FILOSOFI RAGAM GERAK DALAM TARI KLASIK JAWA TENGAH
FILOSOFI RAGAM GERAK DALAM TARI KLASIK JAWA TENGAH
Tantangan Hari ke-29#TantanganGurusiana
Menari merupakan bentuk perwujudan ekspresi seseorang dalam bisang seni yang dituangkan dalam bentuk gerakan anggota tubuh yang ritmis dan indah, dipadukan beberapa unsur pendukung lainnya. Seorang penari professional mempunyai filling dan isthing yang kuat, serta kepekaan rasa yang baik. Sehingga dalam menarikan sebuah tarian merupakan gabungan atau kombinasi yang seimbang antara gerakan, irama, penghayatan dan penampilan atau wirupa.
Mengapa penari harus melakukan sebuah tarian harus total? Mari kita mengingat atau membayangkan anak-anak TK yang sedang menari. Ada yang sekedar bergerak menirukan temannya, karena tidak hafal gerakan. Ada juga yang melakukan gerakan dengan sangat ekspresif, penuh semangat dan riang gembira. Apa yang ada dalam benak anda saat melihat hal tersebut? Tentunya ada perbedaan diantara keduanya. Menari dengan berpijak hanya pada gerakan saja, atau melakukan gerakan sekedarnya belum mampu mengajak berbicara dengan audiens. Artinya dalam melakukan gerakan harus didukung oleh power atau tenaga, dinamika dan penjiwaan atau penghayatan.
Jika menari tanpa penghayatan atau penjiwaan, maka gerakan atau tampilan akan terkesan seperti robot, bergerak tanpa ruh. Sehingga orang yang menyaksikan akan berpendapat bahwa, tampilan tarian kurang maksimal. Ruh yang membuat penampilan lebih hidup adalah ekspresi, melalui penghayatan yang bisa dilihat melalui mimic wajah, power dan harmonisasi. Akan berbeda ketika melihat gerakan tarian yang ekspresif, penuh penghayatan dan tanpa di buat-buat, serta mengalir begitu saja. Hal ini akan membuat penonton hanyut dan terbawa masuk ke dalam suasana yang diciptakan oleh sang penari tersebut. Ini artinya penampilan penari tersebut sukses. Mulai dari gerakan, penghayatan, dan ekspresi menyatu sehingga memnciptakan ruh di dalamnya. Sehingga suasana menjadi lebih hidup.
Ada beberapa gerakan tari klasik Jawa terbagi menjadi tiga bagian yaitu: gerak kepala, badan, dan kaki. Gerakan kepala terdiri dari: tolehan (kanan,kiri), lenggut (gerakan dagu didorong ke depan kemudian ditarik kebelakang), gedheg (gerakan kepala dengan mendorong dagu kesamping kiri, kanan membentuk huruf S, pada hitungan ke 4 sudah sampai di tengah), pacak gulu (menggeser kepala, bagian leher sebagai nya tanpa mematahkan atau menolehkan kepala). Gerak tangan terdiri dari: ngithing, nyempurit, ngrayung, boyo mangap, ukel, ulap-ulap, tawing, seblak sampur, panggel. Gerak kaki terdiri dari: nggrodo, jinjid, dhebheg, gejug, kengser, enjer, lampah tigo, tranjalan.
Adapun gerakan yang mengandung makna filosofi diantaranya adalah: 1) Lumaksana adalah gerakan kaki berjalan secara bergantian dengan gerakan tangan lembean atau mengikuti gerakan secara kostruksi tubuh. Lumaksana merupakan asal dari gerakan sehari-hari yaitu jalan kaki. Setelah distilisasi atau diubah menjadi gerakan tari, maka ada unsur estetis yang di sisipkan, sehingga dari gerakan sehari-hari yang biasa menjadi lebih indah dan menarik. 2) ulap-ulap adalah ragam geran tari yang berfokus pada telapak tangan berada di dekat plipis, dengan posisi badan mendhak, tangan satunya ngithing di sisi pinggang. Ulap-ulap mengandung arti bahwa, posisi tangan ngrayung diplipis dan gerakan kepala mengikuti arah kekanan dan kekiri, seolah melihat dengan jarak pandang yang jauh. 3) jalan srisik merupakan gerakan berjalan setengah berlari atau berjalan kecil-kecil dengan berjinjit, dengan lutut ditekuk, kedua sampur di damping badan, berjalan ke depan ataupun memutar. 4) ngudal rikma adalah gerakan menata rambut, dengan menggerakan tangan seperti menyisir. 5) ukel karno berarti menyiris rambut, merupakan gerakan gerakan kedua tangan seperti menarik rambut secara bergantian, posisi kedua tangan ngithing, bergantian satu keatas satunya lagi kebawah begitu seterusnya.
Di dalam tarian Klasi Jawa, bagi penari wanita dilarang membuaka atau mengangkat tangan diatas 45 derajad, atau mengangkat kaki selebat 45 derajat, serta dilarang memandang ke astas atau lurus kedepan. Ternyata ada maknanya, yaitu seorang perempuan tidak boleh melakkan perbuatan atau bertingkah laku yang brangasan, dengan cara bergerak bebas dan terkesan brutal. Pandangan saat menari seharusnya luruh, yaitu berjarak pandang sekitar dua meter, yang mengandung makan bahwa jika berbicara dengan orang yang lebih tua hendaknya menghargai yaitu dengan tidak menatap mata orang tua tersebut.
Tantang besar sebenarnya di dalam mempelajari tari klasik adalah terletak pada kesulitan dalam menyelaraskan rasa, fisik atau gerak, jiwa dan memahami makna filosofi pada setiap gerakan. Belajar menari klasik, sama halnya belajar memahami makna dalam kehidupan secara mendalam. Tidak hanya badan atau fisik saja yang dilatih supaya lentur dan terbiasa, tetapi tata cara, unggah-ungguh serta makna filosofi yang terkandung di dalam sebuah gerak tari juga harus dipahami bagi yang melakukannya. Menari merupakan usaha belajar menyelaraskan diri dengan jiwa, semua beban pikiran harus dilepaskan terlebih dahulu supaya pikiran tidak terbebani, sehingga bisa secara maksimal melakukan gerakan-gerakan dalam tarian. Khususnya jenis tari klasik.
Menari bukan suatu hal yang mudah, terkesan enak dilihat, luwes, lemah-gemulai dan sepertinya tanpa beban. Padahal sang penari harus melalui tahapan yang luar biasa ketat dan disiplin untuk mendapatkan performa yang demikian. Mulai dari olah tubuh, pernapasan, latihan kelenturan, latihan gerakan dasar tari, melihat postur tubuh di depan kaca saat melakkan gerakan, sehingga bisa dilihat kekurangan bentuk gerak maupun bentuk badan. Tidak ada proses yang instan, semuanya melalui proses yang panjang dan melelahkan untuk menjadi penari profsional.
Jenis tari ini memerlukan tingkat penghayatan yang bagus, pikiran harus semeleh, sareh, setiap detak jantung, hembusana nafas dan merupakan irama atau musik internal. Di dalam melakukan gerakan tari yang perlu diperhatikan adalah focus dan konsentrasi. Jika sudah memutuskan menjadi seorang penari, hendaknya bisa total dalam menjalankan perannya. Gila di atas panggung adalah wajib hukumnya, tetapi jika sudah turun panggung harus kembali sesuai kodratnya semula.
Jatisari, Mijen, Semarang
Minggu, 23 Agustus 2020
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap bun..filosofinya...Sukses selalu