua orang menyukai makanan ini. Hanya orang-orang sehat saja yang menjadi penggemarnya. Maaf hanya untuk orang yang sehat saja, seperti anda.Mula-mula aku keberatan didesak isteriku untuk membeli buntil. Loh, laki-laki kok antre beli buntil. Sesuatu yang lucu. Memangnya di dunia ini sudah tidak ada perempuan, Dik? Kondisi terdesak itulah yang membuatku ikhlas mengantre pagi-pagi. Beruntung aku sudah mandi dan memakai sedikit wangi-wangian. Sekurang-kurangnya dapat mengurangi aroma kurang sedap angin area pasar Wiranaya. Maklum pasar tradisional baunya khas. Tentu saja beda jauh dengan mall apalagi super mall. Aku menghitung kembali nomor antreanku. Beruntung sekali, aku masih nomor 14. Nomor antre yang ke-13 itu seorang gadis usia duapuluhan yang sibuk. Sibuk menoleh ke kanan ke kiri, ke pojok, dan ke belakang. Tentu saja kalau melihat ke belakang, ia akan melihatku. Pandangannya aneh ketika melihatku.“Bapak darimana?” ia bertanya.“Dekat sini saja,” jawabku pendek.“Oh,” ia mengangguk-angguk tanda mengerti.Kemudian ia bercerita tentang dirinya, kakak-kakaknya, bapaknya, ibunya, pamannya, keponakannya, dan entah siapa lagi. Aku hanya merespon dengan kata hm, ...! Luar biasa. Semua anggota keluarganya tergolong orang-orang sukses. Ada yang jadi komandan, perwira, jenderal, teknokrat, dokter, direktur, psikolog, dan sederet profesi keren lainnya.“Apakah ada yang jadi guru, dik?”“What? No, no,” kata dia sambil mengangkat telapak tangannya.“O, ya sudah,” aku menanggapi.“Maaf, keluargaku gak ada yang jadi guru,” katanya merespon sikapku yang kecewa. “Tapi adik bungsuku yang pintar pengin jadi guru,” katanya melanjutkan.“Bagus itu,” aku menanggapi.“Bapak pasti guru, ya?” dia menebak pekerjaanku.Aku hanya mengangguk saja.“Mengapa keluargamu suka dengan makanan buntil, Dik?” aku bertanya lagi.Sebuah pertanyaan yang sungguh keliru. Adik itu menjawab panjang ditambah lebar. Tentang ayahnya yang bekerja sebagai teknokrat di Amerika, ibunya yang puluhan tahun di Belanda. Kakak-kakaknya yang sukses di Australia. Paman-pamannya yang lama di Kanada. Lalu, masih beberapa lagi yang diceritakan kepadaku. Semua yang ia sampaikan dapat aku simpulkan, adik ini berasal dari keluarga yang luar biasa. Keluarga yang sudah lama hidup di mancanegara. Garis kehidupan yang berwarna biru, menurutku. Katanya, di negeri-negeri itu, memang tidak ada buntil. Katanya lagi, sebagai orang yang cinta tanah air, buntil itu menjadi simbol sebuah nasionalisme. Masak iya, Dik? Buntil sebagai simbol nasionalisme? Sebagai keluarga nasionalis religius, semua anggota keluarganya tak bisa meninggalkan makanan khas buntil dari Purbalingga. Aku masih berpikir keras, apa hubungannya buntil dan nasionalisme? Tiba-tiba aku dikagetkan suara tertawa penjual buntil. Antrean sampai juga pada nomor 14. Rupanya adik tadi sudah langsung pulang dengan membawa banyak sekali buntil untuk keluarganya.“Aku beli sepuluh porsi, Mbak,”kataku kepada penjual buntil.“Aduh,Mas. Diborong semua sama Den Ayu tadi,”kata penjual buntil.“Kok, bisa, ya?” tanyaku sambil garuk-garuk kepala.“Loh, saya kira tadi Mas hanya mengawal Den Ayu beli buntil,” kata penjual buntil.Gadis centil itu dikiranya keponakan atau isteriku kali? Buset, dia hanyalah gadis centil yang lagi membeli buntil. Mataku masih menangkap langkah kecil adik centil yang bergegas pergi semerintil. Dia telah memborong semuanya. Sampai tidak ada yang tersisa. Yang tersisa hanyalah perempuan penjual buntil. Akupun hanya melongo 360 derajat. Pagi ini benar-benar beruntung, bertemu adik centil dan Si Hitam Manis penjual buntil. Kota Perwira, 2017

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Insya Allah buntil ada di buku saya senajutnya...pesona kuliner Wonosobo ..baru 30% proses

27 Oct
Balas

Ha.... Luar biasa pak, aku jadi tertawa sendiri membacanya

27 Oct
Balas

Makasih, makasih, makasih

27 Oct

Makasih, makasih, makasih

27 Oct

Asik banget! Ringan mengalir dan kena!

28 Oct
Balas

Trmksh, trmksh, trmksh

28 Oct

Subhanallah...asyiik banget diksinya luar biasa.

27 Oct
Balas

Thank u, thank u, thank u, salam sukses!

27 Oct

Thank u, thank u, thank u, salam sukses!

27 Oct

Wah ,,,bersyukur sekali x ga dapet buntil tapi dapet centil ,manis dan semrintill tetap menjadi orang yg beruntung

27 Oct
Balas

Hatur nwn, hatur nwn, hatur nwn

27 Oct

Bagus Pak..

30 Oct
Balas



search

New Post