yuhana fetri

menjadi guru adalah panggilan jiwa. Menyampaikan ilmu dan mendidik adalah kewajiban setiap individu maka jalan yang paling mulus adalah berprofesi sebagai guru....

Selengkapnya
Navigasi Web
KESETIAAN IBU (BAGIAN KE-12)

KESETIAAN IBU (BAGIAN KE-12)

KESETIAAN IBU

BAGIAN KE-12

Tangan Dina menghangat, genggaman perempuan yang telah menolong adiknya memberikan sensasi lain ke dalam hatinya. Jika ia boleh dan diberi izin untuk memilih, ia akan membiarkan jemarinya tetap tekait di genggaman perempuan itu. Sambil menikmati senyum yang tercipta di bibirnya, Dina akan meneroka hati dan jiwa perempuan itu dengan meninggalkan kesan baik dan sikap yang manis.

“Nak, Kau terlihat sangat cantik dan baik. Masih sekolah?” tanya perempuan enam puluh tahun itu kepada Dina. Matanya begitu lekat menelisik wajah gadis yang berada di depannya.

“Iya, Bu, masih sekolah, kelas dua belas, maksudnya kelas tiga SMA,”jawab Dina. Gadisitu tertawa kecil ketika menjelaskan jenjang sekolahnya. Bagi orang yang telah berusia di atas lima puluh tahun sering bingung dengan sebutan tingkat kelas. Pernah juga nenek-nenek marah dan menuduh Dina telah mempermainkannya ketika ia mengatakan kelas dua belas. Mungkin sangat asing di telinga tuanya.

“Nak, namamu siapa tadi?, Ibu mau cepat, karena ada urusan, kamu pegang sedikit uang untuk membayar berobat adikmu. Mudah-mudahan segera pulih dan jaga ia dengan baik. Masih untung ia hanya diserempet, coba kalau benar-benar tertabrak, mungkin tidak bisa diselamatkan,” ucap perempuan itu panjang lebar.

“Terima kasih, Bu, aku tidak tahu mesti mengucapkan apa,” jawab Dina yang tiba-tiba merasa terharu dengan perhatian yang tidak terduga dari orang yang tidak dikenalnya. Sesuatu tengah begejolak di hatinya lalu matanya tanpa di komando telah menghadirkan rinai. Dina mengusap netranya dengan punggung tangannya lalu menyalami perempuan itu dengan takzim.

“Nelly, kita sudah bisa berangkat bukan? Jangan kita sampai telat betul,” kata suaminya yang sudah berada di hadapan mereka bertiga. Sudah bekali-kali laki-laki itu mendapat telepon dari relasinya, agar segera sampai di lokasi,mereka akan menghadiri acara akad nikah putri tunggal relasinya itu.

“Sudah,Mas,” jawab Nelly pendek. Perempuan itu kembali menatap Dina dan mengulurkan tangannya. Mereka saling berjabat erat. Seulas senyum dihadiahkan Dina sebagai tanda perpisahan kepada kedua orang asing yang baik hati, yang telah ditunjuk Allah untuk membantunya ketika menghadapi musibah beruntun ini.

Pak Jorong menghaturkan ucapan teima kasih berulang kali , sebelum Nell dan suaminya belalu. Ia dan Dina mengikuti mobil itu dengan pandangan sampai badan mobil itu ditelan oleh tikungan dan pagar tinggi milik rumah sakit. Dina tersedak, ia baru teringat belum menyebutkan namanya kepada Ibu Nelli. Dina menyesalkan kecerobohannya.

Di samping Dina, Pak Jorong berdiri memandang jejak kabut yang disisakan oleh Fortuner tadi. Senyum masih tergaris di bibir sang pemimpin kampung itu. Ia sangat bersyukur waganya mendapat pertolongan dari arah yang tiada disangka. Ia tidak bisa membayangkan, kemana mencari uang dalam waktu yang sangat sempit ini.

Saungguh menyejukkan mempunyai pemimpin seperti Pak Jorong yang ikut merasakan beban warganya. Ia bukan hanya simpati melainkan empati luar biasa. Terjun langsung memberikan bantuan, bukan hanya memerintah warga yang lain.

#YF

Matahari sudah mulai condong ke barat, tapi panasnya belum terasa berkurang dibandingkan sejam yang lalu. Pengunjung rumah sakit masih berdesakkan di poli tempat tujuan pengobatan mereka masing-masing. Mereka telah antre dari pukul tujuh pagi, sedang pemeriksaan oleh dokter spesialis baru setelah zuhur. Wajah capek sangat tergambar di wajah pucat mereka. Namun demi harapan untuk bisa sehat, rintangan apa pun akan mereka lewati. Suara panggilan darii petugas sangat menyolok dibandingakan suara yang berada di ruangan itu. Suara itulah yang mengatur seluruh mekanisme pengobatan di rumah sakit ini.

Bu Haji telah mengurus pembayaran biaya pengobatan Nimas dan Doni. Beruntung ada orang yang membantu, tadi Dina menyerahkan sejumlah uang di dalam amplop kepada Bu Haji. Bu Geni yang katanya menjamin biaya rumah sakit, sampai sekarang belum tampak batang hidungnya. Sementara Bu Haji tidak membawa uang untuk persiapan. Bu Haji tadi sempat deg-degan mengingat di dalam tasnya hanya tesisa uang sekitar dua ratus ibu. Mana cukup untuk biaya pengobatan yang melangit. Nimas katanya juga tidak memiliki kartu jaminan kesehatan itu. Akhirnya Bu Haji bernapas lega, bantuan datang di saat yang tepat.

Nimas terenyuh memandang bekas jahitan di dahi anaknya. Ia merasa sangat bersalah kepada putranya itu. Berkali-kali ia peluk dengan erat anaknya di dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Walaupun ia masih lemas, ia bersikeras untuk memeluk anaknya. Begitu cara yang bisa ia lakukan agar kesedihan buah hatinya menyurut. Di samping itu , Doni juga merengek agar di peluk ibunya.

“Nimas, di rumahmu tidak ada bahan untuk dimasak nantikan? Biar aku berbelanja dulu di warung samping Gadut Mart itu,” kata Bu haji. Perempuan berhati lembut itu sekaligus memberi kode kepada Fidel agar berhenti sekitar lima puluh meter lagi. Fidel sangat paham maksud Bu haji, ia memperlambat laju mobil dan akhirnya berhenti sama sekali.

“Dina, yuk temanin Bu Haji, sekalian Dina bisa membantu membawa barang belanjaan,” ajak Bu haji kepada Dina. Gadis itu menurut, ia turun mengikuti langkah Bu haji. Dina tampak sedikit kesusahan sebab Bu haji jalannya kencang. Ia sudah terbiasa berjalan dengan langkah seribu.

Sesaat setelah Bu haji dan Dina turun, Pak jorong yang duduk di sebelah Fidel, menepuk jidatnya, ia hampir lupa dengan pesanan putrinya yang duduk di kelas lima SD untuk dibelikan buku berpetak. Katanya untuk buku latihan matematika.

“Bang, aku turun sebentar,ya, ada yang mau kubeli, ada titipan nggak?” kata Pak Jorong sambil membuka pintu mobil. Fidel menggeleng sambil tersenyum.

“Silakan Pak Jorong, aku tidak mau nitip apa-apa,” balas Fidel. Pak Jorong berlalu, ia setengah berlari menuju toko buku. Beberapa detik kemudian tubuh jangkungnya tidak tampak lagi , ia telah berada di tengah pembeli yang mempunyai hajat yang sama, membeli alat tulis di toko Berkah.

Fidel batuk kecil, ia serasa mendapat durian runtuh, bisa sedekat itu dengan Nimas, hampir dua puluh tahun ia menunggu kesempatan ini. Sementara Nimas wajahnya memanas, hatinya terusik, ia sama sekali tak menghendaki situasi saat ini. Jika saja Doni tidak tertidur, mau rasanya ia membawa putranya turun menjauh dari Fidel. Harapan Nimas saat ini hanya satu, agar Bu haji atau Pak jorong segera datang (Bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

08 Mar
Balas

Terima kasih, ya Pak!

08 Mar



search

New Post