yuhana fetri

menjadi guru adalah panggilan jiwa. Menyampaikan ilmu dan mendidik adalah kewajiban setiap individu maka jalan yang paling mulus adalah berprofesi sebagai guru....

Selengkapnya
Navigasi Web
KESETIAAN IBU (Bagian ke-7)

KESETIAAN IBU (Bagian ke-7)

KESETIAAN IBU

Bagian ke-7

“Bang, aku bikinkan kopi dulu, masaknya nanti ya, baju yang aku jahit ini jam delapan janjinya,” kata Nimas.

“Oohhh, Kau lebih mementingkan orang lain dibandingkan suamimu?” hardik Alwi. Ia berdiri, tangannya mengepal, dinding yang berada di samping Nimas menjadi sasaran. Alwi memukulnya sangat keras.

“Ayah jahat!” kata Doni, anak mereka tiba-tiba telah berdiri di anatara Nimas dan Alwi. Nimas tersadar, ia harus menyelamatkan mental anaknya.

“Doni, anak ibu udah bangun? Wah, baca doa bangun tidur, nggak?” tanya Nimas, sambil berusaha tersenyum. Doni menggeleng, ketakutan masih tampak di wajahnya.

“Bu, Doni tadi bangun karena kaget, nggak sempat baca doa,” kata Doni polos.

“Baca sekarang ya, lalu berwudu. Salat apa sekarang, ayo?” ujar Nimas. Senyum masih menghias di bibirnya yang telihat amat janggal. Doni memeluk Nimas, seakan ia ingin meyakinkan dirinya bahwa ibunya tidak apa-apa.

Alwi melangkah ke kamar mandi, ia berjalan sambil mendengkus. Pikirannya masih kalut, kemarahan kepada isterinya karena membiarkan anak gadisnya bertandang pun masih nyata dalam benak laki-laki pengangguran itu.

Nimas menghentikan pekerjaannya, ia menyediakan kopi untuk Alwi. Beruntung gula dan kopi masih cukup. Tangannya cekatan mencampurkan dua bahan penting itu untuk minuman suaminya, gula dan kopi. Setelah dituangkan air, Nimas memanaskan sampai mendidih. Aromanya menguar kemana-mana.

Di beranda, Nimas menyuguhkan minuman dan sepiirng kue kering. Suaminya tanpa senyum mulai mencicipinya. Doni entah mengapa, tidur kembali. Berkali-kali diingatkan jika tidur setelah waktu Subuh tidak baik, tapi bocah tiga tahun itu mana paham.

Nimas melangkahkan kakinya ke halaman, ia akan ke kedai Tek Ideh. Otaknya masih beputar-putar juga, masih belum tahu, apa yang akan dimasaknya. Ikan kering, suaminya alergi, telur udah bosan. Ia memejamkan mata, seolah dengan begitu memperlancar jalan dipikirannya untuk segera menemukan ide membuat sambal untuk suaminya.

Nimas melangkah masuk ke kedai. Beberapa orang laki-laki masih tampak semangat bercerita. Mereka sampai tergelak. Mata Nimas menangkap bayangan orang asing di kedai ini. Ia duduk membelakang ke pintu. Seorang laki-laki bergaya perlente. Baju kemeja yang masih kelihatan jejak setrikanya, sangat berbeda dengan lawan bicaranya.

Nimas berdebar, entah mengapa indra penglihatan dan pendengarnya tiba-tiba saja menghantarkan ketidaknyamanan ke dalam hati. Nimas beristighfar beberapa kali, ia menghela napas dan menghembuskan perlahan.

“Nimas, kau terlihat pucat, Kau sakit?” tanya Tek Ideh sambil menelisik wajah perempuan yang ada di hadapannyaitu.

“Ah, nggak, Tek, kelelahan aja,” balas Nimas memaksakan senyum. Suaranya nyaris tak terdengar.

“Kau selalu saja begitu, menyembunyikan perasaan dan rasa sakit yang kau derita. Sampai kapan Kau seperti itu Nimas, besuami tapi tak bisa diharapkan. Kalau aku yang menjadi Kau, sudah dari dulu aku gugat.” Tek Ideh berkata gemas.

“Tek Ideh, ini aku beli tahu dan tempe, tomat dua biji dan garam satu bungkus, berapa uangnya?” kata Nimas seolah tidak mendengar apa yang baru diucapkan pemilik kedai itu.

“Sepuluh ribu,” jawab Tek Ideh sedikit kesal karena Nimas tidak memedulikan pekataan yang ia lontarkan.

“Kau pikir-pikir apa yang kuucapkan tadi, berpihaklah kau pada dirimu sendiri. Bertahun-tahun ku memperhatikan hidupmu, tambah susah dan melarat. Aku ini karena berteman dengan Ibumu dulu, kalau tidak, mana berani menegurmu.” Tek Ideh jadi emosi.

“Terima kasih Tek,” jawab Nimas akhirnya. Perempuan itu bergegas meninggalkan kedai Tek Ideh. Perasaannya yang bercampur aduk bertambah kusut dengan kalimat yang dilontarkan pemilik kedai yang sedikit cerewet.

Nimas bergegas lewat pintu samping. Ia sengaja menghindari pintu depan karena ia tidak ingin lagi mendengar suara bariton yang pernah sangat dekatnya, bertahun-tahun yang lalu. Ia sangat yakin, laki-laki asing itu adalah Fidel.

Beberapa langkah Nimas meninggalkan kedai itu, laki-laki asing tesebut memandang jalan lewat jendela. Ia menangkap bayangan perempuan beberapa meter meninggalkan kedai tempat ia duduk bersama teman lamanya. Ia terpana, laki-laki yang bernama Fidel itu reflek berdiri.

“Nimas,” bisiknya lirih. Entah mengapa matanya menerawang memaknai gambaran penghidupan yang dijalani Nimas melihat penampilannya.

“Fidel, ada apa, kok Kau seperti orang kesambet?” tanya kawan lamanya yang menggunakan baju berwarna hitam pekat.

“Mon, perempuan itu, Nimaskan?” tanya Fidel sedikit gugup. Ia menunjuk dengan jarinya. Momon, temannya juga melongokkan kepalanya ke arah telunjuk Fidel.

“Benar, kenapa?”tanya Momon sedikit heran. Maklum, setelah beranjak remaja, Momon merantau ke Jambi. Ia tidak mengikuti pekembangan teman SMP-nya itu.

“Mon, Nimas jauh sekali bedanya. Aku tidak menyangka perubahan fisiknya yang begitu cepat memudar. Kau tahu nggak, bagaimana kehidupannya sekarang?” ucap Fidel serius.

“Fidel, apa yang kau lihat?” tanya Tek Ideh saat tangannya meletakkan goreng pisang ke dalam napan yang terletak di meja, dekat Fidel dan kawan-kawannya duduk.

“Tek Ideh, bagaimana kabar Nimas sekarang?”tanya Fidel gugup.

“Waduh, jelek betul nasib perempuan itu. Suaminya bermalas-malas, ia yang pontang-panting menghidupkan keluarganya. Kalau aku, amit-amit, biar nggak punya laki dibanding dapat yang kayak begitu.” Tek Ideh bekomentar dengan segenap hatinya.

“Fidel, perasaan, dulu Nimas itu hampir menikah denganmu,kan?” tanya Tek Ideh tiba-tiba. Fidel gelagapan, ia hanya menjawab dengan senyum. Hatinya serasa tercabik-cabik.

“Kau nggak lihat, sebentar ini Nimas dari sini,” info Tek Ideh.

“Benar Tek? aku nggak nyangka, kalau perempuan barusan adalah Nimas,” sesal Fidel. Laki-laki itu meremas jemarinya lalu reflek mengusap rambutnya yang tersisir rapi.

“Siapa suamiya Tek? Bukan orang kampung kita?” tanya Fidel sambil duduk kembali di bangku panjang.

“Namanya Alwi, orang kampung sebelah. Aku juga tidak terlalu kenal, sebab sejak kejadian air bah yang melanda kampung kita, aku pun merantau. Baru balik lima tahun yang lalu,” jelas Tek Ideh.

“Fidel, mengapa Kau pulang? Hanya karena rindu saja atau Kau punya tujuan lain? Isterimu pulang jugakah?” cecar perempuan yang berbadan sedikit kurus itu.

“Hanya karena rindu kampung kita ini, Tek,” jawab Fidel seraya tertawa kecil. Jauh di lubuk hatinya, ia menyimpan kerinduan yang khusus, merindukan perempuan yang bernama Nimas. (Besambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Entahlah Pet...bunga plastik mungkin...yang jelas cerita keren bingits

04 Mar
Balas

kadang kita hanya memimpikan rumah tangga mengaharum seperti bunga sepanjang masa. Namun adakah bunga yang tiada akan layu?

03 Mar
Balas



search

New Post