Nat, sebenarnya Apa sih isi surat itu. Toh, dirimu dan Amril kan sudah mendapat restu dari orang tua, meskipun itu belum di’gaungkan’ sekampung ini.” Sambung Uba lagi.

“Sudah dibilang jangan bertanya yang gitu-gitu, Uba…!”, Manda mulai ketus menimpali pertanyaan Uba tadi. “Nat, ayo ketuk sekali lagi dan salam, kalau tak terdengar jawaban, maka kita kembali lagi ke rumahmu!” sambung Manda lagi.

Anata melangkah dua ke hadapan pintu coklat berukir bunga anggrek itu. Mengetuk dan mengucap salam.

Tiba-tiba, terdengar samar dari dalam rumah, jawaban salam menggaung, dan hentakkan mata kunci yang diputar mulai berbunyi mengisyarakatan ada seseorang yang telah membalas salam dan membuka pintu

“Nat, sepertinya Ayahnya Amril yang menjawab salam. SIap-siap ketemu camer nih ,Nat !” gurau Uba lagi.

“Aruba……, jangan berisik dulu!,” suara Manda lagi, mengingatkan Aruba.

Anata terlihat santai dan pintu pun terbuka.

“Wa alaikum salam !”, jawaban suara seorang lelaki untuk salam dari Anata itu, dengan senyum ciri khas, membuat Anata dan kedua teman karib nya itu terdiam dan terkesan canggung.

Anata merasa terkejut bukan main. Hatinya kini dihantui dengan kalimat apa lagi yang akan dikeluarkan, dan bagaimana kalau situasi berbeda, tak dia persiapkan dirinya dalam momen seperti ini. (Bersambung )