Yuliawati

Terlahir di kota Pala Fakfak (di jazirah Onin,Negeri Mbaham),di salah satu kabupaten tertua di Provinsi Papua Barat. Melewati masa kanak-kanak hingga lulus esem...

Selengkapnya
Navigasi Web
April, Ku Tak Mengira (7)
poster desain pribadi

April, Ku Tak Mengira (7)

“Wah, kedatangan tamu agung. Ayo masuk.”

Kata tamu agung inilah yang membuat Anata salah tingkah, dia tidak menyangka,lelaki yang akan di’usilin’ lewat surat, telah berada di hadapannya, dan sangat membuat jantung berdegup, sederetan kata hilang, dan yang terlihat hanyalah senyum tersipu.

“Nat, ayo masuk, Manda, Uba, ayo…kenapa hanya berdiri di situ saja !” ajak lelaki itu lagi.

Anata hanya tersenyum, dan menyadari kalau kedua temannya sedang memperhatikan tingkahnya yang serba gugup.

“Nat, dirimu tidak sekicau burung, seperti tadi”, bisik Uba, yang juga masih setengah mengejek. Anata hanya tersenyum dan paham benar bagaiman karakter teman yang akrab di sapa Uba ini. Bagaimana kacang goreng yang meletus diwajan saat goreng.

Anata tak bergeming sedikitpun. Dia dihantui dengan bayangan akan ungkapan ‘senjata makan tuan’, dengan surat yang akan dititipinya pada Salmi.

Mengapa harus menulis yang menantang Amril karena sekarang lelaki pujaan hatinya itu tepat berada di depannya. Dalam hatinya masih bersyukur karena kegugupannya masih bisa disembunyikan dengan anekdot kecil yang biasanya dilakoni oleh Uba, meskipun Manda seringkali menghadang celoteh spontan Uba.

“Khabar kamu, bagaimana, Nat?”, Tanya Amril lagi. “Kalian ini, tidak ada yang mau bercerita seperti biasanya, Manda, Uba…ayo berilah pendapat” sambung Amril lagi.

Anata tak kuasa menahan senyum tersipu malunya, perlahan namun pasti surat beramplop itu di selipkan ke dalam buku, agak tidak terlihat.

Tiba-tiba muncul Salmi dan menyapa Anata dan kedua temannya itu.

“Mbak, apa khabar? Maaf, Salmi lupa beritahu kalau tidak jadi beranhgkat, maaf ya..Mbak”, suara Salmi tiba-tiba dari balik tirai batas ruang tamu dan ruang makan.

Dalam hati Anata berguman kalau saja Salmi memberitahu dari awal dirinya tak jadi berangkat, surat lelucon ini tak tertuliskan. Tapi, apalah arti isi surat itu, kalau sekarang yang akan membacanya berada di hadapannya.

Lamunan Anata buyar, saat ibu Siti muncul dari balik gorden pembatas ruangtamu dan ruang tengah tempat keluarga Amril berkumpul. (Bersambung )

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerita yang menarik

16 Apr
Balas

terimkasih, bu. Salam Literasi dari Papua Tengah

16 Apr



search

New Post