yuhana fetri

menjadi guru adalah panggilan jiwa. Menyampaikan ilmu dan mendidik adalah kewajiban setiap individu maka jalan yang paling mulus adalah berprofesi sebagai guru....

Selengkapnya
Navigasi Web
KESETIAAN IBU (BAGIAN KE-5)

KESETIAAN IBU (BAGIAN KE-5)

“Allahuakbar Allahuakbar!” suara azan terdengar dari corong masjid.  Nimas teperanjat, peluh mengucur dari tubuhnya, tenyata ia bermimpi. Nimas besujud syukur, Allah menghiburnya lewat mimpi yang tidak biasa. Kata orang mimpi adalah bunga tidur, tapi kali ini Nimas tidak percaya, mimpinya seperti  nyata. Mata dan hatinya sangat kuat merekam kejadian yang baru dialaminya. Nimas berulang kali mengucapkan hamdalah dan membaca doa bangun tidur. Hatinya seperti disirami salju, dingin dan menentramkan.

#YF

Nimas melirik jam di dinding, masih belum pukul enam pagi. Ia begegas merebus air dan memastikan kopi serta gula cukup untuk suaminya pagi ini. Mulutnya menyenandungkan shalawat. Kerinduannya kepada penyuluh alam ini semakin hebat menggetarkan. Nimas sesaat menapaktilasi kehidupan manusia mulia itu. Sepanjang hidup beliau adalah perjuangan agar umatnya merasakan kedamaian Islam ini.

“Assalamualaikum!” suara  salam di balik pintu masuk.

 

“Waalaikum Salam!” balas Nimas setengah berlari. Ia mengambil kunci di atas nakas yang terletak di sebelah tempat tidur. Sesaat matanya memandang suaminya yang tidur gelisah.

“Maaf Bang, semalam ku tiada menemanimu, tak sengaja aku tertidur di atas sajadah,” Nimas bebisik hampir tiada terdengar. Ia kemudian melangkah ke  pintu masuk.

“Aduuuh, kok lama kali Kau buka pintunya Nimas!” seru Bu Geni yang sudah berdandan cantik. Nimas menarik napas, ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.

“Masuk Bu Geni!” ajak Nimas lemah.

“Kok tidak semangat Kau pagi ini, habis bertengkar pula dengan suamimu?” tanya Bu Geni sambil menatap tepat di manik mata Nimas.

“Nggak kok Bu, biasa aja,” jawab Nimas. Perempuan yang pekerjaannya menjahit itu memaksakan senyum. Ia sudah pasrah apa pun yang akan terjadi, akan ia hadapi.

“Nimaaaaasss! Apa-apaan ini?” jerit Bu Geni ketika matanya beradu pandang dengan bajunya yang telah bolong.

“Maaf, Bu, tanpa sengaja, setrika jatuh ke baju Ibu,” Nimas menundukkan wajahnya.

“Kurang aj*r, tau begini, aku tidak akan menjahit sama kamu! Kau tahu, aku bisa saja ke kota yang jahitannya lebih bagus,tapi kuingat, berkurang pula pendapatanmu, dengan apa pula Kau membeli beras? Perempuan tidak tahu diuntung!” cecar  Bu Geni hampir tak berjeda.

“Bu, saya akan bertanggung jawab, jika saya punya uang, saya akan ganti,” balas Nimas.

“Aku butuh sekarang, bukan kalau Kau punya uang!” Bu Geni semakin meradang. Matanya liar memandang seisi rumah, jika ada yang bisa dirupiahkan segera. Nihil, ia tiada menemukan apa pun.

“Nimas, mesin jahitmu akan kujual!” suara Bu Geni bagai halilintar di tengah keheningan malam. Nimas terperangah, ia reflek memegang mesin jahitnya, matanya berair, lalu ia menghiba kepada wanita yang tiada sedikitpun punya rasa.

“Jangan, Bu, aku mohon. Mesin ini adalah sumber penghidupanku,” Nimas memegang tangan Bu Geni dan berkali-kali menciumnya. Bu Geni mengibaskan dengan kasar. Nimas tersurut ke belakang. Ia memandang ke atas loteng, bibirnya berucap lemah.

“Ya, Allah, Kau pasti melihat apa yang sedang kualami. Hanya Engkaulah yang akan membantuku, kupasrahkan kepada-Mu apa pun yang akan terjadi,” liih suara Nimas.

“Assalamualaikum, Nimas!” tedengar suara seseorang dari luar. Bu Geni melongokkan wajahnya ke jendela, memastikan siapa yang datang.

“Ehh, Bu Haji, masuk Bu,” ujar Bu Geni dengan nada yang berbalik seratus delapan puluh deajad, dibanding satu menit yang lalu.

“Bu Geni, waahhh, mau kondangan kaya’nya,” jawab Bu Haji ramah.

“Iya, Bu,  Nimas ceroboh, bajuku rusak. Tetapi nggak apa-apa, baju yang lain juga ada yang belum dipakai. Tadi aku bilang sama Nimas, jangan cemas, eh ia malah nangis nyesalin kekhilapannya,” Bu Geni bekata santai, sementara Nimas terbelalak.

“Nimas, sudah, aku maafkan kesalahanmu ini, lain kali tolong hati-hati ya!” kata Bu Geni bagaikan peri baik hati dari negeri dongeng di dunia antah barantah.

“Bu, yang benar, aku tidak perlu ganti?” ucap Nimas tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Waduuuh, Bu Haji saksinya!” Bu Geni memandang Bu Haji yang  berdiri sekira dua penggaris anak sekolah di hadapannya.

“Nimas, jika Kau perlu kepastian, tulis di bukumu bahwa Bu Geni telah merelakan. Aku saksinya,” sela Bu Haji.

 Nimas mengambil buku catatan model baju pelanggannya, ia cari halaman yang posisi paling tengah. Ia mengangsurkan ke Bu Geni. Perempuan itu menuliskan beberapa pernyataan yang intinya ia tidak akan meminta ganti rugi. (Mengapa Bu Geni berubah pikiran? Apa hubungannya dengan Bu Haji? Besambung....)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Betul..betul...keren..Pet

02 Mar
Balas

DI DUNIA INI, KADANG KEBAIKAN PUNYA MOTIF LAIN

01 Mar
Balas



search

New Post