Lembayung Harapan
Lembayung Harapan
Oleh: N. Yuli Ridawati
Pagi berselimutkan dingin. Sisa hujan semalam masih membekas. Embun di pucuk merah bak mutiara berkilauan. Aroma khas tanah kering yang tersiram air menyeruak menusuk penciuman. Awan kelabu bergelayut, seakan hendak kembali menumpahkan bebannya. Sekarang sudah memasuki musim penghujan.
Telepon genggamku berdering. “Teh, tolong carikan kelapa muda hijau untuk obatku.” Kudengar suara adikku di seberang sana. “Aku harus minum air kelapa muda hijau tiga kali dalam seminggu. Sudah mencari kemana-mana tapi belum dapat,” lanjutnya. Aku masih di rumah sakit. Semalam nggak bisa pulang karena nggak ada yang bantu jaga Kang Farid. “
“Oke, nanti Teteh cari. Kamu tenang aja di sana. Urus suamimu dengan baik. Nanti Teteh kabari lagi kalau udah dapat.” Sahutku. Setelah aku menyanggupinya, komunikasi pun berakhir.
“Siapa yang nelepon?” tiba-tiba suami sudah berada di belakangku.
“Lira.” Jawabku. “Dia minta dicarikan kelapa hijau buat pengobatan penyakitnya.”
“Kelapa hijau? Hayu atuh , siang ini kita cari. Kebetulan Akang punya waktu untuk mengantar tuan puteri kemana pun hehe...” Lanjutnya lagi sambil senyum-senyum genit.
Kami sepakat pergi pukul sembilan. Segera kusiapkan sarapan untuknya: nasi goreng bumbu rendang. “Nasi goreng buatan isteri tersayang, dimasak dengan penuh cinta, rasanya tiada dua.” Celotehnya menggombal.
Alhamdulillah aku selalu bersyukur. Suamiku tidak termasuk orang yang pilih-pilih dalam hal makanan. Makanan apapun yang aku hidangkan hanya dua komentarnya, “enak” dan “enak sekali.”
Pikiranku melayang kembali pada permintaan adikku di telepon tadi. “Lira, kamu harus kuat,” bisikku.Terbayang bagaimana dia menahan sakit di perutnya, sementara di sampingnya sang suami tergolek lemah karena baru saja dioperasi. Sepertiga paru-parunya dibuang karena penyakit yang menggerogotinya. Yaa Rabb, berikanlah kekuatan padanya.
Dua bulan yang lalu Lira pernah bercerita tentang suaminya yang sering demam tinggi di malam hari. Ketika diperiksakan ke dokter jawabannya hanya demam biasa. Prediksinya, suaminya terserang thypus atau demam berdarah.
Sebulan kemudian ia meneleponku lagi. “Teh, Kang Farid harus dioperasi segera karena ada benjolan di paru-paru. Benjolannya sudah membesar, sekitar 6x6 cm. Terletak antara paru-paru dan rongga dada.” Suaranya serak dan terputus-putus.
Seeeerrrr... darahku mengalir cepat, jantung berdegup kencang seperti ada yang menonjok. Dug...dug...dug. Lutut pun lemas, hampir-hampir tak kuat berdiri. Suaraku tercekat, tak ada kata-kata yang mampu keluar. Kering tenggorokanku. Kabar ini benar-benar bagai petir di siang bolong. Beberapa saat aku tak mampu menguasai diri, sampai akhirnya tersadar bahwa dia memerlukan motivasiku. “Ini ujian. Bersabarlah. Kamu pasti sanggup melaluinya.” Ucapku menenangkannya.
“Sekarang tinggal menunggu jadwal dari dokter bedahnya,” lanjutnya lagi. “Kondisiku saat ini pun sedang tidak fit. Kemarin setelah mengantar Kang Farid, sorenya aku ke dokter kandungan. Teteh kan tahu perutku sering sakit melilit-lilit tak tertahankan. Astagfirulloh, Teh...” Ceritanya terhenti, hanya terdengar isak tangisnya.“Kenapa?” Aku setengah berteriak menunggu kelanjutan ceritanya. “Aku harus dioperasi, Teh... Ada kista yang sudah membesar di rahimku. “Teteeehhh...!!! Aku harus bagaimana?” Suaranya bergetar di sela-sela isak tangisnya. Untuk beberapa saat yang kudengar hanya isak tangisnya. Bahkan aku pun terdiam, kehilangan kata-kata untuk diucapkan.
“Kok, menangis?” Tiba-tiba suami sudah berada di sampingku. Aku gelagapan.
“Mataku perih karena sedang mengupas bawang,” elakku.
“Hemh gitu ya, masa belajar ngupas bawang sudah bertahun-tahun masih menangis juga,” ledeknya.
“Ayo ah cepetan, aku udah lapar nih.” Dia mengalihkan pembicaraan.
Selesai sarapan kami bersiap pergi. Namun saat aku sedang berdandan, datang Mang Nana tetanggaku. Ia sudah terbiasa membantu kami mengurus halaman rumah, memotong rumput, atau memperbaiki saluran selokan yang tersumbat. Suamiku menceritakan perbincangan kami tadi tentang kelapa muda untuk obat adikku.
“Ooohh... Di seberang jalan ada yang menjual kelapa muda. Nanti saya tanyakan, mudah-mudahan ada, Pak” Ujarnya sambil berlalu. Kami sampai lupa kalau dekat rumah kami ada penjual kelapa muda. Belum lama memang.”
Tak berapa lama ia kembali lagi. “Kebetulan kelapanya sudah habis. Tapi kata penjualnya pukul sepuluh nanti akan ada pengiriman lagi. Harga kelapa untuk obat lebih mahal daripada kelapa biasa.” Lapornya. “Gimana jadi beli nggak?” Tanya dia lagi.
Kami sepakat menunggu saja daripada harus mencari ke tempat lain yang masih belum jelas tersedia. Masalah harga tidak menjadi pertimbangan.Yang penting ada. Kami ingin membantu adik yang sedang kesusahan. Semoga ini menjadi wasilah untuk kesehatannya.
Pukul sepuluh lebih lima belas menit Mang Nana datang kembali membawa kelapa muda pesanan. Ada perbedaan rupa antara kelapa muda untuk minuman penyegar dan untuk pengobatan. Kelapa untuk pengobatan bentuknya kecil, lonjong, hampir mirip belimbing. Jika dikupas, kulit bagian dalam berwarna merah muda. Sangat sulit mendapatkan kelapa muda sejenis itu. Tidak setiap penjual memilikinya. Namun ini rejeki adikku, sehingga kami tidak perlu bersusah payah mencarikannya.
Kami langsung berkemas. Jarak antara rumahku dengan adikku cukup jauh. Aku di Katapang, dia di Cipaganti. Perlu waktu sekitar dua jam untuk tiba di sana, apalagi kalau Jalan Kopo sedang macet. Ruas jalan utama penghubung Kabupaten Bandung dengan Kota Bandung ini memang terkenal paling padat terutama pada hari kerja. Berbagai jenis kendaraan tumplek di sini, didominasi oleh kendaraan beroda dua. Ketidakteraturan pengendaranya terhadap disiplin berlalu lintas semakin memperparah kemacetan. Semoga nanti ketika Jalan Tol Seroja sudah selesai dibangun, hal ini tidak terjadi lagi.
“Yuk ah berangkat sekarang, agar tidak terjebak macet dan pulangnya nanti tidak terlalu sore,” ajak suamiku. Aku mengangguk mengiyakan.
Benar saja, baru beberapa ratus meter kami berjalan telah dihadang kemacetan. Kami memutuskan untuk tidak melalui Jalan Tol Kopo. Lebih baik melewati Jalan Cijerah dan Pajajaran. Perjalanan ini kami nikmati sambil bercerita tentang berbagai hal. Mulai dari yang ringan dan yang lucu sampai yang bermuatan nilai kehidupan. Tak terasa mobil kami sudah sampai Cijerah. Kami memilih lewat perumahan Bojong Raya agar tidak terjebak kemacetan di Pal Tiga. Pertemuan antara Jalan Cijerah dan Jalan Sudirman ini memang kerap kali dilanda kemacetan. Banyak kendaraan yang parkir di kiri kanan jalan. Ditambah angkot yang berhenti di belokan, menunggu penumpang penyebab kemacetan tersebut.
“Eh, itu sepertinya warung mie kocok langganan kita. Tuh, ada mereknya Warung Sobur Jaya. Alhamdulillah... sudah jualan lagi. Pulangnya kita lewat sini lagi ya, kita mampir dulu. Kangen, udah lama banget gak makan di sini.” Tiba-tiba suamiku menunjuk plang sebuah kedai, seraya memperlambat laju kendaraan kami.
“Wah, iya betul. Hayu atuh. Siapa takut?” Sahutku Sekalian kita ingin dengar kisahnya. Memang selain sudah kangen mie kocoknya, kami pun sudah lama tak bersilaturahmi. Kabarnya mereka sempat pindah tempat ke kota lain.
Akhirnya sampai juga ke rumah adikku. Di rumah hanya ada asisten rumah tangga, Bibi yang telah lima belas tahun mengabdi. Aku menuurunkan kelapa muda dari mobil. Setelah aku berpesan pada Bibi. Kami pun pamit pulang. Lega rasanya telah dapat menyelesaikan tugas. Bisa membantu saudara yang sedang kesusahan.
“Mari kita nikmati perjalanan ini. Tidak dikejar waktu. Tidak dikejar target. Anggap saja ini sebagai rekreasi.” Ungkap suamiku yang segera kuamini. Betul, karena disibukkan pekerjaan, kami jarang berekreasi bersama. Menyengaja meluangkan waktu sangat sulit karena berbagai faktor, sehingga tiap kali perjalanan bersama suamiku selalu kujadikan sebagai ajang bernostalgia. Bagi kami, jalan-jalan santai tidak selalu harus mengeluarkan biaya besar dan menghabiskan waktu lama.
“Gimana, jadi gak makan mie kocoknya.?” Suamiku mengingatkan kembali.
“Jadi dooong... udah ngiler, nih,” sahutku.
“Akang mah pilih nasi timbel komplit aja, deh. Kabita ku sambelna. Enak banget. Timpalnya lagi.
“Halaaahh... Biasanya juga kan nasi timbel komplit plus sop kaki.” Sambungku lagi, sambil tertawa meledek.
Hari berangsur sore ketika akhirnya kami sampai di Warung Sobur Jaya. Melihat kedatangan kami, Pak Sobur, pemilik kedai langsung menyambut dengan senyum terkembang.
“Wilujeng sumping. Alhamdulillah bisa bertemu lagi. Silakan duduk. “ Ia menyapa.
“Timbel komplit ada? Tanyaku.
“ Belum ada, Neng, mudah-mudahan nanti ke depannya. Sekarang mah baru mie kocok aja.”
“Ya sudah, mie kocok komplit plus es jeruk, dua.”
Kami memilih tempat duduk yang menghadap ke jalan, menikmati indahnya sore dan padatnya lalu lintas. Sambil menunggu pesanan, kualihkan pandangan ke sekeliling ruangan. Suasananya berbeda sekali dengan tempatnya yang dulu. Sangat sederhana. Beberapa meja dan kursi yang masih baru serta lemari pajangan yang masih kosong. Situasi seperti ini sangat jauh berbeda dengan tempatnya yang dulu. Selain lebih luas, lebih tertata, pengunjung pun selalu penuh. Apalagi jika sudah menjelang jam makan siang. Banyak karyawan pabrik yang berlokasi tak jauh dari kedai ini menyengaja datang untuk mencicipi masakan olahan Pak Sobur dan isterinya.
Tak lama kemudian pesanan kami tersaji di meja. Aroma wangi jeruk limau merangsang seleraku untuk segera melahap mie kocok ini. Tambahan memang perutku sudah menagih jatahnya. Daging kaki sapi yang empuk, dipadukan dengan baso berbentuk pipih, dilengkapi mie dan sedikit tauge sebagai sayurnya, serta taburan daun seledri dan bawang goreng. Hemmh... Benar-benar membangkitkan selera. Kami makan dengan lahapnya, sambil sesekali menyeka kening yang berkeringat karena panas dan pedas. Semangkuk mie kocok licin tandas dalam beberapa menit saja. Disusul dengan segelas es jeruk.
Melihat kami telah selesai melahap sajiannya,’ Pak Sobur mendekat. Tampaknya dia ingin berbincang dengan kami, melepas kekangenan.
“Jadi Bapak selama ini kemana saja. Saya dengar sempat pindah ke Purwakarta ya?” Aku mengawali pembicaraan. Ingin tahu kisahnya hingga terdampar di Purwakarta dan kembali ke Bandung.
“Dua tahun lalu saya tidak bisa membayar kontrakan di kedai yang lama. Omzet saya menurun. Biasanya setiap hari tak kurang dari seratus porsi terjual. Bahkan jika ada pesanan dari pabrik bisa mencapai dua kali lipat lebih. Namun belakangan pelanggan berkurang. Kadang-kadang untuk menjual lima puluh porsi saja sangat susah. Pernah dalam beberapa hari hanya terjual kurang dari sepuluh porsi. Keadaan seperti ini berlangsung cukup lama. Penghasilan sangat jauh berkurang hingga akhirnya saya harus pindah ke tempat lain yang sewanya lebih murah.” Dia mengawali kisahnya. “Pindah tempat usaha tak berbanding lurus dengan peningkatan penghasilan. Di tempat yang baru pun pembeli sangat sepi. Akhirnya modal yang ada bukannya bertambah, malah habis semuanya. Saya bangkrut!” Suaranya hampir tak terdengar, wajahnya memelas, sorot matanya melemah.
Setelah terdiam beberapa saat, dengan suara yang bergetar ia melanjutkan kembali kisahnya. “Saat saya sedang dilanda kegalauan karena tidak punya pekerjaan, datang adik saya menawarkan pinjaman modal untuk kembali berjualan. Dia bilang, “Coba dagang di Purwakarta.” di Purwakarta.” Karena dia yang memberi modal, saya nurut saja. Tapi di sana pun tidak bertahan lama. Kurang dari satu tahun dagangan saya ludes, boro-boro kembali modal. Mungkin karena stress mikirin usaha yang bangkrut, suami yang nganggur, dan banyak hal lainnya. Akhirnya isteri saya sakit. Wajah Pak Sobur tampak memucat, ada butiran bening meleleh di sudut matanya, yang kemudian ia susut dengan ujung bajunya.
Keheningan menyelimuti kami bertiga. Aku kehilangan kata-kata untuk berkomentar. Kuhela nafas dalam-dalam sambil membayangkan betapa menderitanya dia. ”Selama sepuluh bulan berbagai dokter kandungan saya kunjungi untuk mengobati istri saya. Hasil cek laboratorium tidak menunjukkan adanya penyakit yang mengkhawatirkan, tetapi isteri saya tak kunjung sembuh. Waktu itu saya tak memiliki penghasilan, bahkan untuk hidup sehari-hari dan membeli obat pun hanya mengandalkan anak gajian. Orang tua saya di kampung telah memanggil kami untuk tetirah di sana. Tapi saya tidak mau menambah bebannya. Saya tetap bertahan di sini. Apapun yang terjadi.” Lanjutnya lagi.
Aku meneguk air teh hangat. Setengah gelas, kutandaskan. Entah, bagiku ini seperti kisah sinetron tetapi para pemerannya nyata.
Pak Sobur melanjutkan kembali ceritanya. “Alhamdulillah berkat kesabaran, doa, dan ikhtiar yang terus menerus. Allah memberikan ridha-Nya. Isteri saya berangsur sembuh. Wajahnya yang dulu pucat bagai mayat, kini mulai bersinar. Ia mulai bisa berdiri, berjalan, dan melakukan aktivitas ringan lainnya. Tiada kebahagiaan yang mampu menggantikannya ketika melihat perubahan besar ini. Semangat hidup tumbuh kembali. Keceriaan yang telah lama hilang kini mulai mengembang. Seisi rumah kembali dirasuki bilur-bilur kebahagiaan.” Ujar lelaki paruh baya itu, wajahnya tampak berseri-seri.
“Kesabaran selama ini rupanya mulai berbuah manis. Di tengah-tengah kebahagiaan sembuhnya isteriku, datang seorang teman, sahabat saya waktu SMP dulu. Dia menawarkan tempatnya untuk dijadikan kedai jualan mie kocok. Saya bingung karena tidak punya uang untuk modal dan sewa tempat. Tapi dia bilang pakai saja tempatnya, gak usah pikirkan soal sewanya. Cari saja dulu untuk modalnya. Dan, Alhamdulillah, lagi-lagi Allah menunjukkan kebesaran-Nya. Tanpa disangka paman saya meminjamkan modal. Hingga akhirnya saya bisa kembali berjualan di sini.” Ia mengakhiri ceritanya. Menghela nafas panjang, seolah telah melepaskan beban yang menghimpit dadanya.
Sepanjang mengikuti kisahn perjalanan hidupnya yang penuh liku-liku, kami hanya menjadi pendengar sambil sesekali menghela nafas panjang ketika sampai pada bagian cerita yang menggetarkan kalbu. Kisah yang dahsyat telah memaku kami di tempat duduk untuk beberapa waktu. Kami pamit ketika pelanggan lain mulai berdatangan.
Masih terbawa suasana kisah Pak Sobur, di perjalanan pulang kami lebih banyak diam, berinstrospeksi. “Banyak pembelajaran yang dapat kita petik hari ini.” Suamiku memecah keheningan. “Perjuangan seseorang yang sedang diuji Allah untuk meningkatkan derajat keimanannya. Kesabaran seseorang ketika sedang mendapat ujian. Dan usaha yang tak kenal lelah untuk meraih hasil yang diinginkan. Hidup adalah rentang waktu antara kelahiran dan kematian. Hidup adalah sebuah harapan, akan tetapi mati sebuah kepastian. Isilah rentang harapan dengan penuh ihtiar karena itulah hakekat kewajiban kehidupan. Kita tidak akan pernah tahu kapan kematian itu akan datang. Jadilah orang yang pandai bersyukur dalam menerima segala nikmat Allah dan bersabar ketika menerima ujian-Nya. Sesungguhnya makna kehidupan adalah ritme pertukaran antara syukur dan sabar.” Ujarnya lagi. “Subhanallah.” Aku bergumam, tanda menyetujui kata-kata bijaknya.
Ada benang merah yang dapat kutarik dari perjalanan ini. Mulai dari sakitnya adikku hingga kisah inspiratif dari Pak Sobur. “” Sepotong ayat yang memberikan kekuatan pada kita agar selalu bersabar, berdoa, dan berikhtiar atas setiap apa yang Allah bebankan pada kita. Yakinkan bahwa kita sanggup melaluinya.
Senja mulai luruh. Lembayung menyemburat, menebarkan rona jingga. Seberkas cahaya harapan, menebalkan keyakinan akan adanya pertolongan Allah pada orang-orang yang senantiasa bersabar dalam menerima ujian. Sayup-sayup kumandang suara muadzin mengingatkan agar kita segera bersujud, berserah diri, ikhlas pada apa yang telah menjadi ketentuan-Nya.
Katapang, 7 Oktober 2017
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap, keren! Lanjut! Jempol Tthku!
Trims ya udh mau diganggu waktunya
Kisah yang syahdu serupa lembayung. Selamat berkarya kembali, bu. Ditunggu karya berikutnya
Terima kasih telah jadi motivator dan editor
Terinspirasi oleh Ceuceukuh yang hebaaat...
Keren, lanjutkan.. Setuju dengan kalimat berderah diri, ihklas pada apa yang menjadi ketentuaNya.
Makasih ya tlh menginspirasi dan memotivasi
Mantabz Jiwa......