Yuli Feri Widyawati

Gue Guru Matre Yuli Feri Menulis adalah salah satu cita-citaku sebagai seorang guru yang agak matre. ya saya matre Karena untuk kenaikan pangkat saya harus me...

Selengkapnya
Navigasi Web
Menikahi Cucu

Menikahi Cucu

Rumah besarku kini sepi, 40 tahun aku tinggal di rumah ini bersama istri dan ketiga anakku. Anakku yang pertama perempuan sekarang sudah menjadi guru SMP, dia tinggal di kota sebelah kotaku. Dia mendapat penempatan yang kebetulan satu kota dengan kantor suaminya. Dia memberiku 2 orang cucu yang sekarang sudah kelas 12 dan kelas 9.

Anak keduaku laki laki, ia menjadi dosen di universitas yang jauhnya 3 jam perjalanan dengan bus dari rumahku. Dia memberiku 3 cucu. Mereka kelas 9, kelas 6 dan kelas 2. Anakku yang ketiga perempuan, menikah setahun yang lalu, kemudian ikut suaminya yang sedang tugas belajar ke luar negeri.

Tinggal aku sendiri di rumah besar ini. Dulu 5 kamar yang kupunya terasa sempit dengan anak anakku. Sekarang satu persatu mereka meninggalkanku. Lalu istriku pun meninggal dunia setahun lalu, rumah ini semakin sepi.

Hari hariku kuhabiskan hanya dengan berternak lele di belakang rumahku, dan ke sawah. Tapi di usiaku yang sudah 63 tahun, aku hanya bisa menyuruh nyuruh saja. Alhamdulillah masih ada mbok Darmi yang memasak untukku tiap hari.

Dia janda beranak satu, dulu dia gelandangan karena diusir oleh saudara almarhum suaminya. Istriku menemukannya di masjid dan membawanya pulang. Lalu kusuruh dia tinggal di gubug belakang rumahku, tempat aku menyimpan kayu bakar dan hasil panenku. Dia tinggal disana bersama anak perempuannya yang saat itu masih umur 2 tahun. Kini mbok Darmi sudah renta, sama sepertiku, sedangkan anaknya semakin ayu di usianya yang masih belasan. Mungkin 17 tahun karena baru lulus SMA jalur pandemi corona. Dia anak yang selalu pasrah menerima apa adanya, tidak pernah menuntut apapun pada ibunya.

" Apa kamu tidak ingin kuliah seperti teman teman mu _nduk_"

" _Simbok_ tidak ada biaya Pak".

Aku sangat mengerti kondisi mereka, karena sudah lima belas tahun mereka tinggal di gubugku dan menjadi pembantu rumah tanggaku.

Hanya dia yang meramaikan rumahku sekarang. Sering aku melamunkan anak, cucu dan mendiang istriku. Biasanya mereka pulang saat lebaran, berkumpul meramaikan rumahku. Kini saat pandemi, mereka hanya mengirim uang yang sebenarnya sudah tidak kuperlukan lagi.

Maka aku kini lebih sering bertemu dan berbicara dengan Asti, anak mbok Darmi. Apalagi sejak Asti harus sekolah dari rumah, Asti lah yang lebih sering merawatku, menyiapkan sarapan dan kopiku, makan siang, makan malam hingga mengantarku ke bank setiap saat aku butuh mengambil uang pensiunanku. Setelah mengambil uang kami lalu mampir ke depot atau restoran untuk makan bersama.

Aku sering kasihan kepada Asti, saat kutanya " Apakah Asti sudah punya pacar"

" Saya tidak pernah punya pacar pak, ndak ada yang mau sama saya, disekolah saya sering di-bully karena miskin, kulit saya bersisik dan seragam saya kumal, sering saya di olok olok, jadi tidak ada yang naksir saya"

Kulihat Asti memang kumal, tidak menarik, meski sebenarnya cantik dan manis, namun dalam balutan baju bekas anak cucuku yang sudah pudar warnanya, dan ketinggalan mode nya, dia seperti Cinderella. Cantik tapi tak terawat. Pastaslah jika dia dibully dan akhirnya tidak percaya diri.

Gaji yang kuberikan ke mbok Darmi juga tak seberapa, lebih banyak uang bensinku daripada gajinya, padahal aku lebih sering bersepeda angin. Justru sedekahku yang lebih banyak kepadanya, kuberikan setiap panen. Tapi gaji itu menurutku sudah sesuai dengan pekerjaan nya. Apalagi mbok Darmi juga tak begitu butuh uang, makannya bersama Asti, tiga kali sehari ikut dengan menu makananku, karena memang dia yang memasak. Listrik juga ikut jaringan listrik rumahku. Tinggal juga di gubugku. Kalau dulu dia butuh uang mungkin untuk bayar sekolahnya Asti, sekarang Asti sudah lulus. Kupikir dia sudah tidak butuh apa apa lagi, sama sepertiku.

Justru Asti lah yang sekarang banyak membutuhkan uang. Dia pasti ingin seperti teman temannya. Mengenakan baju bagus yang modern, meski tidak branded, kosmetik atau perawatan skin care, HP dan kuota internet. Namun tak pernah kudengar Asti memintanya. Pernah kutanya dia" nomer hpmu berapa _nduk_"?

" Saya tidak punya hp pak"

oalah... meski dia menjawab sambil tersenyum,tapi aku tahu dari wajahnya, sebenarnya dia sedih. Aku kagum dengan sikapnya yang menerima kondisi diri dan ibunya apa adanya.

Aku berfikir apa yang bisa kulakukan untuk menolongnya jika aku sudah tiada. Mungkin jika kunikahkan dia dengan pria yang kaya, beriman, baik,tanggungjawab, maka aku bisa senang dan tenang melihatnya. Tapi dimana mencari pria yang sempurna begitu.

Ku coba bersilaturahmi ke sekolah yang dulu kupimpin sebelum pensiun, ternyata tidak ada bujangan yang mapan disana. Hanya ada seorang pria lajang, dia masih honorer meski sudah mengajar hampir lima belas tahun, itupun duda beranak satu. Aku tak tega jika Asti menikah dengannya.

Yah, sementara ini kudoakan saja Asti, dalam tahajudku. Setelah tahajud kulanjutkan dengan dzikir mendoakan kedua orang tuaku, mendiang istriku dan anak anakku. Tak terasa aku tertidur sekejap. Aku bermimpi mengambil air dalam kubangan dengan kedua tanganku. Airnya keruh, hanya bagian atas yang bening. Kutangkupkan kedua tanganku seperti mengambil air wudhu, lalu pelan pelan kuambil bagian air yang bening hingga memenuhi kedua tanganku. Kupandangi air itu. Lalu mataku terbuka, aku terbangun. Entah apa arti mimpiku. Aku kemudian bangkit mengambil wudhu, bersiap ke masjid untuk sholat subuh. Aku tidak ingin terdahului oleh adzan. Ini yang selalu kujaga di usia senjaku.

Aku semakin merasa usiaku tidak lama lagi. Rumah dan sawah juga sudah kubagi bagi atas nama anak anakku agar tidak terjadi masalah sepeninggalku nanti. Hanya tingal sepeda motor dan mobil tua yang nantinya akan ku berikan kepada Asti, sebagai pengganti biaya perawatan jenazahku. Bahkan kain kafan dan nisan atas namaku juga sudah kusiapkan. Semuanya sudah kuberitahukan tempat menyimpannya kepada Asti. Dia gadis baik, sangat kupercaya. Pernah kucoba meminta tolong kepadanya untuk mengambil uang di ATM dengan pin yang kuberikan. Alhamdulillah dia melakukan sesuai perintahku dengan penuh amanah.

Hari berganti bulan hingga setahun setelah Asti lulus SMA belum ada pria yang mendekatinya. Sedangkan aku semakin tua, aku khawatir jika aku meninggal, sementara Asti belum menikah, maka bagaimana nasib mereka. Rumah beserta tanahnya dan sawah sudah habis ku bagi kepada anak anakku termasuk gubug tempat Asti dan ibunya tinggal. Aku khawatir jika aku mati mereka akan terusir dari gubuqku, lalu kemana mereka akan tinggal dan darimana mereka makan. Sampai hari ini pun Asti juga belum bekerja. Bagi Asti, merawatku adalah pekerjaannya.

Aku tidak bisa membayangkan jika mereka berdua harus pergi dari sini. Pikiranku tentang mereka berdua sungguh mengalahkan kekawatiranku akan anak dan cucuku. Aku kemudian merenungkan arti mimpiku setahun lalu.

Apakah aku harus menikahi Asti saja, agar setelah aku mati, dia masih mendapatkan uang pensiunan janda. Ah.. aku terlalu menghayal. Apa kata orang, apalagi apa kata anak dan cucuku jika aku menikahi Asti. Dia masih belia bahkan lebih muda dari cucu pertamaku sedang aku renta.

Tapi tak ada cara lain. Memang ada beberapa pemuda di kampungku yang belum menikah, mereka sepantaran dengan Asti. Tapi mereka sepertinya belum ingin bekerja. Semalaman mereka menghabiskan waktu dengan hpnya di kafe. Lalu paginya tidur sampai sore. Pemuda seperti ini mana mungkin akan kunikahkan dengan Asti. Akhirnya aku memberanikan diri mengambil keputusan.

Setelah sholat hajat,kutelepon anak anakku, kuberi tahu mereka bahwa aku akan menikah. Aku tidak perlu minta persetujuan mereka, jadi aku menelepon untuk memberi tahu saja. Tentu saja mereka terkejut dan menolak, terutama anak perempuanku . Setelah kujelaskan kekawatiranku, akhirnya anak cucuku bisa menerima keputusanku, bahkan mendukungku.

Segera kuurus keperluan menikah, karena aku khawatir umurku tak sampai. Alhamdulillah segalanya dimudahkan. Aku akhirnya menjadi suami Asti. Kukatakan pada Asti bahwa aku tidak menuntutnya untuk melayaniku sebagai suami istri. Cukup kau siapkan keperluanku seperti biasanya.

Namun ternyata Asti bersedia menemaniku tidur. Memijit tubuh rentaku dan tidak kuduga tiga bulan kemudian dia hamil. Aku menjadi bulan bulanan dan bahan bullian orang orang di kampungku. Mereka meledekku di belakangku. Kubiarkan saja mereka.

Setahun setelah menikahi Asti, lahirlah anakku, laki laki. Aku berfikir lagi, untuk segera membeli rumah untuk Asti, ibunya dan anakku yang baru lahir. Tidak mungkin mereka tinggal di rumahku ini, karena sudah kuatas namakan anakku sebelumnya.

Alhamdulillah, ada tanah kosong dijual disebelah kanan rumahku ini, meski tak terlalu luas, kupikir cukup menampung mereka bertiga, jika aku sudah tiada. Diatas tanah itu kemudian ku bangun rumah mungil minimalis. Aku tenang sekarang jika umurku sampai batasnya, Asti sudah mempunyai pemasukan tetap setiap bulan dari pensiunanku, demikian pula anakku.

Semoga Allah mencatat ini semua sebagai ibadah tambahan di ujung usiaku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah..... Jodoh memang tidak kemana. Tak terduga. Cinta itu suci dalam debu

13 Jun
Balas

Masyaallah

13 Jun

Aamiin... Hmmtt, ikut trenyuh sy bacanya. Kereenn sekali cerpennya. Smg semakin sukses. Salam kenal dari Sukohatjo Jateng.

13 Jun
Balas

Terimakasih bu Dwi.. salam kenal juga.. terimakasih sudah mampir

13 Jun

Ini kisah nyata ya Bu, terharu

13 Jun
Balas

Iya bu... kakek. yang baik hati

14 Jun

Pantesan mengalir dari atas ke bawah... True story tho... Keren bu

13 Jun
Balas

Iya, dapat ide dari seorang pensiunan KS yang saya tulis dengan tambahan garam, gula, micin...biar ngalir lurus tanpa tikungan...he..he

14 Jun

Sungguh mengharukan. Cara menolong yang diterima Asti dengan keikhlasan.

13 Jun
Balas

Semoga Asti baik baik saja

13 Jun

Keren bu

13 Jun
Balas

Terimakasih

14 Jun

Wah keren ini pengalaman pribadi kah pak ?

17 Jun
Balas

Woooww..saya bukan bapak...saya ibu..he..he...Curhatannya teman ini bu..

21 Jun

Sungguh mengharukan

15 Jun
Balas

Betul bu.. membuat saya jadi menulis kannya

21 Jun

Mantap

13 Jun
Balas

Terimakasih

14 Jun

Alhamdulillah....msih SJ ada orang yg peduli dgn hidup orlain

13 Jun
Balas

Buat tambahan sangu berpulang..

13 Jun

Terharu

14 Jun
Balas

Oh ya...si Mira lebih mengahrukan

14 Jun

Oh ya...si Mira lebih mengahrukan

14 Jun

Mantap

13 Jun
Balas

Terimakasih bunda

13 Jun

Ceritanya bikin haru, semoga mereka hidup bahagia. Keren Bun

13 Jun
Balas

Walaupun sekejap.. karena kakek sudah uzur

13 Jun

Mantap dan keren, Salam Literasi.

13 Jun
Balas

Terimakasih sudah mampir..salam literasi

13 Jun

Keren ...cerpennya bunSalam literasi.

15 Jun
Balas

Terimakasih bunda

21 Jun

Aamiin

14 Jun
Balas

Terimakasih

15 Jun

cerita yg keren, ada sedih, lucu tapi misioner...

13 Jun
Balas

Terimakasih..nih cerpen rasa gado gado

13 Jun

Sediihhhh..

13 Jun
Balas

Tapi hepi ending khan

13 Jun

Bumbu micin memang diperlukan biar tambah greget

13 Jun
Balas

Dan sedeeeppp

13 Jun

Berniat untuk membantu ternyata Allah kasih bonus banyak, jika itu fiksi maka ide ceritanya luar biasa, mantul mbak Yuli

13 Jun
Balas

Based in true story' plus bumbu micin lik Kus..he..he

13 Jun

Inspirasi nya ada di sekitar kita nggih bu.

09 Jan
Balas

Bagus ....

13 Jun
Balas

Terimakasih

14 Jun

Keren!

13 Jun
Balas

Terimakasih p Rizal sudah mampir

13 Jun

Pesan moralnya jelas

04 Jul
Balas

Terimakasih

04 Jul

Wow, ceritanya keren banget. Mohon izin follow ya say.

07 Aug
Balas



search

New Post