Yulia Nuryani Candra, S.Pd

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Meniti Asa di Langit Merah Saga

Aku membawakan segelas air putih untuk anak ku, dan entah sudah yang keberapa kali. Aku sudah lupa... Hanya ini yang bisa aku lakukan, mereda rintihan anak ku atas rasa laparnya.

Kulirik jam dinding tua di pojok rumahku. Jarum pendeknya menunjukkan di angka 2. Yah...jam 2 dini hari, begitu lama rasanya pagi menjelang.

"Buk, laparrr...uhuk uhuk." keluh anakku

"Sabar sayang, tunggu pagi ya...ibu pasti akan membawakan nasi yang lezat untukmu."

Aku menghela nafas, perih...sedih. Mengapa begitu sulit hidup di negara yang kaya ini. Sudah beberapa hari kabut asap ini menghalangiku untuk bekerja. Uang dan beras sudah lagi tak kupunya. Juragan2 ladang meliburkan pegawainya karena asap ini.

Anak samata wayangkupun sudah berhari-hari batuk2, kata mantri dekat rumah terkena ISPA. Itupun akibat kabut asap ini. Harga tabung oksigen sekarang melonjak, 125 ribu...bukan angka yang bersahabat menurutku. Dan aku tidak mampu membelikan untuk anakku....

Lagi-lagi aku mengeluh,merintih sendiri....kenapa untuk bernafas saja sulit di negara yang kata orang-orang ini kaya, negara yang gemah ripah loh jinawi.

Wajahku pias, aku segera beranjak dari kursi rotan reot ini. Sesaat setelah mendaratkan ciuman di wajah anakku yang mulai pucat. Aku ingin menenangkan diri, menahan air mata itu berat, penderitaan dan sakit memendam perih yang terlalu dalam.

malam semakin larut dan hanya suara jangkrik yang menemaniku,, begitu lama waktu kurasa, aku sudah tak sabar menunggu pagi menjelang....

***********************************************

Pagi tlah tiba. Aku mendekap anakku yang tak henti batuk-batuk. Cuping hidungnya kembang kempis pertanda bahwa anakku itu sesak nafas.

Frekuensi nafasnya 40 kali/menit, kuku tangan dan kakinya membiru, begitu juga dengan bibirnya.

Aku mengintip dibali tirai jendela, langit terlihat berwarna merah saga padahal jam masih menunjukkan pukul 09.00 WIB. Antara bimbang dan ragu apa yang harus aku lakukan.

Aku harus segera keluar rumah untuk bekerja sesaat, kalau tidak anakku akan kelaparan. Tetapi aku juga tidak bisa meninggalkan anakku yang sedang sakit itu sendirian di rumah...

"Dek, ibu tinggal sebentar ke rumah pak haji ya? Siapa tahu dia butuh tenaga ibu."

"Ya bu, tapi jangan lama-lama. Aku takut. uhuk uhuk."

"Ibu janji tak akan lama. Yang kuat yaa sholehahnya ibu."

Akupun segera menerobos kabut asap dan segera ke rumahnya bu hajja. Sesampai di rumah bu hajja, aku utarakan maksudku. Ada pandangan sinis dari bu hajja. Krincingg...terdengar suara ronce gelang emas bu hajja ketika menyibak jilbab khimarnya yang menjuntai itu.

"Ada apa kau kesini, mau utang lagi?"

"Saya tidak hutang bu hajja. Saya mau bekerja. Saya bisa mencuci, menyeterika, memasak atau mengepel."

"Aku tidak butuh pekerja." kata bu haji

"Saya mohon buu, tolong saya. Anak saya sakit di rumah. Saya butuh uang untuk berobat. Sudah 2 hari saya dan anak saya tidak makan."

"Ya sudah, kamu boleh bekerja hari ini. Tapi kalau belum selesai jangan sampai pulang."

Matahari semakin terik, bayangan anakku semakin jelas dipelupuk mata. Aku harus ijin pulang untuk segera menemui anakku.

"Bu Haji, saya ijin pulang dulu. Anakku sakit, dia belum makan lagi."

"Enak saja, mana ada kerja setengah hari. jam 3 kamu boleh pulang."

Netraku terpejam sesaat, ada perih mengiris dada. Bagaimana anakku?? Dia sakit...dia belum makan lagi.

Tepat pukul 3 aku pamitan lagi, kali ini aku diperbolehkan pulang. Bu hajja memberikan upah untuk hari ini. Lumayan bisa buat beli beras 2 kg gumamku.

"Bik, itu ada sisa nasi kamu bawa pulang. ada kare juga, kamu bawa tapi jangan ikannya. Kamu bawa kuahnya saja." teriak bu haja dari dalam kamarnya.

"Ya bu hajja, terimakasih."

Dengan Bismillah aku berlari menerobos kabut asap, dibawah langit yang berwarna merah saga. Jarak pandang hanya sekitar 10 meter saja. Aku berlari sekencang mungkin sambil menenteng nasi bungkus barkuah kare. Anakku pasti suka, gumamku lirih

Sejengkal lagi aku sampai di rumah. Aku terhenti sejenak, langkahku berat terkunci. Batinku bergolak, banyak pertanyaan bersemayam di kepalaku. Kenapa banyak orang di depan rumahku. kenapa kursi dan meja mereka keluarkan. Dann.....kenapa bendera berpalang hitam ini berkibar di teras rumahku.

Tuhannn...Adekkkkk, anakkuuuuu

Tubuhku lunglai, netraku terpejam dan bungkusan nasi ini terjatuh dari genggamanku. Tubuhku tersungkur, menapak di tanah, dibawah langit berwarna merah saga. Gelapp....dunia serasa berputar dan aku tak tahu lagi....brukkkkk, akupun tak ingat apa-apa lagi

***********************************

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post