yuniakbar

Ternyata menulis itu menyehatkan jiwa. Ia menjadi jejak bahwa kita pernah ada. Karena kita akan tiada. Tulisan dari hari akan bertemu hati pembaca. Alumni S2 A...

Selengkapnya
Navigasi Web
Lapak si Hasan
sumber: buka lapak

Lapak si Hasan

4remidi#11 (harusnya #204)

Hasan berjualan minuman jeruk peras di area pertokoan stadion Mugas. Diantara jajaran toko berukuran 2 x 1,5 meter didalam area stadion. Mestinya tokonya itu bagus, terbuka lengkap dengan meja servis kecil dan wastafel seperti pantry mungil dengan pintu yang tidak ada daun pintunya dan jendela yang tidak ada daun jendelanya. Dindingnya keseluruhannya berwarna gelap. Kalau aku bandingkan, ruang ini selebar pick-up. Maksudnya kalau sebuah pickup ditidurkn disitu, tempatnya pas banget. Tidak ada sisa. Di bagian depan terbentang trotoar yang seperti kebiasaan, dijadikan tempat menata kursi meja, alias untuk makan pembeli. Kelihatannya memang dimaksudkan untuk itu. Kenyataannya, bukan hanya untuk pembeli, pedagangnya juga ikut-ikutan berada di trotoar. Termasuk Hasan. Jadi ruang tokonya hanya untuk menaruh barang-barang.

Suatu saat, aku pernah ngobrol sama Hasan, sesudah jogging 7 kali putaran di area atletik. Aku biasa duduk di kursi bakso yang disediakan Hasan melingkar gerobak jeruknya atau istilah kerennya ‘booth’ yang berukuran 100x90x60. Diatas boothnya ada alat peras jeruk manual, pisau dan telenan. Disamping kanan tergantung jaring-jaring warna kuning untuk limbah jeruknya. Disebelah jaring terletak sekarung jeruk baby yang masih utuh sekarung, kira-kira 100 kg, terletak disebelahnya. Booth ini teduh dengan paying besar ukuran diameternya 220, sudah kusam. Ditiangnya terkait toples plastik berisi sedotan dan tisu toilet yang dipakai untuk urusan minum. Disitu tergatung juga satu slop plastik yang berisi gelas plastik lengkap dengan tutupnya berukuran 16 oz, dan setumpuk tas plastik kecil. Semua plastik itu berwarna bening. Judulnya, no plastik no healthy. Dan sekarang aku duduk diatas salah satu kursi plastik menunggu jerukku diplastiki. Nanti aku minumnya pakai sedotan plastik.

“Itu warung kosong sudah ada penyewanya?” tanyaku sambil menunjuk warung kosong dibelakangnya.

“Oh, niku nggene kulo.” Jawab Hasan.

“Lhoo… kok dak jualan disitu, to?”

“Wah, ndak laku. Ndak kelihatan soalnya.”

“Lah terus itu buat apa?”

“Ya, nyimpen barang saja.”

“Ndak ada yang nglarang to jualan di trotoar begini?” “Ndak ada, Bu.”

“Berapa sewa warung?”

“9 juta pertahun.”

Hekkk… !! aku hampir tersedak. Mahal banget!

“Apa dari jualan gini masuk?” maksudku hasil dari jualan jeruk peras begini bisa untuk menutuo segala biaya?

“Alhamdulillah, Bu. Pas covid gini ya turun banyak. Tapi ya tetep jalanlah.”

“Sampai berapa turunnya?”

“Kalau separo saja ya lebih. Tapi ini sudah mulai naik lagi walopun dikit-dikit.”

“Oh, syukurlah.”

“Kalau masang lapak trotoar gini ada biayanya ndak?” Hasan tersenyum. Aku tidak mau mengartikan sendiri, harus dijelaskan.

“Ibu tuh biasa olahrag sendiri ya?” tiba-tiba dia bertanya.

“Ndak.”

“Sama siapa, Bu? Kok saya ndak pernah lihat barengannya?”

-bersambung-

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post