yuhana fetri

menjadi guru adalah panggilan jiwa. Menyampaikan ilmu dan mendidik adalah kewajiban setiap individu maka jalan yang paling mulus adalah berprofesi sebagai guru....

Selengkapnya
Navigasi Web
KESETIAAN IBU (BAGIAN KE-11)

KESETIAAN IBU (BAGIAN KE-11)

KESETIAAN IBU

BAGIAN KE -11

Dina mempertajam penglihatannya, matanya pun mengawasi dengan ketat siapa saja yang mengikuti Pak Jorong. Pak jorong membaringkan bocah yang berada dalam pangkuannya di tempat tidur pasien. Mata Dina terbelalak, ia dengan jelas melihat wajah adiknya. Doni masih menangis menahan sakit, sebagian mukanya di tutupi darah yang sudah mulai mengering.

“Astagfirullah,” pekik Dina tertahan. Ia menggenggam jemari Bu Haji kuat-kuat. Perempuan yang sangat baik itu tekejut. Ia menatap Dina dengan tanya yang ia sampaikan lewat tatapan. Bu haji merasa ada lagi sesuatu yang terjadi dengan gadis belia di sampingnya.

Dina mengode Bu haji agar beliau tetap di samping ibu, sementara dia akan menyusul Pak Jorong dan adiknya yang tengah kesakitan. Dina menunjukkan dengan gerakan kepalanya bahwa sekitar sepuluh meter dari tempat ibu di awat, Doni juga sedang ditangani serius. Bu Haji memejamkan mata, berbagai ujian menimpa Nimas secara beruntun.

“Din, mau kemana, Nak?” tanya ibu ketika Dina terlihat akan menjauh dari dirinya. Ibu mencoba menahan tangan Dina dengan genggaman yang lemah. Mata ibunya yang memelas mencoba menghambat langkah kaki Dina yang telah ia jejakkan satu langkah . Dina memutar badannya kembali mendekat kepada ibu. Ia mencium ibu untuk memberikan kepastian jika ia tidak akan kemana-mana. Senyum kembali ia ukir agar ibu juga tertular untuk bisa menarik bibinya tanpa paksa.

“Bu, Dina ke sana sebentar, ya, Bu Haji yang jagain ibu, sebentar aja kok!” Dina bersikap biasa dan tampak tidak galau. Ibunya mengangguk, perempuan tu tengah berpikir bahwa Dina akan pegi ke toilet. Ibu mengalihkan pandangannya ke Bu haji.

“Bu Haji, maafkan, semenjak kita kenal berpuluh tahun silam, aku hanya ngerepotin, ku yakin nggak bisa membalas semua yang Bu Haji berikan. Hanya Allah yang mampu membalas dengan yang setimpal,” kata Nimas sedikit keras intonasinya agar Bu haji dapat mendengar jelas.

“Nimas, bagiku Kau sudah seperti adik sendiri. Jangan merasa terbebani dengan pertolongan yang kuberikan. Lagi pula sesama muslim kita bersaudara dan kewajiban saudara adalah meringankan beban saudara yang lain,” balas Bu Haji bijak. Senyum tulus Bu Haji meluruhkan segala kesungkanan yang merayap di dinding hati Nimas.

Dina seakan tak menjejakan kakinya di lantai. Secepat kilat ia telah berada di samping adiknya. Jika saja Doni tidak sedang ditangani nakes, maka ia akan memeluk erat adiknya dan menghiburnya dengan segala kata yang akan membuat adiknya bisa menghentikan erangannya. Dina hanya menatap Doni dengan perasaan pilu. Jarum suntik yang ditusukkan ke kulit adiknya, membuat mata Dina terpejam, ia tidak sanggup menyaksikan segala kesakitan yang diderita adik kesayangannya itu.

“Pak, kenapa Doni?” tanya Dina kepada Bapak Jorong, ketika Bu Dokter menyuruh mereka ke luar.

“Adikmu kecelakaan, tadi ia mencari ibumu ke kedai Tek Ideh. Ia nyebrang sendiri dan motor tiba-tiba datang menyerempetnya,” terang Pak jorong.

“Adikku sendiri, Pak?” Dina bertanya lagi dengan suara hampir tidak terdengar. Di Dalam benaknya seribu tanya mengintai. Kemana laki-laki yang selama ini ia panggil dengan sebutan “ayah” Gadis itu memandang koridor rumah sakit, di ujung jalan ia melihat sepasang suami isteri dan dua anaknya yang sepertinya baru siap dirawat. Betapa jelas kekhawatiran di wajah sang ayah. Tiap sebentar ia menciu anaknya dengan segenap kasih.

“Dina, itulah yang menjadi tanda tanya, kemana ayahmu, mengapa adikmu berlarian sendiri? Bapak tidak habis pikir dengan sikap ayahmu yang tidak mau tahu. Untunglah pergaulan ibumu baik, jadi orang merasa ringan untuk membantunya. Namun, Bapak harap, tidak usah dipermasalahkan, yang jelas adimu telah tertolong.” Kalimat yang disampaikan Pak Jorong membuat kemarahan Dina tersulut kembali kepada ayahnya yang benar-benar tidak layak disebut oang tua dan pemimpin. Jemarinya mengetuk-netuk kepala, pertanda gadis itu sedang menetralkan bisikan buruk yang tiba-tiba tecipta untuk ayah.

“Nak, bagaimana keadaan anak laki-laki tadi?” sebuah suara menghampiri mereka. Dina terpana sesaat. Perempuan yang berusia sekitar enam puluh tahun, tapi masih gaya dan cantik, tiba-tiba telah berada antara ia dan Pak Jorong.

“Alhamdulillah, sudah tenang sekarang. Lukanya sedang dijahit,” jawab pak Jorong. “oh, ya, Bu, ini kakak si bocah tadi,” Pak Jorong memperkenalkan Dina kepada Ibu yang baik itu.

“Dina, ibu ini yang membantu Bapak untuk membawa adikmu,” kata Pak Jorong. Dina mengangguk sopan, tangannya terulur ke hadapan wanita penolong ini. Saat jemari saling berkaitan, keduanya merasakan satu ikatan yang tiada dapat dikatakan. Hati yang bergetar, kedamaian yang menjalar dan kebahagiaan yang menyapa terasa sangat ganjil. Dina menunduk, apakah karena ia sangat berterima kasih kepada Dewi penolong ini sehingga perasaannya membuncah tanpa bisa dibendung? Bersambung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Dengan menulis, semakin paham bahwa ternyata hidup bukan untuk berleha-leha

07 Mar
Balas



search

New Post