Yuli Trianto

Penulis "Intuisi Cerita Pagi dan Bening Bola Mata Raisha," belajar menuangkan imajinya dalam bentuk tulisan. Walau tak cukup bekal teori menulis ia selalu saja ...

Selengkapnya
Navigasi Web
SEDERHANA
mediakalla.co.id

SEDERHANA

Dingin menjelang sore. Hari terakhir sesi pelatihan Buku Bacaan Berjenjang untuk guru sekolah dasar kelas awal di Kecamatan Labuhan setengah jam lebih awal berakhir. Tak ada hujan. Tetapi matahari pun enggan menyeruak menembus awan tebal di langit barat. Angin, menghipnotis tubuh-tubuh kami yang lelah. Sehingga lima orang temanku duduk terdiam di bangku mobil yang berjalan dengan kecepatan sedang.

Alarm perutku berbunyi, mendesis lirih. Lambungku. Kemampuannya beradaptasi dengan cuaca dingin memberikan sinyal positif, bahwa seratus meter lagi tepat di depan kantor pos “Mie Ayam Solo” dengan varian menu yang lengkap menanti untuk disinggahi.

“Hahaaaai… asyik, Pak Anton tahu aja mau kita.”

Luapan kebahagian sederhana temanku mendadak berekspresi ketika mobil parkir tepat di depan kedai yang lumayan terkenal di kota kami. Paham betul, mereka menaruh tasnya di bangku mobil, turun dan masuk ke dalam kedai. Gadis berhijab merah mendatangi tempat duduk kami menyodorkan varian menu yang tersedia. Mengeluarkan ballpoint biru dari saku gamisnya, dan mencatat pesanan kami.

“Oke, saya bacakan pesanan meja 5. Mie ayam pangsit tiga, mie bakso dua, mie spesial satu, teh manis panas satu, jeruk panas empat, jus melon satu, ada yang terlewat bapak ibu?”

Sangat ramah, gadis berhijab merah memastikan daftar pesanan. Setelah kami setuju, kemudian membalikkan badannya meninggalkan kami menuju dapur kedai.

Sepasang suami istri dengan anak laki-lakinya yang berusia lima tahunan duduk sangat santai di meja 3 persis di depan kami. Keluarga muda, bercanda tanpa beban memberikan segenap perhatiannya untuk anak tercinta. Ibunya menyuapkan lembaran kecil mie yang masih sedikit panas dengan beberapa kali tiupan ke mulut si kecil. Tampak lahap, menyeruput mie bercampur kuah hangat dengan ekspresi semangat. Ayahnya, cekatan menyelamatkan potongan mie yang hampir jatuh dari bibir mungil si kecil. Aduhai, betapa memberikan gambaran kenyamanan tentang arti kebahagiaan keluarga. Tanpa komando, semua dari kami tersihir memperhatikan adegan kemesraan keluarga kecil pada sore itu.

“Bikin ngiri…” Gumamku lirih.

“Mas Ari jadi ingat yang di rumah nich…” Ledek Si Gokil Pak Hamdi.

Sementara tiga orang perempuan teman kami banyak berceloteh dengan fokus suguhan adegan kemesraan keluarga kecil sore itu. Sungguh sebuah ungkapan kebahagiaan yang tak tersembunyikan pancaran kehidupan keluarga harmonis.

Tak terasa kami tertarik membuat topik diskusi sambil menunggu pesanan diantar. Mas Ari. Leader team fasilitator daerah, atasan kami menangkap umpan Pak Hamdi dengan ledekan tadi. Kemudian membuka percakapan.

“Jujur saja coba, saya pengin tanya kepada ibu-ibu, apa menurut kalian bahagia itu?”

“Saya boleh jawab Mas Ari?”

“Silahkan Bu Ina, harus jujur tapi.”

“Bahagia itu kalau dalam hidup ini tidak ada keresahan, tidak ada beban yang mengusik kita, seperti aku ini, hahaaa...”

Ibu Ina spontan memberikan respon atas pertanyaan Mas Ari tadi. Dengan gayanya yang khas, bicaranya ceplas-ceplos, tanpa memerlukan waktu lama untuk berpikir langsung saja keluar ide menjawab.

“Boleh beda pendapat donk?”

Ibu Dewi menimpali diskusi ini. Tampaknya sebagai sosok istri pejabat di kota ini dia akan memberikan jawaban yang amat teoritis. Karena pembawaannya memang seperti itu.

“Silahkan menyimak penjelasan Bu Dewi teman.”

“Bahagia itu kondisional, bersifat temporal jika kita memiliki yang kita mau maka di situ letak kebahagiaan. Jika yang kita dambakan hilang maka sirnalah kebahagiaan.”

“Luar biasa..!”

“Tidak adil rasanya. Coba Bu Ratna perempuan yang bisa merasakan bahagia itu dalam kondisi yang bagaimana?”

Aku mencoba terlibat dalam diskusi klasik tetapi menggelitik ini. Pertanyaan yang kulempar pada Bu Ratna tampaknya tepat. Sebagai seorang ibu muda yang menurutku berpenampilan glamour pasti akan memberikan definisi yang berbeda dari Bu Ina dan Bu Dewi tadi.

“Oke, tapi jangan diketawain ia…”

Pintanya. Kemudian ia berdiri dari duduknya, kami tak paham apa maksudnya. Sambil merapikan baju karena pada bagian pantatnya sedikit berkerut akibat tertindih posisi duduk. Gestur tubuh memperjelas ungkapan penjelasan. Ia berakting. Sambil tertawa kecil mulai menuturkan konsep bahagia menurut versi ibu glamor ini.

“Ssssst… tenang, jangan tertawa, dilarang berisik karena saya akan mengunggkapkan kejujuran dari hati yang terdalam.”

“Hahaaaaa…. Emang dari tadi kita nggak jujur apa?” Sela Bu Ina.

“Jangan ada komentar sebelum saya selesai berbicara.”

Bu Rina sedikit bergaya ketus. Kami lantas terbius dengan perubahan gestur yang sedikit serius. Semua dari kami fokus, memperhtikan Ibu Rina.

“Lihatlah teman, ini apa?”

Tangannya menarik ke dua lengan baju sebelah bahu. Kami serentak menjawab baju. Mulai menduga pasti ungkapan bahagia yang Bu Rina sampaikan berhubungan dengan pakaian.

“Bahagia itu apabila kita bisa memakai busana cantik.”

“Hahaaaa… tepat kan predisksiku?” Aku menimpali.

“Eiiiet….Belum selesai, jangan main serobot.”

Kedua telunjuk Bu ratih menempel ke pipinya. Polah ibu centil ini sampai mengundang perhatian pasangan muda dan anak kecil di depan meja kami. Mereka tersenyum, seolah tak mau kalah ikut larut dalam diskusi kecil di kedai sore ini.

“Aku cantik kan?”

“Ciiiiiiieees, narsis nich…?”

Pak Hamdi Si Gokil menimpali. Semua tertawa. Anak kecil yang sedari tadi melongo memperhatikan ulah Ibu Rina tiba-tiba keselek (tersedak) hingga batuk-batuk. Entahlah, mungkin terbawa alur cerita dan gesture Ibu Rina sehingga reflek menelan air ludahnya.

“Dandan cantik itu sumber kebahagiaan kan? Suami pasti akan bahagia melihat istrinya semakin cantik. Soo, tak ketinggalan perhiasan aduhai melekat ditubuhku lho…”

“Geeeeeeeer….”

Semua tertawa. Pasangan muda di depan kami ikut tertawa, tampaknya enggan meninggalkan kedai, walau suguhan telah habis sejak lama. Ingin sekali terlibat lebih dalam pada materi diskusi dengan topik sekenanya. Gadis berkerudung merah senyum-senyum mendatangi kami. Membawa nampan berisi pesanan. Lengkap sudah hidangan di atas meja.

“Menurutku, bahagia itu jika kita bisa jalan-jalan dan makan enak kapan kita mau, seperti sekarang ini, setuju teman?”

Mas Ari terlihat sedikit bernafsu ketika mie pangsit mengepulkan asap tepat di depan mukanya. Dalam keceriaan yang belum lenyap kami menyantap hidangan serba panas di kedai sore itu. Pas, muantap nikmatnya. Habis hingga tetes terakhir.

Hampir setengah tiga sore. Aku hanya mengantar teman-temanku sampai di halaman rumah Ibu Dewi. Selanjutnya bergegas pulang, menginjak pedal gas lebih kencang lagi. Ingin rasanya segera sampai ke rumah. Hanya seperempat jam sampai. Turun dari mobil, pintu depan rumahku terbuka. Aku melihat sosok bergaun biru muda menjemputku.

Istriku, bahagiaku sederhana. Sambutlah aku pulang dengan rambutmu yang tergerai. Bukalah sekat bibirmu setengah centimeter saja. Ulurkan tanganmu, raih pundakku. Rapatkan. lalu redupkan bola mata hingga engkau mengajakku lebih dalam lagi. Aaaaaah……Lampu kamar kita meredup dan perlahan mati. Gelapnya semakin menyelimuti rongga-rongga yang berpetualang. Petang ini kita sama-sama mandi sebelum maghrib. Ya Rabb, satukan kami dalam kebahagiaan haqiqi, hingga ke negeri-Mu yang abadi.

Purbalingga, 7 November 2017

(dalam asuhan sang dewi)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Belajar nih saya buat cerpen ...semoga bisa! itu tanggal 7 September apa November Pak Yuli?

08 Nov
Balas

Ibuuuuk, sama-sama belajar, belajar sama-sama...

08 Nov

Mandan menyerempet y pak bagian akhirnya.mungkin bagian akhur disederhanakan lagi biar lebih manis.

08 Nov
Balas

Oke bu, terima kasih

09 Nov

Bagus pak. Bahagia itu sederhana. Dan mencoba bahagia adalah segalanya, hee

09 Nov
Balas

Betul ibu, dlm kesederhanaan ada bahagia, hehe

09 Nov

Mantap Pak. Saya malah ndak kepikiran buat cerpen. Banyak banget. Siip.

08 Nov
Balas

Tiba-tiba jadi pengin belajar cerpen pak, terima kasih.

08 Nov

Tambah gula sedikit di bagian akhir, biar lebih manis meski tetap sederhana.

09 Nov
Balas

Oke ibunda, InsyaAllah siap. Terima kasih masukaanya, smg mendewasakanku.

10 Nov

Mantap dan hebat...non fiksi oke fiksi juga oke ...Pak

08 Nov
Balas

Terima kasih ibu, soprt mendewasakanku

08 Nov

Terima kasih sudah berkenan singgah. Hehe, sampai lupa waktu.

08 Nov
Balas

Memang, kesederhanaan yang membuat kita tenang. SUKSES Pak,tks

08 Nov
Balas

Alkhamdulillah, aamiin, terima kasih ibu

08 Nov



search

New Post