“Nat, kalau sekiranya kamu berjodoh dengan Amril, kamu pasti akan direpotkan dengan kegiatan merawat bunga seperti ini !”, Manda dengan serunya, bahkan mungkin setengah mengejek Anata. Mereka bertiga mengetahui dengan baik, karakter masing-masing. Manda memahami benar kalau Anata tidak setelaten perempuan lain yang mengurusu bunga di taman maupun di derean pot teras rumah, karena dalam agenda keseharian Anata, selain menjahit pakaian dengan mandiri, Anata juga terbilang kutu-buku.

Bunyi pintu pagar sederhana itu mulai terdengar, langkah kecil mereka bertiga akan segera mengantarkan mereka di depan pintu rumah Amril. Genggaman sepucuk amplop berukuran standard berwarna putih dan bercorak biru muda itu, akan dititpkan kepada Salmi, adik perempuan Amril yang akan ke kota untuk melanjutkan pendidikannya. Beberapa hari yang lalu, Salmi sempat menyampaikan kalau dia akan pergi ke kota untuk melanjutkan belajarnya, dan akan bertemu kakaknya,Amril di sana, sebelum masuk ke pondok menuntut ilmu. Dan, Anata mengiyakan kalau nanti sebelum berangkat, Salmi akan ditiipi surat dari Anata untuk Amril.

“Nat, apa yang akan terjadi, kalau saja Salmi sudah bepergian duluan, dan pastinya tanpa surat mu ini “, Uba menimpali Anata dengan pertanyaan yang tak pernah terlintas dalam benaknya. Kali ini, langkah kaki Anata terhenti sejenak. .

“Iya, juga ya !”, sambung Anata. “ Ya, itu bukan rejeki saya untuk surat ini dibawa sapai ke tangan Amril”. Jawab Anata lirih.

(Bersambung )